tirto.id - Berpikir positif tidak selamanya baik. Jika salah strategi, alih-alih membikin semangat, anjuran bersikap positif malah berbahaya bagi kesehatan mental. Keadaan itu dikenal sebagai toxic positivity, kondisi ketika sikap positif malah merusak dan menjadi toksik. Lantas, apa ciri-ciri toxic positivity dan bahayanya bagi kesehatan mental?
Pada masyarakat yang belum sadar kesehatan mental, ungkapan atau kutipan yang berbau toksik masih kerap ditemukan. Saat menghadapi kondisi buruk atau kegagalan menyakitkan, kenalan dekat atau kerabat sering kali menyampaikan kata-kata penyemangat.
Sebagai misal, ungkapan "kamu masih lebih beruntung dari yang lainnya", "ayo harus bisa!", atau "hidup itu harus bersyukur" masih sering terdengar. Bagi sebagian orang, ungkapan penyemangat itu mungkin bermanfaat, namun sebagian lain malah merasa terpojokkan, bahkan bisa memicu gangguan mental.
Istilah toxic positivity merupakan istilah psikologi populer yang diartikan ketika seseorang mendorong kenalannya yang sedang mengalami kondisi buruk untuk melihat sisi baik kehidupan. Dorongan berpikir positif ini dilakukan tanpa mempertimbangkan latar belakang, alasan, atau mengesampingkan perasaan dari kenalannya tadi.
Lebih buruk lagi, ajakan berpikir positif disampaikan bahkan tanpa memberi kesempatan untuk meluapkan emosi negatif yang dirasakan orang tersebut.
Bisa jadi, seseorang menyampaikan kata-kata toxic positivity tidak bermaksud buruk, melainkan untuk menyemangati orang yang tertimpa kemalangan. Namun, cara penyampaiannya yang kurang bijak malah berakhir mengenaskan.
Pada Februari 2019, Tirto pernah mewawancarai Clara (24) --bukan nama sebenarnya-- yang merupakan penyintas kekerasan seksual dan menderita post traumatic stress disorder (PTSD).
Suatu waktu, ia pernah berkonsultasi pada psikolog yang tidak peka mendengarkan kisahnya. Alih-alih memulihkan gangguan PTSD yang ia rasakan, psikolog tersebut menyarankan Clara untuk sabar dan tabah.
Psikolog itu meminta Clara untuk salat dan percaya bahwa Tuhan tidak akan memberi ujian melebihi kapasitas hamba-Nya. Bukannya berdampak baik, Clara malah merenung: "Ke mana Tuhan waktu dia diperkosa dan mengalami pelecehan seksual?"
Lantas, kapan sikap positif berguna dan berdampak baik? Kapan juga pikiran positif malah berdampak buruk? Ahli psikologi Tchiki Davis dari Institute Kesejahteraan Berkeley Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa sikap atau penyemangat positif akan berdampak baik selama tidak digunakan untuk menghindar dari masalah atau menekan emosi negatif.
Dengan demikian, toxic positivity terjadi ketika kata-kata penyemangat digunakan untuk mendorong seseorang tabah dan sabar, padahal ia bisa berjuang lebih baik lagi (controllable situation). Demikian juga, toxic positivity akan kian parah jika digunakan untuk bertahan dari serangan identitas yang sedang dihinakan.
Sebagai misal, apabila orang dari Timur direndahkan karena berkulit hitam, ungkapan "sabar", atau "banyak yang lebih parah dari kamu", atau kata-kata sejenis malahan akan berdampak buruk. Padahal, mereka berhak atau bisa melawan, serta memperjuangkan identitas yang dihina tersebut.
Ciri-ciri Toxic Positivity dan Tanda-tandanya
Toxic positivity kerap kali samar dan tidak kentara. Memahami ciri dan tanda-tandanya dapat membantu mengenali perilaku toxic positivity.
Dengan mengenal ciri-ciri toxic positivity, seseorang dapat menghindarinya agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Berikut ini ciri-ciri atau tanda-tanda toxic positivity, sebagaimana dilansir laman Very Well Mind.
- Mengabaikan masalah daripada menghadapinya
- Merasa bersalah karena sedih, marah, atau kecewa. Emosi-emosi tersebut wajar dialami manusia. Lebih baik menerima daripada menyangkalnya.
- Menyembunyikan perasaan dan menekan emosi negatif, serta berlindung di balik kutipan bijak atau sikap positif yang diterima lingkungan sekitar.
- Menyembunyikan atau menyamarkan perasaan yang sebenarnya.
- Menyangkal pendapat orang lain karena membuat tidak nyaman.
- Memojokkan orang lain ketika tidak memiliki sikap positif.
- Mencoba tabah atau bersabar menghadapi emosi negatif yang menyakitkan.
Bahaya Toxic Positivity bagi Kesehatan Mental
Toxic positivity dapat merugikan orang-orang yang sedang mengalami kemalangan atau masa sulit. Alih-alih meluapkan emosi sebagai bentuk katarsis, orang yang memperoleh kata-kata toxic positivity merasa bahwa perasaan mereka diabaikan, tidak didengarkan, atau emosi mereka kian ditekan.
Emosi negatif yang disangkal atau penghindaran masalah akibat ungkapan penyemangat yang salah tempat akan menumpuk emosi negatif. Hal itu ibarat menyimpan bom waktu yang tinggal menunggu detik-detik untuk meledak.
Berikut ini sejumlah bahaya toxic positivity bagi kesehatan mental bagi seseorang yang mengalaminya.
1. Toxic positivity merepresi emosi negatif
Ketika seseorang mengalami kemalangan, ia perlu tahu bahwa emosi yang dirasakan adalah hal wajar. Tidak ada salahnya untuk bersedih, menangis, atau kecewa dengan diri sendiri, keadaan, atau orang lain.
Emosi itu harus tersalurkan. Namun, jangan sampai berlebihan. Menekan emosi kesedihan, kecewa, dan perasaan negatif lainnya hanya akan membuatnya menumpuk.
2. Toxic positivity menyebabkan rasa bersalah
Ketika kita mengeluh lelah belajar atau capai dengan lingkungan pekerjaan yang tidak kondusif, adakalanya orang sekitar malah berujar: "lebih baik kuliah, banyak teman-teman lain tidak bisa kuliah" atau "kamu beruntung punya pekerjaan, banyak yang sedang menganggur".
Ungkapan toksik itu secara tidak langsung menyalahkan individu bersangkutan sebagai sosok yang tak bersyukur.
Padahal, bisa jadi ada alasan lain kenapa ia mengeluh. Jika didengarkan terlebih dahulu, mungkin ada solusi lain yang lebih baik, alih-alih menyangkal rasa lelah yang dialami orang bersangkutan.
Selain itu, orang yang sedang tertimpa kemalangan butuh untuk didengarkan, bukan malah disalahkan karena dianggap kurang bersyukur, kurang tabah, apalagi tidak dianggap menerima keadaan dirinya apa adanya.
3. Toxic positivity menghambat potensi pribadi
Ketika seseorang sedang tertimpa kemalangan atau sedang mengeluh, itu disebabkan ada yang salah pada diri atau lingkungannya. Jika emosi itu diluapkan, seseorang akan belajar memanajemen emosinya lebih baik lagi.
Sementara itu, ungkapan toxic positivity akan merepresi emosi tersebut sehingga menghambat potensi kedewasaan individu bersangkutan untuk jadi lebih baik.
Editor: Addi M Idhom