Menuju konten utama

Mengenal Fragile Masculinity pada Pasangan & Cara Hadapinya

Salah satu kondisi pada pasangan yaitu merasa rendah diri karena gagal menunjukan kejantanan (kepemimpinan) yang biasa disebut fragile masculinity.

Mengenal Fragile Masculinity pada Pasangan & Cara Hadapinya
Ilustrasi Fragile Masculinity. foto/istockphoto

tirto.id - Fragile masculinity menjadi salah satu permasalahan serius yang bisa dihadapi oleh seorang laki-laki. Parahnya, fragile masculinity bisa berdampak buruk pada hubungan sosial dan pernikahan. Lalu, apa itu fragile masculinity?

Masyarakat Indonesia tumbuh besar dalam budaya patriarki yang meyakini bahwa laki-laki adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal keluarga, ekonomi, dan lain sebagainya. Laki-laki dianggap sebagai pemimpin utama, sedangkan perempuan berada di posisi yang lebih rendah.

Ironisnya, patriarki tidak hanya merugikan kaum perempuan, tapi juga laki-laki. Laki-laki dituntut untuk selalu kuat, tangguh, bahkan tidak boleh menunjukkan hal-hal yang mengarah pada kelemahan seperti menangis. Namun, ketika mereka gagal memenuhi tuntutan tersebut, muncullah hal yang disebut dengan fragile masculinity dalam diri seorang laki-laki.

Apa itu Fragile Masculinity?

Fragile masculinity adalah istilah untuk menggambarkan kondisi seorang pria yang merasa bahwa dirinya bukanlah pria sejati, tidak maskulin, atau kurang "laki". Perasaan ini muncul ketika mereka dianggap gagal atau tidak memenuhi standar maskulinitas yang ditetapkan oleh lingkungan sosialnya.

Sejak zaman dulu, seorang pria akan dianggap maskulin ketika menunjukkan perilaku yang kuat, tangguh, tidak mudah emosional, dan selalu dominan. Apabila seorang pria tidak berhasil memenuhi stereotip tersebut, maka ia seolah kehilangan identitasnya sebagai laki-laki dan merasa kurang jantan.

Hal ini pun bisa berpengaruh pada rasa percaya dirinya. Apabila ia memiliki pasangan atau sudah menikah, maka fragile masculinity bisa memberikan dampak buruk pada hubungan percintaannya.

Pihak wanita akan selalu merasa was-was dan takut salah bertindak. Ia jadi merasa ikut bertanggung jawab untuk menjaga harga diri si pria meskipun itu sebenarnya bukan tugasnya.

Fragile masculinity dapat muncul akibat pola asuh dan norma gender yang diajarkan sejak dini, khususnya dalam budaya patriarki. Misalnya, anak laki-laki diajari untuk menekan emosinya sehingga tidak boleh menangis atau tidak boleh takut.

Laki-laki juga dilarang melakukan hal-hal yang dianggap sebagai tugas perempuan, seperti pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak, bahkan tidak boleh sekadar menyukai warna pink yang dinilai sangat feminin.

Secara keseluruhan, fragile masculinity adalah hasil dari tekanan sosial dan stereotip gender yang sebenarnya kurang realistis. Sayangnya fragile masculinity bisa menjadi akar penyebab munculnya toxic masculinity.

Ketika seorang pria merasa maskulinitasnya terancam atau diragukan, dia mungkin mencoba membuktikan dirinya melalui tindakan yang lebih agresif sesuai stereotip maskulin yang akhirnya berujung pada toxic masculinity.

Baik fragile maupun toxic masculinity, keduanya muncul akibat tuntutan sosial yang ketat mengenai bagaimana pria seharusnya bertindak. Keduanya sama-sama berdampak negatif, baik untuk pria itu sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.

Ciri-Ciri Pasangan Memiliki Fragile Masculinity

Tanda fragile masculinity dapat dilihat dari perilaku pasangan sehari-hari. Berikut ciri-cirinya seperti dikutip dari laman Elle:

1. Selalu Berusaha Menunjukkan Kelebihan untuk Menutupi Kelemahan

Seorang pria dengan fragile masculinity akan selalu berusaha menutupi kelemahan dengan menunjukkan hal lain yang ia anggap sangat maskulin. Biasanya ini berhubungan dengan kekuatan atau dominasi.

Sebagai contoh, pasangan Anda selalu memamerkan kekuatan fisiknya, melakukan hal berisiko demi membuktikan keberaniannya, atau mungkin meremehkan orang lain untuk menunjukkan superioritasnya.

2. Sulit Mengekspresikan Emosi

Kesedihan dan menangis sering dianggap sebagai suatu tanda kelemahan menurut norma maskulinitas tradisional. Oleh karena itu, jika pasangan Anda memiliki fragile masculinity, ia akan menghindari ekspresi emosi yang dirasa dapat membuat mereka tidak maskulin.

Ia akan sulit mengungkapkan perasaan atau membuka diri. Ia juga tidak mau terlibat dalam percakapan emosional dengan pasangannya sehingga akan menghambat hubungan sosialnya.

3. Menolak Aktivitas/Pekerjaan Feminin

Pria dengan fragile masculinity umumnya akan mengotak-ngotakkan semua hal berdasarkan gender. Ia memiliki mindset bahwa setiap gender punya perannya masing-masing dan tidak boleh dilanggar.

Sebagai contoh, pria dengan fragile masculinity biasanya tidak akan mau melakukan pekerjaan rumah tangga, misalnya memasak, membersihkan rumah, bahkan merawat anak. Semua itu dianggap pekerjaan feminin. Jika mereka melakukannya, mereka akan merasa kurang jantan.

4. Merasa Insecure

Pria dengan fragile masculinity bisa merasa insecure atau terintimidasi ketika sedang bersama pasangan.

Terlebih jika pasangannya termasuk wanita independen atau memiliki pencapaian yang lebih tinggi, baik itu dalam hal pendidikan atau finansial.

Pria dengan fragile masculinity umumnya ingin agar wanita bergantung padanya dalam berbagai hal. Jika wanita bisa mengerjakan semuanya seorang diri, maka wanita tersebut bisa menjadi ancaman bagi maskulinitasnya.

Situasi akan jadi lebih parah ketika Anda sebagai wanita dianggap mengambil peran laki-laki, misalnya membayarinya makan. Hal ini bisa membuat pasangan Anda semakin insecure dan dapat berujung pada hubungan yang tidak sehat.

5. Tidak Mau Mengakui Kekurangan

Fragile masculinity membuat seorang laki-laki sulit melakukan refleksi atau introspeksi diri. Akibatnya, ia tidak akan mengakui kelemahannya sendiri karena hal itu dianggap bisa melukai maskulinitasnya.

Pria dengan fragile masculinity umumnya tidak mau menerima kritikan walaupun itu sebenarnya bagus untuk dirinya. Ia juga akan menolak melakukan terapi yang mungkin dibutuhkannya.

Cara Menghadapi Pasangan dengan Fragile Masculinity

Menghadapi pasangan dengan fragile masculinity bisa menjadi tantangan tersendiri karena berkaitan dengan harga diri seorang pria. Namun, Anda bisa mencoba beberapa tips berikut:

1. Sabar dan Empati

Sabar dan empati menjadi bekal penting untuk menghadapi pasangan dengan fragile masculinity. Masalah ini berkaitan erat dengan mindset, sedangkan cara berpikir seseorang tidak akan mudah diubah dalam waktu singkat sehingga butuh banyak kesabaran dalam menghadapinya.

Di sisi lain, dengan berempati akan membuat Anda lebih paham dengan perasaan pasangan Anda. Hal ini membuat Anda lebih berhati-hati dalam melakukan pendekatan sehingga nantinya tidak akan melukai perasaan atau harga diri pasangan Anda.

2. Buka Komunikasi

Laman Knowledge for Men menjelaskan bahwa satu-satunya cara bagi laki-laki untuk mengatasi fragile masculinity adalah dengan menyadari dan mengakui permasalahan yang ia alami. Namun, laki-laki seperti ini umumnya akan kesulitan untuk mengomunikasikan masalahnya karena takut dianggap tidak jantan.

Anda sebagai pasangan bisa memberikan peluang dengan cara membuka komunikasi. Hindari memberikan kritikan secara langsung atau menghakimi. Usahakan pula berbicara dengan lembut dan empatik.

Anda bisa membuka komunikasi dengan mendorong pasangan Anda untuk mengekspresikan perasaannya. Hindari kalimat yang terkesan menuduh atau menyerang seperti “kenapa kamu tidak bisa…” atau “kamu selalu saja…”.

Lebih baik mulai komunikasi dengan pertanyaan yang bisa membuka peluang diskusi. Misalnya bertanya “menurut kamu, apa yang membuat laki-laki merasa dihargai?” atau "aku kadang sulit memenuhi tuntutan sosial, apakah kamu juga merasa begitu?".

Ketika pasangan Anda sudah mulai bicara, dengarkan dengan seksama dan sesekali validasi perasaannya agar ia merasa didengar dan dihargai tanpa merasa terancam.

3. Dorong Dia untuk Bicarakan Maskulinitas

Anda bisa mengajak pasangan untuk mulai berdiskusi tentang definisi maskulinitas. Mulailah bertanya apa arti maskulin dalam benak pasangan Anda. Dengarkan dengan baik dan jangan langsung menyalahkan atau mengejek apabila Anda tidak sependapat.

Anda kemudian bisa memberitahukan pasangan Anda tentang healthy atau positive masculinity, yaitu suatu gagasan agar seorang pria tetap bisa menjadi dirinya sendiri, bahkan boleh mengekspresikan perasaan dan emosinya tanpa merasa dikebiri atau kehilangan identitasnya sebagai laki-laki.

Jika ada, Anda bisa memberikan contoh nyata tentang pria-pria di sekitar Anda yang menunjukkan positive masculinity, misalnya ayah, kakak, teman, atau mungkin publik figur. Tekankan bahwa seorang pria tidak akan kehilangan identitasnya atau maskulinitasnya hanya karena mengekspresikan emosi atau melakukan aktivitas seperti memasak.

4. Dukung Dia untuk Belajar dan Berkembang

Apabila pasangan Anda menunjukkan minat untuk berubah dan berkembang, jadilah orang yang paling mendukungnya. Beri waktu bagi pasangan untuk benar-benar memahami perspektif baru tentang healthy masculinity.

Salah satu cara yang cukup efektif untuk berubah adalah bergaul atau berkumpul dengan orang-orang yang memiliki mindset sama tentang healthy masculinity. Anda bisa mengingatkan pasangan Anda untuk menjauhi lingkungan yang toxic agar lebih mudah mengalahkan fragile masculinity.

5. Tetapkan Batasan

Anda harus menetapkan batasan yang sehat antara diri Anda dengan pasangan. Mendukung pasangan untuk berubah ke arah yang lebih baik adalah hal yang penting, tapi ingatlah bahwa Anda tidak bisa mengubah orang lain.

Jadi, jangan pernah merasa tertekan dan memaksa pasangan Anda untuk menjadi seseorang yang mungkin mereka sendiri belum mau atau belum siap.

Dengan menetapkan batasan, pasangan Anda tidak akan merasa dipaksa atau dituntut secara berlebihan sehingga dia pun tetap merasa nyaman dan akan tetap terbuka dengan Anda. Di sisi lain, kesehatan mental Anda juga tetap terjaga karena Anda tidak akan memiliki ekspektasi yang berlebihan atau terlalu tinggi terhadap pasangan.

6. Minta Bantuan Profesional

Tetap sabar, penuh empati, dan komunikatif adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat dengan pasangan yang memiliki fragile masculinity.

Namun, jika masalah fragile masculinity pasangan Anda dirasa terlalu berat dan sudah memengaruhi hubungan secara signifikan, pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional.

Anda bisa mengajak pasangan Anda untuk berkonsultasi dengan terapis, konselor, atau psikolog. Seorang profesional nantinya akan memberikan perspektif yang objektif dan membantu menetapkan langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi fragile masculinity.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Dhita Koesno