tirto.id - Di kehidupan sehari-hari, umumnya laki-laki dituntut bersikap maskulin. Namun, ketika sikap maskulin itu sudah melampaui batas, ia malah berbahaya bagi kesehatan mental laki-laki bersangkutan. Toxic masculinity merupakan istilah untuk menggambarkan sikap maskulin laki-laki yang bernilai negatif dan dilebih-lebihkan.
Istilah toxic masculinity pertama kali digunakan psikolog Shepherd Bliss dari Universitas John F. Kennedy, Amerika Serikat (AS) pada tahun 1980-an.
Shepherd Bliss berupaya memisahkan sifat-sifat maskulin ke dua aspek: aspek positif dan negatif. Kumpulan aspek negatif dari maskulinitas itulah yang ia sebut sebagai toxic masculinity.
Intinya, toxic masculinity merupakan istilah yang menggambarkan bahwa laki-laki mesti berlaku dominan, agresif, memiliki kekuatan fisik, dan menekan ekspresi emosionalnya.
Sebagai misal, ketika diejek atau direndahkan, orang-orang yang memiliki toxic masculinity akan lekas tersulut emosinya dan menantang berkelahi. Kondisi itu dianggap "jantan" dan kerap diterima di tengah budaya patriarki.
Di budaya sebagian besar masyarakat dunia, termasuk Indonesia, toxic masculinity kerap ditanamkan pada anak-anak dan remaja.
Anak laki-laki diharapkan untuk tabah, tidak boleh menangis, tidak mengeluh, bermental baja, tidak menunjukkan emosinya, serta siap menanggung beban dan tanggung jawab keluarga.
Laki-laki yang kerap mengeluh dan mudah menangis dianggap tidak jantan. Bahkan, kerap dilabeli sebagai "bencong" karena tidak tunduk pada nilai-nilai maskulin partiarkis.
Pengertian toxic masculinity adalah konsep maskulin berlebihan yang kerap mengedepankan bahwa laki-laki harus jantan, menekan emosinya, agresif, dan merasa lebih tinggi (superior) dibandingkan perempuan, sebagaimana dikutip dari Jurnal Semiotika.
Lantas, apa dampak toxic masculinity pada laki-laki? Dalam kajian psikologi, mengomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat adalah kunci memiliki hidup sehat dan seimbang.
Laki-laki yang menganut toxic masculinity cenderung memendam masalahnya sendiri dan kesulitan mengekspresikan perasaannya.
Akibatnya, mereka cenderung lebih rentan terkena stres dan depresi. Tidak hanya itu, prevalensi bunuh diri banyak dialami laki-laki dianggap berhubungan dengan toxic masculinity.
Infografik SC Toxic Masculinity. tirto.id/Sabit Ciri-ciri Toxic Masculinity dalam Ilmu Psikologi
Dalam kajian psikologi, setidaknya ada tiga ciri-ciri toxic masculinity yang sebaiknya diwaspadai, dilansirVery Well Mind.
Pertama, laki-laki harus tabah dan kuat. Anggapan ini berpandangan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, tidak cengeng, dan berlaku secara agresif.
Laki-laki yang lembek, kemayu, serta mudah mengekspresikan emosi sedihnya dipandang kurang jantan oleh sebayanya.
Kedua, menjauhi sikap feminin atau antifeminin. Pandangan ini menyatakan bahwa laki-laki harus menghindari sikap-sikap feminin, misalnya tidak menunjukkan emosinya berlebihan dan menolak bantuan dari orang lain.
Dalam anggapan toxic masculinity, laki-laki harus bisa mandiri dan berjuang tanpa banyak meminta pertolongan dari sekitarnya.
Ketiga, memiliki kekuatan dan status. Anggapan toxic masculinity juga mengharuskan laki-laki berjuang untuk mendapatkan status, baik itu status sosial dan kestabilan finansial, serta kekuatan fisik agar mereka dihargai oleh orang lain.
Editor: Addi M Idhom