tirto.id - Coba perhatikan berita atau unggahan viral tentang kasus perceraian atau perpisahan, baik di kalangan selebritas maupun netizen, yang belakangan ini berseliweran di linimasa media sosialmu.
Di dalam konten tersebut, pihak-pihak yang terlibat kerap mengungkit akar masalah rumah tangganya, atau bahkan menyalahkan pasangannya atas tindakan yang sepertinya terdengar sepele atau lumrah di telinga kita.
Seiring itu, mungkin terlintas di benak kita, “Kenapa masalah-masalah ini tidak diselesaikan saat masih bersama? Apa dulu mereka tidak berkomunikasi atau mengobrol?”
Komunikasi sangatlah penting dalam relasi percintaan, baik pada mereka yang sudah menikah maupun masih berpacaran.
Komunikasi, menurut studi berjudul “Communication, the Heart of a Relationship: Examining Capitalization, Accommodation, and Self-Construal on Relationship Satisfaction” (2021), adalah fondasi atau “jantung” untuk mendukung dan meningkatkan kepuasan dalam berelasi, terutama apabila dikaitkan dengan penyelesaian konflik yang konstruktif dan berbagi momen-momen keberhasilan pribadi.
Nah, mengobrol adalah salah satu bentuknya. Dua individu yang terlibat dalam relasi percintaan sudah sewajarnya ngobrol setiap hari agar dapat saling mengenal, menekan potensi konflik, dan membuat hubungan jadi lebih mesra.
Lex dePraxis, relationship coach dan co-founder KelasCinta.com, menuturkan, “Relasi itu merupakan sebuah kerja sama, kesepakatan, bahkan sebuah kontrak antara dua individu yang ingin menjalani hidup dan mencapai tujuan bersama.”
“Dalam perjalanannya, tentu saja keduanya butuh untuk ngobrol. Di relasi percintaan, biasanya obrolan membahas tentang preferensi dan kesukaan, masalah di pekerjaan atau dengan orang lain, keluarga, rencana masa depan, dan hal-hal seperti itu.”
Mengobrol secara rutin perlu dilakukan karena setiap individu memiliki karakter dan latar belakang yang berbeda. Pendeknya, rutin mengobrol akan membantumu memahami pasangan dan menyampaikan apa yang kamu anggap baik dengan cara yang efektif.
Lex memberikan contoh skenario pasangan suami-istri yang baru saja menikah. Si istri mengamati, suaminya sepulang kerja sering meletakkan barang sembarangan.
Kelakuan suami ini membuat si istri berasumsi macam-macam. Misalnya, menganggap suaminya tidak tahu aturan, pemalas, tidak menghargai kerja keras istri yang sudah menjaga rumah tetap rapi.
Apabila pasangan ini terbiasa mengobrol, maka istri dapat bertanya baik-baik ke suaminya mengapa ia melakukan itu. Apakah karena capek lalu ingin istirahat dulu, baru kemudian dirapikan? Ataukah ada alasan lain?
Alternatif yang dapat dilakukan istri untuk memahami perilaku suaminya adalah dengan melakukan investigasi. Misalnya, mencari tahu siapa yang beres-beres ketika suami masih tinggal di rumah orang tuanya, atau saat masih melajang di tempat indekos.
Akhirnya, terungkap bahwa suami dididik untuk rapi oleh orang tuanya. Akan tetapi, karena suami masih belum terbiasa dengan pengaturan rumah setelah menikah, ditambah kelelahan sepulang bekerja, ia jadi kesulitan mengingat tempat untuk meletakkan kunci motor, helm, atau tas kerja.
“Gunakan sesi ngobrol untuk mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang pasangan, agar kita tahu pasangan kita ‘berangkat’ dari kondisi seperti apa,” saran Lex.
“Kalau dalam kasus suami-istri ini, si istri yang sudah paham tentang suaminya bisa mengajukan solusi yang membantu suami agar tidak berantakan lagi. Selesai masalahnya. Tidak perlu keluar tuduhan-tuduhan ‘Kamu tidak menghargai aku!’ atau, ‘Kamu anggap aku pembantu!’ dan sebagainya,” lanjutnya.
Tentu saja, keinginan untuk memahami harus muncul dari dua belah pihak. Suami perlu paham bahwa istri punya segudang pertanyaan karena ia sedang berusaha memahami dan mencari solusi, bukan menyerang. Suami tidak perlu defensif, apalagi menganggap istri cari-cari drama.
Selain dapat belajar saling memahami, manfaat dari rutinitas mengobrol adalah mengurangi stres.
Saat mengalami banyak tekanan, kita biasanya ingin mengeluarkan tekanan tersebut—atau venting—agar merasa lebih relaks dan lega, bukan? Mengobrol itulah salah satu solusinya.
Obrolan tak harus berpusar pada masalah yang tengah kamu alami atau membebanimu selama beberapa waktu. Apa pun yang melintas di pikiranmu, baik yang sudah terjadi dari tiga minggu lalu maupun yang baru terjadi tiga menit lalu, bisa jadi bahan obrolan. Sebab, tujuannya sesederhana mengeluarkan gema dan gaung yang ada di kepala.
“Saat venting dan ngobrol ngalor-ngidul dengan pasangan, belum tentu masalah yang kita alami akan selesai. Namun, dengan ia mendengarkan dan bersikap suportif, kita jadi merasa tidak sendirian. Ini membantu memberi rasa nyaman dan lega.”
Di balik berbagai benefitnya, ngobrol tak selamanya mudah—apalagi jika kamu ingin membahas hal-hal penting dan sensitif. Pasangan yang sudah lama bersama pun masih berusaha dalam hal tersebut.
“Jika klien mengeluhkan masalah ini, hal yang saya minta klien lakukan di hadapan saya adalah mengobrol dengan pasangannya mengenai topik tersebut selama lima menit. Dalam rentang waktu itu, biasanya saya sudah bisa melihat perilaku-perilaku komunikasi yang menjadi penyebab obrolan menjadi sulit, tapi klien tidak menyadarinya,” kata Lex.
Lex banyak menemukan pasangan yang memulai obrolan dengan nada cenderung menyerang. Misalnya, mengajukan pertanyaan yang terdengar seperti tuduhan atau omelan. Apabila pembicaraan dimulai dengan cara begitu, wajar jika pasangan merespons secaa defensif, atau bahkan ofensif, sehingga obrolan menjadi semakin sulit.
Kesalahan lain yang umum dilakukan pasangan adalah mengupas hal-hal sensitif lewat fitur chat. Menurut Lex, tak sedikit klien perempuannya yang memulai obrolan lewat chat karena kesulitan mengutarakannya secara langsung.
Di sisi lain, pasangan yang menerima teks bisa jadi sedang sibuk—fokus pada pekerjaan atau berada di tengah perjalanan—sehingga tidak benar-benar “hadir” dan memperhatikan apa disampaikan via teks.
Selain menghindari tindakan yang berpotensi bikin pembicaraan kian runyam, Lex juga menyarankan agar kita bertanya dulu pada pasangan di awal obrolan, “Sayang, kamu ingin cerita saja, atau ingin didukung, atau butuh masukan dariku untuk dapat solusinya?”
Kalau pasangan hanya ingin bercerita, tugasmu adalah menggali tanpa berkomentar atau memberi masukan.
Apabila ia ingin didukung, sebaiknya sepakati dulu sedari awal, bentuk dukungan seperti apa yang diharapkannya? Lalu, lakukanlah sesuai kesepakatan.
Nah, kalau pasanganmu minta dibantu menganalisis masalah untuk mencari solusi, maka kamu bisa berbagi perspektif dan memberi masukan setelah ia selesai bercerita.
Tentu, masih banyak indikator lainnya untuk mengukur sejauh mana hubungan asmara yang sehat. Pastikan bahwa membangun rutinitas mengobrol dengan pasangan jadi salah satunya, ya!
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Sekar Kinasih