Menuju konten utama

Ciri-Ciri Toxic Masculinity dan Cara Mengatasinya

Ciric-ciri toxic masculinity dan cara mengatasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Ciri-Ciri Toxic Masculinity dan Cara Mengatasinya
Ilustrasi Cowok Maskulin. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Toxic masculinity merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan aspek negatif dari sifat maskulin yang dilebih-lebihkan.

Istilah ini pun berkembang dari waktu ke waktu dan telah memiliki tempat, baik di dunia akademis maupun percakapan sehari-hari.

Dikutip dari NY Times, studi Journal of School of Psychology mendefinisikan toxic masculinity sebagai konstelasi sifat-sifat [maskulin] yang regresif secara sosial yang berfungsi untuk mendorong dominasi, devaluasi wanita, homofobia, dan kekerasan sewenang-wenang.

Sementara dalam masyarakat modern, orang sering menggunakan istilah toxic masculinity untuk menggambarkan sifat maskulin berlebihan yang telah diterima atau diagungkan oleh banyak budaya.

Asal toxic masculinity dan ciri-cirinya

Istilah toxic masculinity atau "maskulinitas beracun" pertama kali digunakan oleh psikolog Shepherd Bliss pada tahun 1980-an dan 1990-an, jelas penulis Emily C. A. Snyder.

Bliss berusaha untuk memisahkan sifat-sifat negatif laki-laki dari sifat-sifat positif, serta menggunakan istilah "maskulinitas beracun" sebagai sarana untuk membuat perbedaan.

Ciri-ciri yang Bliss definisikan sebagai "toxic" bagi maskulinitas termasuk "penghindaran ekspresi emosional", "aspirasi berlebihan untuk dominasi fisik, seksual dan intelektual" dan "devaluasi sistematis terhadap pendapat, tubuh, dan rasa diri wanita."

Toxic masculinity memiliki gagasan bahwa laki-laki harus bertindak secara dominan dan agresif untuk mendapatkan rasa hormat, di mana konsep ini mungkin berasal dari keberlangsungan patriarki.

Namun faktanya, menurut Bliss, banyak pria tampaknya merasa tempat mereka di dunia modern menjadi kurang memiliki tujuan, demikian diwartakan Independent.

Selain itu, banyak pula pria yang tampaknya merasa tempat mereka di dunia modern menjadi kurang memiliki tujuan.

Jadi dalam upaya untuk mendapatkan kembali rasa kejantanan, banyak dari mereka yang menjadikanya sebagai toxic masculinity.

Hanya saja, karena pemahaman banyak orang tentang ini telah menjadi begitu menyimpang dan dihapus dari konteksnya, mereka akhirnya menjadi sebuah cara yang sangat tidak sehat untuk bertindak.

Bagaimana mengatasi toxic masculinity?

Periksalah perilaku bias alam bawah sadar Anda. Berapa banyak bias menyakitkan yang terbawa ke tempat kerja? Mengidentifikasi bias tersebut bisa menjadi tantangan tersendiri.

Pertama, perhatikan perilaku, komentar atau tindakan apa yang membuat kesal dan defensif. Bisakah Anda mengubah interaksi ini menjadi peluang untuk tumbuh dan meningkatkan hubungan?

Di awal pernikahan misalnya, Anda mengharapkan istri memuji setelah melakukan tugas rumah tangga dan menganggap kontribusi tersebut luar biasa, sementara itu adalah hal biasa yang dilakukan sebagai bagian dari sepasang suami-istri.

Daripada bersikap defensif, lakukan introspektif untuk menemukan akar masalahnya dan manfaatkan peluang unik ini untuk berkembang.

Selanjutnya, jangan mengajarkan anak laki-laki untuk mengungkapkan emosi mereka.

Mengajari anak laki-laki tentang ketahanan tidak sama dengan mengajari untuk mengikuti gagasan seperti apa seharusnya seorang anak laki-laki. Semua yang Anda lakukan dalam mengajari mereka ketangguhan adalah membatasi pandangan mereka.

ketahanan adalah tentang merasakan perasaan itu secara nyata, untuk memahaminya, dan memanfaatkannya, bukan menyangkal keberadaannya.

Jadi, tidak apa-apa untuk merasakan apa yang Anda rasakan, itu adalah hal yang normal. Sekarang gunakan perasaan itu dan terapkan pada apa yang akan dilakukan selanjutnya, apakah Anda menginginkan lebih banyak perasaan tersebut atau tidak.

Cara yang terakhir adalah dengan mengambil sikap dengan membangun budaya maskulinitas yang lebih sehat melalui pemodelan peran. Tempat kerja menjadi pendukung utama untuk kesetaraan dan inklusi.

Jika Anda memegang posisi sebagai pemimpin, jangan tunjukkan perilaku yang tidak pantas di depan umum. Seperti mengganggu wanita selama rapat, menunjukkan kefanatikan, atau terlibat dalam pelecehan seksual.

Dan sebaliknya, jika berperan sebagai junior, Anda dapat berbicara lantang dengan menolak atau memilih tidak terlibat dengan perilaku seksis atau ekslusif. Misalnya, ketika seorang membuat lelucon yang merendahkan martabat wanita dalam sebuah pertemuan, jangan tertawa.

Sebagai laki-laki, milikilah keberanian untuk menghadapi rekan-rekan kerja yang kebablasan dalam bersikap, terlepas dari posisi mereka dalam sebuah perusahaan.

Baca juga artikel terkait TOXIC MASCULINITY atau tulisan lainnya dari Devi Putri Aji

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Devi Putri Aji
Penulis: Devi Putri Aji
Editor: Dhita Koesno