Menuju konten utama

Privilese bagi Perempuan: Perlu atau Tidak?

Sejumlah upaya untuk melindungi dan memberi kesempatan bagi perempuan di Indonesia telah diinisiasi oleh instansi pemerintah dan swasta. Beberapa memuji kebijakan-kebijakan pro-perempuan, sebagian lain justru mengkritik. Apa saja alasan mereka?

Privilese bagi Perempuan: Perlu atau Tidak?
Ratusan perempuan melakukan aksi menolak diskriminasi dan kekerasan terhadap Perempuan yang digelar serentak oleh perempuan Indonesia di sejumlah kota. ANTARA FOTO

tirto.id - Sejak 2010, PT Kereta Api Indonesia berinisiatif membuat gerbong khusus perempuan untuk Commuter Line—jalur kereta yang menghubungkan Jakarta dan kota-kota penyangga areal Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ini dipandang positif oleh sebagian masyarakat, secara spesifik perempuan yang kerap merasa tidak aman bertransportasi di dalam kota.

Maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan menjadi salah satu faktor utama mengapa pemerintah melalui PT KAI menelurkan kebijakan diskriminatif positif ini. Catatan yang dihimpun LBH APIK tahun 2009, dari dokumentasi sejumlah media, menunjukkan terdapat 1.058 pengaduan terkait kekerasan terhadap perempuan. Dari angka ini, terdapat 80 pengaduan yang tergolong tindak pidana umum (termasuk pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, penipuan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan).

Kebijakan transportasi yang berpihak pada perempuan diterapkan dalam TransJakarta. Kini, tak hanya perempuan bisa menempati ruang khusus dalam bus, tetapi lebih dari itu, mereka bisa mengisi penuh bus yang memang diperuntukkan bagi kaum hawa per 2016 silam meski dengan rute dan jumlah armada terbatas.

Dari sisi instansi swasta, telah banyak ditemukan area parkir khusus perempuan di mal-mal dan gedung perkantoran. Segi pendidikan pun tak kalah dijamah oleh para pemerhati kesetaraan gender. Kesempatan perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi sudah diinisiasi, sebut saja AAUW International Fellowships for Women, Schlumberger Foundation Faculty for the Future Fellowships for Women, dan UNESCO-L’Oreal Fellowships For Women in Science.

Dari sisi politik parlementer, yang juga tak kalah penting, sudah dibuat aturan kuota 30% bagi perempuan untuk terlibat dalam partai politik dan menduduki jabatan sebagai perwakilan rakyat. Ini dimuat dalam Undang-Undang Politik No. 2 tahun 2008 (pasal 2 ayat 2).

Langkah di atas merupakan bentuk-bentuk aksi afirmatif (affirmative action) atau perlakuan khusus yang memberikan keuntungan bagi perempuan.

Tak Sekadar Pengistimewaan

Terdapat beberapa definisi mengenai konsep apa yang disebut aksi atau langkah afirmatif. Situs Stanford Encyclopedyia of Philosophy mengartikannya sebagai langkah positif untuk meningkatkan representasi perempuan dan minoritas dalam area pekerjaan, edukasi, dan budaya yang sebelumnya tidak mengeksekusi mereka.

Sementara dalam satu tulisan ilmiah, Kaimenyi et. al. (2013)mengutip definisi dari Dessler (2005) yang memandang aksi afirmatif sebagai upaya mengurangi diskriminasi yang terjadi di masa lampau. Ia mencakup beragam hal seperti keputusan perekrutan kerja, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, dan area lain di ranah publik. Hendri Sayuti (2013) menuliskan pula bahwa aksi afirmatif adalah diskriminasi positif guna mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan.

Aksi afirmatif tak terbatas pada upaya peningkatan peran perempuan dalam pelbagai aspek atau sekadar bentuk pengistimewaan. Cakupan diskriminasi sesuai UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dijabarkan oleh Irma L. Sihite dalam tesisnya, yaitu pembatasan, pelecehan, dan pengucilan. Maka perlindungan dari pelecehan yang kerap menimpa perempuan pun termasuk dalam gol aksi afirmatif semacam ruang-ruang khusus bagi perempuan dalam moda transportasi.

Infografik HL Hak Perempuan

Membela dan Mencibir Kebijakan Pro-Perempuan

Tidak semua orang sepakat bahwa diskriminasi positif ini adalah hal baik. Mereka yang kontra memandang kebijakan ini melanggar prinsip keadilan, persamaan, dan kesempatan demokratik. Seyogyanya, laki-laki dan perempuan berkompetisi tanpa perlu adanya arus pengistimewaan. Alhasil, langkah afirmatif dianggap bentuk diskriminasi baru.

Di samping itu, mereka yang memandang tak perlu adanya kebijakan ini berargumen bahwa tak semua perempuan menginginkan perlakuan khusus. Ini malah memperkuat stigma bahwa perempuan memang kaum yang lemah dan tidak bisa berkompetisi tanpa privilese semacam ini.

Sebaliknya, di sisi pendukung, langkah afirmatif dianggap perlu karena adanya latar belakang perlakuan diskriminatif terhadap perempuan di masa lalu. Praktik diskriminasi dalam pelbagai aspek membuat ruang gerak perempuan terbatas. Selain itu, langkah afirmatif dipandang sebagai alat untuk mempromosikan keberagaman dan representasi proporsional dari pelbagai elemen sosial.

Guna mengetahui pendapat mengenai sejumlah kebijakan afirmatif ini, saya menanyakan ke beberapa orang. Aris Masruri, alumnus sastra Inggris dari Universitas Islam 45 Bekasi, menyatakan ruang khusus perempuan dalam kereta atau bus diperlukan dalam konteks Indonesia. Ia beralasan, banyaknya kasus pelecehan seksual di Jakarta membuat kebijakan diskriminatif positif pada transportasi masih relevan untuk diterapkan.

Di sisi lain, Erol Kurniawan memandang ruang khusus perempuan tak begitu penting diaplikasikan. “Kalau alasannya buat perlindungan perempuan dari kriminal, seharusnya keamanan jadi hak setiap orang,” ujarnya, yang memakai kereta komuter untuk sebagian besar aktivitasnya.

Lain halnya dengan alasan Niduparas Erlang. Mahasiswa Universitas Indonesia ini menyatakan, “Lebih perlu gerbong khusus disabilitas, ibu menyusui, dan orang lanjut usia.” Meski tak setuju dengan ruang khusus perempuan, Nidu memandang penting kebijakan afirmatif dalam bidang politik dan pendidikan karena suara perempuan masih sangat minim untuk kedua bidang tersebut. “Apalagi, tidak sedikit yang masih beranggapan bahwa pendidikan bagi perempuan enggak penting,” imbuhnya.

Pendapat Nidu tak sejalan pemikiran Evistriana Yanti. Pekerja di bidang teknologi informasi ini mengatakan beasiswa dan kuota politik tidak begitu diperlukan di Indonesia. Pasalnya, kebijakan macam itu malah merendahkan perempuan dan menguatkan anggapan bahwa kaum perempuan tak bisa bersaing.

Masih dari perspektif perempuan, Lina Kusumadewi, bekerja di perusahaan penyedia jasa internet, mengungkapkan hal senada dengan Evis. "Untuk beasiswa ataupun kursi di DPR mah sama enggak perlu, mendingan dipilih karena memang sesuai dengan kemampuannya."

Serangkaian argumen pro dan kontra ini mengindikasikan, setelah bertahun-tahun pelbagai kebijakan afirmatif diterapkan, penerimaan terhadapnya belum tentu utuh. Intensi positif dari pemerintah dan instansi-instansi swasta tak serta merta diamini oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun demikian, selama pekerjaan besar mengikis atau bahkan menghapus budaya patriarki—yang menjadi akar dari tindak diskriminatif terhadap perempuan belum terpecahkan, langkah afirmatif dipandang sebagai solusi jangka pendek untuk mengentaskan ketidaksetaraan gender.

Baca juga artikel terkait HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam