tirto.id - Masyarakat Rusia dikejutkan oleh pernyataan Presiden Vladimir Putin pada 21 September 2022. Putin memerintahkan mobilisasi parsial kepada rakyat sebagai tentara cadangan Rusia untuk membantu perang di Ukraina.
Putin menyebut perintah ini sebagai langkah untuk melindungi kedaulatan negara. Namun, para pengamat memandang kewajiban militer ini menandakan kegagalan dan keputusasaan Putin dalam berperang.
Menyikapi kebijakan ini, masyarakat sipil ketakutan dan tidak mau diterjunkan ke medan laga. Alhasil, terjadi demonstrasi besar-besaran di Moskow. Tidak sedikit pula penduduk yang berbondong-bondong pergi ke luar negeri agar terhindar dari jeratan wajib militer.
Perintah mobilisasi semacam ini pernah juga dilakukan oleh berbagai negara, dari masa ke masa, dari perang ke perang. Proses dan hasilnya tidak selamanya berjalan mulus dan sesuai harapan.
Awal Mula Wajib Militer
Keikutsertaan rakyat sipil dalam pertempuran dapat ditelusuri ke zaman klasik. Beberapa penguasa di berbagai peradaban kuno di dunia tercatat pernah memerintahkan rakyat sipil untuk bertempur. Raja Hammurabi dari Kerajaan Babilonia yang hidup sekitar 1750 SM, misalnya, tertulis dalam Codex Hammurabi pernah melakukan hal ini.
Dilansir History, kebijakan Hammurabi yang disebut ilkum mengharuskan rakyat sipil bertempur atas nama raja. Mereka tidak bisa menolak dan harus bersedia bertempur jika titah raja keluar.
Pada abad ke-18 terjadi perubahan konsep wajib militer. Rakyat dan elite kerajaan sudah memahami konsep nasionalisme, serta timbul kekecewaan terhadap kinerja tentara bayaran.
Saat itu, menjadi hal lazim bagi kerajaan untuk menyewa tentara bayaran. Penyewaan ini kemudian memunculkan permasalahan. Para tentara bayaran tidak memiliki rasa cinta tanah air, sehingga ketika bertempur mereka tidak optimal dan justru merugikan kerajaan.
Praktik konsep baru ini terlihat saat Revolusi Prancis. Pada 1789, ahli militer Prancis Edmond Dubois-Crance menyampaikan premis sederhana di hadapan Majelis Nasional bahwa “setiap warga negara harus menjadi tentara dan setiap prajurit adalah warga negara.”
Pernyataan tersebut dimaksudkan untuk mendorong rakyat menjadi tentara atau minimal mendorong rakyat dalam urusan militer. Awalnya pernyataan ini tidak diseriusi oleh banyak pihak karena tidak memiliki urgensi. Ada pandangan bahwa rakyat harus fokus pada kehidupan ekonomi dan tidak mengurusi sektor pertahanan.
Semua berubah ketika Napoleon Bonaparte menjadi kaisar baru Prancis pada 1804. Napoleon saat itu berambisi menguasai seluruh daratan Eropa. Namun ambisinya terhalang karena jumlah tentara Prancis sedikit.
Mengutip Ute Frevet dalam A Nation in Barracks (2004), maka ditempuhlah satu-satunya jalan keluar, yakni merekrut rakyat dalam pertempuran. Kondisi rakyat yang rasa nasionalismenya masih mendidih usai menggulingkan Louis XIV dimanfaatkan untuk bertempur melawan kerajaan lain.
Inilah awal mula wajib militer atau levée en masse pertama di negara modern, sekaligus melahirkan istilah bela negara.
Animo masyarakat begitu besar terhadap kebijakan ini. Britannica mencatat bahwa 300 ribu rakyat Prancis sukarela mengikuti wajib militer. Mereka mengikuti pendidikan militer selama beberapa minggu. Hasilnya, Prancis berhasil mengalahkan lawan-lawannya di berbagai front Eropa.
Kesuksesan Prancis mengilhami banyak negara lain untuk memberlakukan wajib militer.
Tidak Selamanya Berhasil
Wajib militer tak selamanya berjalan mulus. Beberapa peristiwa tentang kegagalan wajib militer terjadi saat Perang Dunia I (1914-1918), sebagaimana dirangkum Margaret Levi dalam “The Instituion of Conscription” (1996)
Kasus pertama terjadi di Inggris. Saat permulaan Perang Dunia I, Inggris menyerukan wajib militer kepada rakyatnya, khususnya pria. Dengan diiming-imingi uang, masyarakat menyambut baik ide ini. Mereka pun beramai-ramai mendaftarkan diri dengan penuh semangat untuk berperang.
Namun, saat hari pelaksaan tiba perasaan yang tumbuh justru berbanding terbalik. Dari hari ke hari, kinerja mereka tidak optimal. Setelah diselidiki, sebagian dari mereka ternyata mengikutinya tidak dilandasi perasaan cinta tanah air.
Ada yang ikut-ikutan teman, ingin mendapat uang, dan takut akan stigma pengecut karena tidak ikut berperang. Hal ini membuat militer Inggris berada dalam posisi sulit. Jika tetap bertempur, maka akan membawa kemunduran di garis depan.
Selain itu, muncul masalah baru. Karena tenaga kerjanya ikut berperang, pusat-pusat industri dan ekonomi Inggris berhenti. Akibatnya, ekonomi yang melambat akibat perang, kian terpuruk. Meski Inggris akhirnya memenangi perang, dampak dari permasalahan ini membuat negara merugi dari segi militer dan ekonomi.
Contoh lain terjadi di Kanada. Pada tahun 1917, negara bekas koloni Inggris ini kekurangan jumlah tentara. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mobilisasi rakyat.
Perintah ini ditanggapi sangat reaktif oleh masyarakat, khusus mereka yang keturunan Prancis karena tidak mau mengabdi untuk Kerajaan Inggris. Alasan lainnya karena mereka takut bernasib mengenaskan seperti para tentara di medan perang.
Maka terjadilah protes besar-besaran hingga membuat krisis politik. Pemaksaan rakyat untuk berperang membuat kepercayaan masyarakat Kanada terhadap pemerintah menurun drastis.
Masihkah Efektif?
Setelah Perang Dunia II, penerapan wajib militer mengalami sedikit perubahan. Di beberapa negara, kini wajib militer tetap diberlakukan meski tidak sedang perang. Para peserta biasanya mengikuti pelatihan militer sekali seumur hidup selama beberapa bulan.
Sampai saat ini, Forces mencatat ada 85 negara yang melaksanakan wajib militer dan biasanya dilaksanakan oleh negara yang berada di posisi geopolitik rentan. Korea Selatan, misalnya, melakukan wajib militer karena masih ada ancaman dari Korea Utara.
Tidak hanya alasan keamanan, wajib militer juga ditujukan untuk menanamkan identitas nasional atau pendidikan kewarganegaraan. Negara melakukan indoktrinasi nilai-nilai kebangsaan di tengah pesatnya perkembangan global. Ini sudah dilakukan oleh beberapa negara Eropa, salah satunya Prancis.
Sejak 2021, Presiden Emmanuel Macron memberlakukan Service National Universel, yakni pembinaan nilai-nilai kebangsaan kepada pemuda usia 16 sampai 25 tahun. Konsepnya, mirip penataran P4 masa Orde Baru. Peserta hanya mendengarkan ceramah dari pemateri dan diselingi pelatihan.
Kebijakan ini diragukan keberhasilannya oleh peneliti politik Vicenzo Bove dan tim. Dalam temuannya mereka menyebut bahwa “Warga yang mengikuti pembinaan atau wajib militer justru menunjukkan tingkat kepercayaan yang jauh lebih rendah pada institusi, politikus, dan partai politik daripada mereka yang tidak mengikuti wajib militer.”
Hal ini kemungkinan disebabkan karena, “wajib militer tampak seperti ajang promosi keunggulan militer di institusi.”
Satu hal yang patut diwaspadai sebagai efek dari wajib militer adalah kehidupan peserta setelahnya. Menurut Panu Poutvara dalam “The Political Economy Of Conscription” (2009), ini bisa menjadi senjata makan tuan.
“Mengajari semua warga negara cara menggunakan senjata dan kegiatan militer lain, membuka peluang untuk hadirnya kekerasan yang berkembang menjadi konflik besar dengan dalih tugas patriotik,” catat Panu Poutvara.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi