Menuju konten utama

Hak Perempuan Diakui sekaligus Diingkari

Hak perempuan diatur dalam banyak regulasi di Indonesia dan sebaliknya pula ada sejumlah regulasi yang mendiskriminasi perempuan. Minim implementasi dan perlu pembaruan yang mendesak.

Hak Perempuan Diakui sekaligus Diingkari
Diskusi Menjelang Hari Perempuan Internasional 2017 di Lembaga Badan Hukum, Jakarta Pusat, Senin (6/3). Pokja Buruh Perempuan menuntut pemerintahan Joko Widodo dan DPR untuk memberikan perlindungan kepada semua pekerja perempuan, pemenuhan hak maternitas pekerja perempuan, cuti haid, dan Cabut PP pengupahan No.78 tahun 2015. ANTARA FOTO/ Atika Fauziyyah/ama/ 17.

tirto.id - Tahun 2017, sejumlah lembaga advokasi dan konseling mencatat ribuan kasus pelanggaran dan pengabaian hak perempuan. Mereka juga menyoroti kekerasan seksual dan penghilangan nyawa.

Sehari sebelum Hari Perempuan Internasional, Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan 2017 dengan menghimpun data dari sejumlah instansi. Mereka mencatat ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), secara spesifik kekerasan terhadap istri, menempati urutan pertama dengan jumlah 5.784 kasus.

Kasus berikutnya kekerasan dalam pacaran (2.171 kasus) dan kekerasan terhadap anak perempuan (1.799 kasus). Kasus-kasus lain seperti kekerasan mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Dalam aksi Women’s March Jakarta di Monas, Sabtu pekan lalu (4/3), isu kekerasan dan pelanggaran hak-hak seksual juga disuarakan oleh para peserta aksi. Pelbagai organisasi masyarakat maupun individu, yang mewakili komunitas perempuan, LGBT, perwakilan daerah, segelintir pesohor, dengan beragam latar belakang usia dan gender, berpartisipasi mengartikulasikan kepentingan perempuan. Delapan tuntutan dibacakan di pengujung aksi, melingkupi aspek kesehatan, lingkungan, politik, seksualitas, dan disabilitas.

Dari segunung kasus terhadap perempuan, di sisi sebaliknya, implementasi atas UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan pengentasan kekerasan seksual terhadap perempuan masih menghadapi tembok tinggi.

Dede Kurnia menulis dalam Jurnal Konstitusi pada 2015 bahwa perempuan sering menerima KDRT atas dasar beberapa asumsi. Misalnya persepsi tertentu dalam benak pelaku dan ditopang hukum-hukum yang masih bias gender. Belum lagi persoalan korban yang sulit mengakses hak dalam proses pengaduan maupun pelaporan, kriminalisasi korban, dan aparat hukum yang tidak sensitif korban lantaran pandangan yang patriarkis.

LBH Apik, dalam satu siaran pers, menyatakan perempuan sebagai korban kekerasan harus menanggung secara mandiri segala biaya proses hukum termasuk visum dan mencari saksi ahli, tempat yang aman baginya, serta mendanai kesehatannya sendiri, fisik maupun psikologis.

Minimnya perempuan mendapatkan perlindungan dari kekerasan mendorong siklus yang rentan. Dan dalam banyak kasus, penerapan atas sejumlah hak bagi perempuan, yang diatur dalam hukum di Indonesia, justru diabaikan.

Hak Perempuan di Tempat Kerja

UU No. 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja mengatur soal hak-hak karyawan perempuan. Beberapa di antaranya menyangkut hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, kesempatan untuk menyusui, dan layanan antar-jemput bagi karyawan perempuan yang bekerja di atas pukul 23.00 hingga 05.00.

Beberapa kawan yang bekerja di perusahaan swasta, yang saya wawancarai mengenai cuti haid, mengatakan perusahaan berencana menerapkan hak tersebut tetapi minim aksi. Dari lima perempuan, hanya satu orang yang pernah bekerja di kantor yang memberlakukan cuti haid. “Itu pun hanya 2-3 hari dalam setahun, enggak setiap bulan atau setiap ngerasa sakit,” kata Lina Kusumadewi, yang mendapat privilese cuti haid dari kantor lamanya di bidang telekomunikasi.

Dari perspektif karyawan perempuan, Galuh Sakti Bandini mengungkapkan penerapan kebijakan ini bukanlah sesuatu yang mutlak. Pertimbangan kondisi perempuan saat haid yang berbeda-beda membuat perempuan yang pernah bekerja di kantor agensi ini beralasan demikian. “Kalo gue sih enggak butuh karena haid gue enggak sakit. Tapi kalo ada cewek yang haidnya sakit banget, harusnya dibolehkan cuti,” jelasnya.

Septiana, yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan, mengatakan "tidak ada kebijakan tertulis" mengenai cuti haid dalam perjanjian kerja di kantornya. “Formalnya, sih, enggak ada. Tapi di sini kalau mau cuti gampang, alasan sakit, walaupun enggak dikasih tambahan cuti dalam setahun juga.”

Isu lain adalah hak untuk menyusui. Sekalipun perusahaan wajib memberi kesempatan bagi karyawan yang jadi ibu untuk menyusui anaknya, masih sumir dalam hal implementasi. Apakah di tempat kerja? Apakah telah tersedia ruangan khusus menyusui yang memadai?

