tirto.id - Pagi itu, tanggal 12 Mei 2016, kira-kira pukul sembilan pagi, Prilidanti Oktarizkia, 26, sedang berjalan menuju halte bus di dekat kos-kosannya yang terletak di Jakarta. Sebuah awal dari hari yang menurutnya akan berjalan normal.
Wanita yang bekerja di sebuah perusahaan fashion tersebut telah tinggal selama empat tahun di lingkungan itu. Berdasarkan pengalamannya, lingkungan tersebut selalu memberikan rasa aman meskipun kepada para pejalan kaki sekalipun. Dalam hitungan beberapa menit, segala persepsinya mengenai lingkungan tersebut runtuh.
Seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor secara tiba-tiba datang dari belakangnya. Laki-laki itu merentangkan tangannya, dan merogoh buah dada sebelah kanannya. Bak tersambar petir, Danti, begitu ia kerap disapa, terhenyak. Mirisnya, peristiwa itu terjadi di tengah-tengah keramaian dan disaksikan oleh banyak orang, yang mungkin juga familier dengan wajah Danti.
Marah yang meletup kemudian menjadi emosi yang segera ia rasakan. "Saya masih ingat bagaimana ia tertawa sambil melihat Saya dan terus mengendarai motornya," kata Danti.
Tak cukup sampai di situ. Laki-laki bejat itu memutar kembali motornya dan mencoba melakukan tindakan pelecehan itu sekali lagi. Namun, Danti kali ini sudah bersiap, ia melindungi dirinya dengan tangan dan tas yang ia bawa.
Melihat motornya menjauh dan menghilang, Danti merasa sedikit lega. Namun kelegaan dan rasa aman semu yang ia rasakan hanya bertahan sesaat. Untuk ketiga kalinya, laki-laki itu datang dan mencoba melakukan hal yang sama lagi. Beruntung Danti menyadari aksinya, dan kembali berhasil melindungi dirinya dari sentuhan laki-laki itu.
Apa yang Danti lakukan kemudian? Ia mengeluarkan sumpah serapah kepada laki-laki itu, sembari berlari ke halte bus. Ketakutan mengintimidasinya, ia merasa diikuti dan perasaan aman yang ia rasakan ketika mengawali langkahnya ke halte bus di awal perjalanannya tadi lenyap tak berbekas.
Peristiwa yang ia catat pada blog pribadinya itu masih menghantuinya, dan rasa takutnya menjadi berlipat ketika ia berjalan di malam hari. Pada saat itu, rasa aman adalah sebuah harta mewah baginya.
Situasi yang serupa tapi tak sama juga dialami oleh seorang wanita berinisial NA, 25. Bukan kekerasan secara fisik yang ia alami, tapi kekerasan verbal dalam bentuk catcall (siulan, teriakan, atau komentar yang bersifat seksual pada seorang wanita yang lewat).
Pengalaman yang tidak nyaman tersebut terutama ia rasakan ketika sudah memasuki dunia kerja. Dalam perjalanannya menuju kantor, para laki-laki sering melakukan catcall pada wanita yang bekerja pada salah satu maskapai penerbangan ini.
"[Pernah] ketika harus berjalan kaki di gang yang sepi dan gelap, saya di catcall oleh lelaki asing kurang ajar yang sedang mengendarai sepeda motor," tulisnya dalam laman blog yang ia buat bersama dengan teman-temannya, the working girls.
"Saya sangat marah luar biasa. Saya mengacungkan jari tengah ketika ia melewati saya. Saya tidak tahu apakah ia melihat apa yang saya lakukan, namun hal itu membuat saya sedikit lega," sebut NA, sembari menambahkan bahwa akan tetapi, ia kemudian merasa takut jika dikuntit oleh laki-laki itu.
Kantor yang Mencekam Perempuan
Tidak hanya jalanan, tetapi lingkungan kantor ternyata juga rentan terjadi pelecehan terhadap perempuan. Padahal, bagi wanita yang bekerja, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, kehidupan di kantor telah memakan hampir separuh waktu dari total waktu keseharian mereka.
NA menegaskan bahwa ia juga sering mengalami kejadian serupa di kantor. Ia mengaku sering dipanggil atau disiuli. Hanya saja, ia memilih untuk hanya memandang sinis atau mendiamkan para pelakunya.
"Karena bingung kalau mau marah, nanti dianggap berlebihan. Permasalahan seperti ini kan belum dianggap serius oleh orang Indonesia," katanya kepada tirto.id.
NA memantrai dirinya sendiri. Apabila ada lagi yang melakukan hal serupa terhadapnya, ia akan mengingatkan dengan tegas kepada pelakunya bahwa hal yang sama dapat terjadi pada anak, istri, atau bahkan kerabatnya.
"Saya sudah [menumbuhkan] niat. Ke depan, jika ada yang bertindak parah, Saya akan melakukan [hal itu]," katanya.
Senada dengan NA, LKR, 27, yang saat ini sedang bekerja dalam perusahaan multinasional di Jakarta juga pernah mengalami beberapa perlakuan yang membuatnya tidak nyaman di kantor.
Ia mengatakan, dalam pengalamannya bekerja pada beberapa perusahaan, kejadian seperti catcall sangat rentan terjadi pada wanita. Bahkan terkadang, sentuhan-sentuhan fisik yang tidak diharapkannya pun juga pernah ia rasakan.
"Kontak fisik [...] pernah seperti mengelus-elus punggung saya, atau jika mengucapkan selamat pagi sambil memegang-megang seperti itu," jelasnya.
LKR mengatakan, beberapa tahun yang lalu, ketika ia bekerja magang di sebuah hotel di Yogyakarta, ia bahkan pernah menjadi obyek eksploitasi mata para laki-laki yang bekerja di sana.
"Saya pernah sengaja dipanggil ke ruangan yang isinya semua laki-laki dengan alasan awal diminta mengambil berkas. Namun berkas tersebut tidak segera diberikan kepada saya. Saya malah diminta menunggu di sofa yang memang semua orang bisa melihat ke arahnya," katanya kepada tirto.id, sembari menambahkan, ia merasa ada yang janggal.
Setelah selesai menghantarkan berkas yang ada, ia tidak sengaja mencuri dengar perkataan atasannya via telepon kepada para staf laki-laki yang ada di ruangan tadi, yang mengatakan, "lumayan kan buat segar-segar."
Ia pun hanya bisa terdiam.
Ucapan-ucapan yang bersifat melecehkan pun sering LKR dengar dari atasannya. Ia mengatakan, pada suatu saat atasannya pernah berkata, "Kamu sudah makan? [...] Makan dong dari pada kamu yang saya makan."
Ia kembali terdiam. "Sesampainya di rumah saya menangis," tambahnya.
Baik Danti, NA maupun LKR sependapat, yang terjadi terutama pada lingkungan kantor adalah relasi kuasa di mana wanita ditempatkan menjadi lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki sehingga membuat ruang-ruang pelecehan tersebut dapat terjadi.
"Perempuan biasa dijadikan objek, bukan dimanusiakan. Objek untuk bercanda apalagi," kata Danti kepada tirto.id.
"[Kita] kadang terjebak dalam situasi, misal yang berbuat melecehkan atau membuat tidak nyaman adalah atasan. [...] Jika kita bertindak tegas terhadap atasan, ada ketakutan atasan akan menjadi 'jahat' kepada kita. Di satu sisi, kita masih membutuhkan pekerjaan tersebut," tambah LKR.
Angka Kekerasan yang Tinggi
Pelecehan, kekerasan verbal ataupun fisik, cukup kenyang dirasakan perempuan Indonesia. Pada 2015, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada lembaga tersebut.
Angka kasus kekerasan yang terdapat pada Komnas Perempuan memang tidak menunjukkan grafik yang menanjak konstan. Sebagai catatan, pada tahun 2014, kasus yang dilaporkan berjumlah 12.510 kasus, sementara pada tahun 2013 terdapat 16.403 kasus.
Namun, hal tersebut karena kasus-kasus kekerasan perempuan merupakan puncak dari gunung es yang tidak terlihat. Banyak dari korban yang memilih untuk tidak melaporkan kejadian yang mereka alami kepada pihak berwenang, seperti halnya yang terjadi Danti, NA, maupun LKR.
Perlu dicatat, mengingat keterbatasan jangkauan Komnas Perempuan, figur yang dinyatakan oleh lembaga tersebut kemungkinan besar jauh dari realita yang ada di lapangan.
Mirisnya lagi, sebanyak lebih dari 65 persen dari pelaku kasus kekerasan tersebut adalah mereka yang memiliki relasi dekat dengan korban, seperti suami, pacar, ataupun ayah.
Bisa jadi, hal inilah yang kemudian membuat kekerasan pada perempuan kemudian menjadi sebuah lingkaran setan. Laki-laki berbuat demikian karena laki-laki yang lain juga melakukannya. Layaknya bayi yang baru belajar, mereka saling meniru satu dengan yang lain. Sebuah rantai yang menurut para korban sudah selayaknya untuk diputus.
“Setiap orang berhak untuk merasa aman dan dihormati. Baik pria maupun wanita membutuhkan hal itu. Tapi karena sebagian besar perempuan lebih terancam, saya harus katakan, tolong berhenti menyebarkan perilaku seksis, dan lelucon merupakan pemicu pelecehan seksual lainnya,” tegas Danti.
“Saya justru heran. Apakah mereka [laki-laki] benar-benar tidak bisa menahan libido dan menata ulang perilaku mereka?”.
============
Tayang perdana di Tirto pada 18 Agustus 2016
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti