tirto.id - "Saat kami di tahanan, bapak-bapak banyak yang disiksa, dihajar habis-habisan. Kalau kami, perempuan, biasanya rok kami disingkap (ia menunjukan batas di atas pinggang). Dicari capnya. Katanya kalau Gerwani ada capnya. Di pahanya ada cap G-E-R-W-A-N-I."
Tatapannya kosong saat mengucapkan kalimat itu, tapi ia tetap saja memanggil sisa-sisa ingatan yang sebenarnya sudah enggan ia ceritakan. Ia tersenyum getir saat berkata: "Seperti sapi saja. Padahal, siapa yang mau nge-cap? Memang siapa yang sempat?"
Lalu, ia mengambil napas dan matanya menerawang ke langit-langit, ia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang masih tertahan di ujung lidahnya.
"Hingga akhirnya pada suatu malam, kami diperiksa lagi, saya bersama teman satu sel. Saya ditanya, apa benar-benar tidak mengakui. Kami menjawab bahwa kami tidak bisa mengakui."
"Habis itu kami berdua ditelanjangi. Kami disuruh memilih, memilih untuk mengaku atau duduk berdua berpangkuan. Saya tidak memilih!"
"Tapi apa... Kami berdua dipaksa. Mereka mengangkat badan kami, di posisikan berpangkuan," ia menelan ludah.
Perempuan itu bernama Christina Sumarmiyati atau kerap disapa Mamik. Ia bekas anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Mamik adalah salah satu di antara perempuan-perempuan yang dituduh sebagai anggota Gerwani yang membunuh enam jenderal dan menyilet enam jenderal dan menarikan tarian telanjang dan melakukan orgy di Lubang Buaya pada dini hari 1 Oktober 1965. Kesaksian yang pedih itu bisa disaksikan dalam dokumenter berjudul Perempuan yang Tertuduh.
Sementara di bagian lain, pada kisah Game of Thrones, serial televisi drama fantasi Amerika produksi HBO, menyodorkan penonton sebuah penebusan dosa Cersei Lannister. Penebusan dosa yang dikatakan High Sparrow sebagai bagian penghukuman Faith of the Seven. High Sparrow menawarkan pencerahan di tengah kemiskinan spiritualitas dan di tengah kebengisan dan kelaliman sosok Cersei Lannister.
Setelah rambut Carsei dipangkas habis, ia dibawa bersama High Sparrow dan Septa Unella di depan King’s Landing. Dibacakan dosa-dosa dan pengampunan dari Cersei Lannister lalu dilepaskannya pakaiannya. Septa Unella membunyikan bel mendorong Cersei ke jalanan dan meneriakkan: "Shame!"
Cersei tak dapat menghindar sedikitpun. Ia harus rela dimaki, dilempar, hingga diludahi oleh rakyat King’s Landing. Sekejam apapun sosoknya, setibanya ia di depan istana, ia tersungkur, menangis.
Game of Thrones memang sekadar karya fiksi, tapi Cersei tidak sendiri. Cersei hadir bersama sejarah hukuman pada abad pertengahan dan public shaming lainnya. Dan kisah Cersei, dan juga Mamik, hanya salah dua di antara rangkaian kisah mengerikan lain dalam hal mempermalukan perempuan.
Mempermalukan Manusia Tanpa Tedeng Aling-Aling
Pernahkan Anda berjalan di jalanan yang lenggang lalu seorang atau beberapa orang asing bersiul dan melontarkan kalimat yang menggangu tanpa merasa risih atau malu? Jika Anda menjawab "pernah", maka Anda tak sendirian. Perilaku yang dilakukan orang asing macam itu disebut catcalling, tindakan menggoda, melecehkan dan memanggil (umumnya terjadi pada perempuan) di pinggir jalan dengan tendensi seksual dan merendahkan.
Catcalling dianggap sebagai tindakan mempermalukan dan biasanya disebut public shaming. Anda tidak perlu digiring telanjang untuk merasa malu, takut, dan terhina. Public shaming bukanlah sesuatu yang baru dan catcalling hanyalah satu di antaranya.
Public shaming adalah bentuk hukuman sosial yang diberikan masyarakat kepada mereka yang dianggap melanggar tatanan atau moral dalam masyarakat tersebut, kepada seorang pelaku kejahatan atau seorang terdakwa.
Pada zaman perbudakan, orang kulit hitam sebagai budak yang melanggar kode etik akan mendapatkan hukuman dari majikannya. Pada 1944 di Paris, perempuan-perempuan yang tertuduh bekerjasama dengan Nazi akan dibotaki dan diarak keliling kota.
Taliban di Afghanistan, ISIS di Iraq, dan Boko Haram di Nigeria memberlakukan hukum berdasar syari'at Islam seperti hukum rajam (melemparkan batu kepada seorang tertuduh hingga mati). Tak terkecuali di Indonesia, di Aceh, ditetapkan implementasi formal penegakan syari'at Islam, di mana di antaranya hukuman cambuk di muka umum.
Pada awal 2016, seorang siswi berumur 14 tahun di Sragen harus diarak tanpa pakaian sepanjang desa karena mencuri sendal dan pakaian. Selama ia diarak, ia direkam, difoto oleh warga.
Larissa Tracy, penulis buku Torture and Brutality in Medieval Literature mengatakan bahwa public shaming adalah hukuman abad pertengahan untuk memberikan stigma terhadap tertuduh, terutama bagi perempuan, dan ia (perempuan) kerap berjalan sendirian.
Cersei, tentu saja, seorang penjahat utama Game of Thrones. Meski Cersei secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab untuk banyak kejadian horor dari kisah Westeros, adegan penghakiman publik yang disebutkan sebelumnya sesungguhnya dimaksudkan untuk mengumpulkan simpati bagi karakter Cersei yang sebelumnya dibenci.
Pada akhirnya kita justru melihat kengerian dari kekerasan yang dilakukan masyarakat.
Pada awal bulan Juli 2016, pasangan remaja di Samarinda diarak tanpa pakaian sembari direkam. Rekaman itu dengan cepat menjadi viral. Dan yang paling menyedihkan adalah ketika kedua orang tersebut berusaha menutupi satu-satunya yang berharga dari tersisa tubuh mereka, warga yang menonton menyentuh badan anak perempuan itu.
Mereka tak hanya dipermalukan di muka umum, tapi rekaman mereka tersebar di internet. Semua orang dapat mengaksesnya, dari mana pun, tanpa batas teritori. Karena internet memang tidak memiliki batas. Dan banyak orang menikmati itu sembari tertawa kecil.
Peran Media terhadap Objektifikasi Perempuan
"Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal," ujar Deborah Sumini. Ia ditangkap, ditahan, dan disiksa seperti Mamik, juga dengan tuduhan yang sama dengan Mamik.
Ia ditelanjangi dan disiksa. Nasibnya sama dengan korban-korban perempuan lainnya pada 1965. Tak hanya kekerasan fisik dan seksual di tubuh, mereka juga mendapatkan sakit psikologis seumur hidup mereka.
Di KTP mereka mendapatkan ET atau yang berarti eks tapol dan harus hidup dalam bayang-bayang sebagai "lonte Gerwani", sesuatu yang menyiksa dan berdampak pada anak-cucu dan keturunan mereka seterusnya.
"Tarian Bunga Harum merupakan tarian perangsang jang kotor, sehingga menimbulkan kelakuan-kelakuan asusila di antara para peserta gerakan Kontrev G30S di Lubang Buaja,” bunyi petikan berita harian Kompas, Senin 13 Desember 1965.
Propaganda pemerintah Indonesia pada saat itu, yang disebarluaskan melalui media massa. Dari sanalah public shaming dimulai: banyak orang yang rela menunjuk tetangganya sendiri dan tidak begitu memusingkan apakah tetangganya akan disiksa atau diperkosa.
Tapi itu tidak hanya terjadi di Indonesia pada masa silam. Sampai sekarang pun masih berlanjut: media massa berperan sangat besar untuk mengobjektifikasi perempuan.
Pada 2007, American Psychological Association (APA) merilis data mengenai seksualisasi terhadap perempuan di Amerika melalui berbagai media. APA mengatakan bahwa 11,5% komentar bernada atau bermuatan seksual punya kecenderungan mempermalukan perempuan. 23% dari "kode" perilaku seksual seperti melirik, mengerling, menatap, dan catcalling dilakukan terhadap karakter perempuan. 16,5% dari pernyataan seksual merujuk bagian tubuh atau ketelanjangan perempuan. Dan, tanpa harus merasa terkejut, mayoritas komentar (85%) berasal dari laki-laki.
Media massa telah menjadi ladang yang menyuburkan semangat penghakiman dan mempermalukan perempuan. Media berperan besar melakukan public shaming dan media pula yang akhirnya mempersuasi pembaca untuk ikut berbareng melakukan public shaming.
Public Shaming yang Bisa Mematikan
Sementara siswi SMP di Sragen yang diarak telanjang keliling kampung itu tak bisa berbicara banyak. Ia hanya mengatakan dua hal: "Malu dan takut, Bu". Ia tidak keluar dari rumahnya. Rasa ngilu membayangi anak itu beserta keluarganya, membayangkan tubuh anaknya tersebar di segala penjuru. Terakhir, ia mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya.
Pada 2012, seorang remaja berusia 16 tahun melakukan bunuh diri. Ia merasa frustrasi, merasa tak sanggup menanggung malu, karena ditangkap oleh polisi syariat (Waliyatul Hisbah) karena dituduh melanggar Perda Syariat Islam. Ia ditangkap karena berada di luar rumah sampai larut malam dan diceramahi di depan umum serta dianggap sebagai perempuan tak bermoral.
Derita remaja itu tak berhenti hanya di sana. Esoknya, menurut temuan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS), kejadian itu diberitakan di sebuah media dengan judul: "Dua Pelacur Diberkah WH"
Tak tahan, remaja itu kemudian bunuh diri. Sebelum melakukan bunuh diri, remaja itu menulis sepucuk surat:
"Ayah..., maafin Putri ya, Yah. Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani sumpah kalau Putri enggak pernah jual diri sama orang. Malam itu Putri cuma mau nonton kibot (organ tunggal) di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri. Sekarang Putri enggak tau harus gimana lagi, biarlah Putri pigi cari hidup sendiri, Putri enggak ada gunanya lagi sekarang."
======
Tayang perdana di Tirto pada 19 Desember 2016
Penulis: Anzi Matta
Editor: Zen RS