Pemerintah menggalang kampanye tentang "mengutamakan ASI", tetapi perempuan di tempat kerja hanya diberi waktu tiga bulan cuti, sejak menjelang persalinan hingga pascapersalinan.

Logika perusahaan mengabaikan hak khusus karyawan perempuan karena lazim melihat pekerja sebagai tenaga produktif. Dalam kasus terburuk, ia bahkan terjadi secara meluas di lingkungan kerja pabrik, tempat yang biasanya paling tinggi dalam kasus-kasus pengabaian hak buruh.

Infografik HL Hak Perempuan

Aturan Diskriminatif

Sejumlah aturan secara implisit melanggengkan patriarki yang merugikan perempuan. Dalam wawancara tertulis, Naila Rizqi Zakiah, pengacara dari LBH Masyarakat, memaparkan penjelasannya.

“UU perkawinan bisa dibilang merupakan induk patriarki di peraturan perundang-undangan kita. Ia melanggengkan perkawinan anak, menghalalkan praktik poligini, mengharamkan cinta beda agama, memberangus hak kelompok agama atau kepercayaan minoritas untuk menikah. Selain itu, KUHP juga masih bias gender. Belum lagi peraturan di level daerah, yang berdasarkan laporan Komnas Perempuan, terdapat 421 peraturan yang diskriminatif, termasuk di antaranya qanun di Aceh, perda-perda syariah di daerah Sumatera Barat.”

Namun, aturan-aturan yang membelenggu perempuan Indonesia terus diupayakan untuk direvisi. Naila mengatakan, saat ini ada agenda pembahasan beberapa rancangan undang-undang maupun prakarsa memperbarui undang-undang. "Ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU KUHP, RUU PRT, RUU Pemilu, dan lain sebagainya. Yang bisa dilakukan oleh gerakan perempuan dan HAM adalah mengawal dan terlibat langsung dalam setiap pembahasan. Kita juga harus memberikan sikap, baik persetujuan atau dukungan maupun penolakan atas RUU tersebut.”

Sejumlah lembaga yang konsen pada isu keadilan gender, dan hak asasi manusia secara umum, juga melakukan pelbagai langkah guna mendorong aparat hukum mampu menjamin perlindungan terhadap perempuan. Ia mencontohkan kerja sama Komnas Perempuan dan aparat penegak hukum, misalnya, melalui pendidikan gender untuk jaksa.

"Itu efektif untuk membongkar mitos-mitos soal kekerasan terhadap perempuan seperti banyaknya aparat yang masih menanyakan korban perkosaan bisa menikmati atau tidak, pakai baju apa saat diperkosa. Dengan mengedukasi mereka, budaya victim blaming terhadap perempuan bisa berkurang,” ujar Naila, yang ikut dalam Women's March Jakarta.

Tidak Hanya dari Aktivis

Optimisme penerapan kebijakan pro-perempuan tak cuma muncul dari mereka yang aktif dalam gerakan-gerakan sosial, tetapi juga pimpinan-pimpinan perusahaan yang peduli pada isu-isu gender.

Salah satu direksi yang menerapkan kebijakan berpihak pada perempuan adalah Kokok Dirgantoro, CEO Opal Communication. Ia menggagas regulasi perusahaan untuk memberikan cuti melahirkan selama 6 bulan penuh kepada perempuan tanpa pemotongan upah.

Terobosan yang dilakukan Kokok tak berhenti sampai di situ. Sejak 2017, ia menetapkan kebijakan cuti sebulan untuk suami yang istrinya baru melahirkan. Peran suami mendampingi istri yang sedang menyusui dan membantu mengurus buah hati berpengaruh terhadap psikologi mereka.

Dari pemerintah, kebijakan serupa muncul dari Aceh, yang ironisnya sebagai provinsi yang menerapkan diskriminasi terhadap perempuan dan minoritas seksual lain, termasuk agama, di bawah syariat Islam.

Dalam salah satu pasal peraturan gubernur tahun 2016 tentang pemberian ASI eksklusif, karyawan yang baru melahirkan mendapat cuti selama 180 hari (6 bulan). Selain itu perusahaan di sana juga diwajibkan membuat ruangan khusus untuk menyusui.

Mengutip buku Polemik Publik Kebijakan Cuti 6 Bulan (Ratnalia Indriasari et. al., 2016), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menanggapinya bahwa aturan itu lebih karena Aceh adalah wilayah otonomi khusus dengan dasar syariat Islam. "Sepanjang tidak mencakup enam kewenangan pusat," katanya, "terserah daerah. Kalau DPRD-nya setuju dan dibuat perda, ya enggak ada masalah.”

Sebaliknya, Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menanggapi negatif peraturan gubernur ini. “UU-nya kan tidak begitu dan tentunya peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan UU,” katanya.

Inisiatif untuk menghormati hak perempuan di Indonesia akan terus jadi isu penting ke depan. Ia juga menjadi pokok pembicaraan di arena publik justru ketika kelompok masyarakat lain menggugat pemajuan hak-hak perempuan, dan mendorong diskriminasi lebih ketat terhadap perempuan. Pertarungan ini merepresentasikan pula gambaran gerakan politik perempuan di Indonesia sesudah era Orde Baru antara kalangan liberal dan konservatif.

Baca juga artikel terkait HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Hukum
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam