tirto.id - Haley Baylee, influencer Amerika yang terkenal dengan video parodinya, tidak melewatkan kesempatan untuk ikut dalam tren terbaru “Me and The Boy Who Traumatized Me”.
Tren tersebut bertalian erat dengan popularitas “Man of The Year” yang naik di TikTok.
Lewat tagar, sejumlah perempuan yang menjalani hubungan dengan lelaki toksik mengekspresikan kekecewaan mereka di sosial media.
Yang membedakan dengan tagar “Man of The Year”, alih-alih membagikan potongan chat atau pesan suara dari si laki-laki toksik, yang terjadi dalam “The Boy Who Traumatized Me” adalah mengunggah foto sosok mantan kekasih yang membuat mereka kecewa.
Pada awal video, pengguna TikTok menggunakan gambar Barbie Bratz—yang merepresentasikan perempuan-perempuan dengan penampilan menarik—dan Roddy the Mouse dalam film Flushed Away (2006), yang mewakili laki-laki toksik.
Gambar Roddy berdampingan Barbie adalah simbol dari hubungan yang tidak seimbang dalam standar netizen: perempuan cantik mendapat pasangan laki-laki jelek.
@haleyybaylee the way I could do this trend but I choose peace
♬ Get It Sexyy (Instrumental) - Sexyy Red
Tren “The Boy Who Traumatized Me” menjadi luapan emosi perempuan atas hubungan yang tidak berjalan baik.
Namun, tren ini juga perlu dipertanyakan.
Apakah melakukan body shaming terhadap mantan di publik menjadi jawaban tepat untuk membalas dendam?
Perasaan untuk balas dendam ketika hubungan baru saja berakhir adalah hal wajar.
Ketika disakiti, melakukan upaya agar lawan merasakan hal yang sama adalah insting manusia sejak lahir.
"Kita memiliki gagasan kuat tentang mana yang benar dan salah, siapa yang jahat dan baik. Termasuk pandangan macam apa yang diberlakukan ketika seseorang dicap 'jahat', misalnya melanggar hukum, melanggar aturan, dan bahkan menghancurkan hati seseorang,” jelas Eleanor Butterworth, pakar hubungan, dikutip dari Vice.
“Jika para pelaku dihukum, maka keadilan akhirnya ditegakkan dan setelah itu hidup bisa berjalan seperti biasa," lanjut Butterworth.
Tindakan melakukan body shaming berakar dari kultur patriarki yang menilai seberapa berharga seseorang berdasarkan penampilan semata.
Meski penilaian sosial berdasarkan tampilan luar lebih banyak menyasar perempuan, bukan berarti laki-laki kebal terhadap fenomena ini.
Faktanya, kasus body shaming terhadap laki-laki cenderung jarang dibicarakan.
Laki-laki, bahkan yang green flag sekalipun, kerap menjadi korban yang tak bersuara (silent victim) dari olok-olokan yang menyasar bentuk tubuh dan wajah.
“Bagi banyak laki-laki, penampilan berotot dapat diwakili dengan bentuk tubuh ramping dan tinggi, bahu lebar, otot dada dan lengan atas besar, serta otot perut yang berbentuk. [Standar tersebut] dikatikan dengan manfaat sosial seperti dianggap kuat, berkuasa, percaya diri, dan menarik."
Demikian tulis tim peneliti yang dipimpin Larkin Lamarche dalam artikel “Men Respond Too: The Effects of a Social-Evaluative Body Image Threat on Shame and Cortisol in University Men” (2017).
Penelitian Lamarche menunjukan bagaimana laki-laki selalu merasa harus mengasosiasikan dirinya dengan simbol-simbol maskulinitas untuk bisa bertahan.
Budaya patriarki tidak memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk mendekatkan diri dengan nilai-nilai feminin yang dipandang lemah.
Laki-laki juga tidak diizinkan untuk mengekspresikan perasaan dan juga insecurity yang ia rasakan.
Bukan tidak mungkin laki-laki juga dengan mudah mengalami body dysmorphia, sebuah gangguan mental ketika seseorang tidak berhenti memikirkan kekurangan dalam penampilan.
Namun, sebagai laki-laki yang diharapkan untuk kokoh dan maskulin, ejekan body shaming kadang kala tidak bisa ditanggapi dengan mudah dan terbuka.
"Aku bisa menulis buku berisi kebencian pada diri sendiri di mana masalah utamanya adalah bentuk tubuhku. Sebuah kebencian mendalam. Betapa mengerikannya merasa jelek. Aku mengalami body dysmorphic. Kesulitan yang aku alami itu nyata, rasa sedihnya sangat mengejutkan," tutur Robbie Williams kepada penggemarnya saat membahas penampilannya yang terus dikritik, dikutip dari Cosmopolitan pada 2023 lalu.

Selama bertahun-tahun, penyanyi asal Inggris ini cukup terbuka tentang body dysmorphia yang diidapnya. Kondisi tersebut mendorongnya untuk melakukan diet sampai badannya terlampau kurus pada tahap tidak sehat, bahkan membuatnya defisiensi vitamin C.
Pradikta Wicaksono alias Dikta, penyanyi dan aktor Indonesia, juga pernah mengalami hal yang sama.
Ia dituding mengonsumsi narkoba oleh netizen hanya karena berat badannya yang turun drastis.
"Kurus dibilang narkoba. Kulit iteman dibilang dekil ga keurus. Gondrong dibilang kayak orang sakit,” Dikta membalas geram rumor buatan netizen lewat akun Instagram.
Feminis telah berjuang lama untuk melawan body shaming terhadap kelompok perempuan.
Mengapa saat perjuangan tersebut masih panjang dan terus gencar dikampanyekan, perempuan yang lebih rentan menjadi korban malah giliran bertindak sebagai pelaku body shaming?
Kemarahan dan kekecewaan yang diungkapkan oleh perempuan dalam tren “The Boy Who Traumatized Me” di TikTok tentu dapat dimengerti. Namun demikian, bukan tidak mungkin tren ini akan membuka peluang bagi laki-laki yang tidak bersalah menjadi korban.
Jika terus dibiarkan, beberapa kelompok misoginis bisa jadi akan menjadikan momen ini untuk menjatuhkan gerakan perempuan: baik dengan menjadikan sasaran body shaming atau sasaran olokan karena dianggap gagal menerapkan standar perlindungan dari perilaku patriarki.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































