tirto.id - Beberapa jam setelah darah haid pertamanya keluar, perut bagian bawah mendadak keram seperti diremas dan diputar. Pinggul sampai ke selangkangan tiba-tiba pegal. Perasaan ingin buang air besar muncul, tetapi setelah ia duduk di kloset puluhan menit, tak sedikitpun feses keluar.
Kepalanya ikut pusing, tubuhnya kelelahan, meski tak melakukan apa-apa. Jika sudah begitu, jangan minta dia berpikir atau melakukan aktivitas fisik apapun. Memegang ponsel yang biasanya tak luput tadi genggamannya pun dia enggan. Dia akan berbaring seharian, telentang, menungging, telentang lagi, menungging lagi, dengan tangan terus memegang perut. Terkadang, ia sampai muntah-muntah dan diare.
Untuk mengurangi rasa sakit, biasanya ia mengambil botol, mengisinya dengan air hangat, lalu botol itu digelindingkan di atas perut. Atau kalau ia benar-benar tak tahan lagi, ia akan menenggak pil anti-nyeri. Upaya-upaya itu tak lantas langsung menghilangkan rasa sakit, melainkan hanya mengurangi.
Kondisi itu dialaminya tiap bulan, sejak ia lulus SMA. Ia adalah saya.
Memang tak semua perempuan merasakan rasa sakit setiap datang bulan. Akan tetapi, dibandingkan dengan yang tidak merasakan sakit, jumlah mereka yang menderita ketika datang bulan jauh lebih besar.
Menurut American Congress of Obstetricians dan Gynecologists, lebih dari setengah dari perempuan yang menstruasi mengalami rasa sakit selama satu sampai dua hari setiap bulan. Rasa sakit ini disebut dismenore. American Academy of Family Physicians menyatakan 20 persen perempuan mengalami dismenore yang cukup parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Ada dua jenis dismenore: primer dan sekunder. Dismenore primer adalah yang umum dirasakan perempuan saat menstruasi. Ia berupa kram di perut bagian bawah akibat dari kontraksi rahim. Sementara, dismenore sekunder biasanya dipicu oleh penyakit lain, misalnya infeksi rahim.
John Guillebaud, profesor di bidang kesehatan reproduksi, University College London mengatakan rasa sakit saat menstruasi sama buruknya dengan serangan jantung. “Saya percaya itu adalah sesuatu yang harus dirawat, seperti hal lain dalam pengobatan,” katanya seperti dikutip The Independent Februari 2016 lalu.
Perempuan yang menderita dismenore saat haid akan sulit berkonsentrasi melakukan pekerjaannya. Maka, beberapa negara membuat aturan cuti haid tiap bulan bagi perempuan.
Di Indonesia, cuti haid sudah ditetapkan sejak 2003. Perusahaan harus memberi izin cuti pada hari pertama dan hari kedua saat pekerja perempuan datang bulan. Tetapi perusahaan tidak diwajibkan memberikan upah penuh.
Pengaturan mengenai cuti haid dapat kita jumpai dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. UU tersebut bisa diunduh dari situs Setkab berikut.
Masih banyak persoalan dalam implementasi cuti haid ini. Beberapa perusahaan tidak mensosialisasikan kebijakan ini dengan baik. Atau bahkan ada yang tidak memberikannya.
Vani, salah satu karyawan di perusahaan pengembang menyatakan dirinya tak pernah mengambil cuti haid. Bukan karena ia tak menderita dismenore, tetapi karena memang kantor tempat ia bekerja tak membolehkannya.
Di Jepang, aturan cuti haid sudah ada sejak 1947. Tak seperti di Indonesia yang telah ditetapkan jumlah harinya, di sana jumlah hari cuti dan besaran upah ditentukan oleh masing-masing perusahaan.
Di Taiwan, kebijakan cuti haid baru diberlakukan 2014 silam. Ia merupakan bagian dari cuti sakit yang ditetapkan 30 hari per tahun. Para pekerja yang mengambil cuti ini tetap berhak atas upah penuh. Negara Asia Timur lain, Korea Selatan, menerapkannya lebih dulu dari Taiwan dan Indonesia, yakni sejak 2001. Sama seperti Taiwan, pekerja yang mengambil cuti haid di Korea Selatan tetap berhak atas upah penuh.
September tahun lalu, YouGov melakukan survei terhadap 1.000 perempuan. Survei itu menunjukkan 52 persen perempuan mengalami dismenore saat datang bulan. Namun, hanya 27 persen yang memberitahukan atasannya. Sepertiga dari mereka yang mengalami dismenore akhirnya memilih mengambil izin sakit.
Mengambil cuti haid sering dianggap sebagai hal memalukan karena diimbuhi kekhawatiran dianggap lemah. Padahal, kebijakan cuti haid bukanlah bukti bahwa perempuan lemah. Sebaliknya, ia adalah bentuk pengakuan dan akomodasi atas kebutuhan biologis pekerja perempuan.
===============
Tayang perdana di Tirto pada 9 Januari 2017
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani