tirto.id - Ada yang unik selama lebaran di masa pandemi kemarin. Beberapa orang bercerita kepada kami bagaimana mereka justru bersyukur tahun ini tidak harus mudik.
Mengapa?
Rupanya karena orang tua mereka tergolong toksik, dan akhirnya melahirkan hubungan yang toksik pula.
Menurut psikolog sekaligus pendiri Personal Growth, Ratih Ibrahim, orang tua toksik bisa diidentifikasi dari seberapa besar trauma yang diberikan kepada anak. Semakin besar traumanya, semakin “beracun” hubungan yang dihasilkan.
Ratih menjelaskan trauma bisa lahir dari “kekerasan terhadap anak, baik verbal, emosional, tindak penelatantaran, merendahkan, sehingga self-esteem(kepercayaan diri) anak-anaknya menjadi jelek”.
Orang tua toksik, lanjut Ratih, hobi menunjukkan respons negatif yang berlebihan. Mereka kerap mendramatisir segala kesalahan yang dibuat anaknya, baik besar maupun kecil.
Dampaknya mudah ditebak: si anak merasa tidak betah di rumah. Diam-diam ia membenci keluarganya sendiri.
Si anak lebih memilih menghindar atau meminimalisir pertemuan dengan orang rumah. Ia merasa cemas, sedih, dan marah tiap kali memikirkan interaksi dengan orang tuanya. Mengapa? Sebab ia merasa tidak ada hal positif yang bisa diambil dari interaksi itu.
Situasi serupa dialami oleh orang-orang yang dipaksa tinggal bersama orang tua toksiknya selama masa karantina. Mengutip testimoninya kepada kami: mereka merasa “terpenjara”.
Ratih menjelaskan situasi tersebut bisa menandakan si anak pada dasarnya berada dalam keluarga yang sejak lama sudah tidak harmonis. Jika pada hari-hari biasa ia punya alasan untuk berjarak, dengan alasan pekerjaan maupun non-pekerjaan, di masa karantina alasan itu sirna.
“Nah potensi konflik yang tadinya tidak muncul lantaran bisa diabaikan ini menjadi sangat intens, dan ini yang kemudian menimbulkan relasi toksik yang sebetulnya sudah ada sebelumnya, dan menjadi sangat menguat,” kata Ratih.
Apa saja konsekuensi dari tumbuh bersama orang tua toksik? Studi yang dimuat di Journal of Family Medicine and Disease Prevention menyebutkan salah satunya perilaku destruktif, seperti penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.
Apa lagi dampak negatifnya? Kira-kira bagaimana solusi yang bisa anak ambil tanpa merusak hubungan dengan orang tua? Simak selengkapnya di video Newsroom 63B terbaru berikut ini.
Editor: Fahri Salam