tirto.id - Tak selamanya keluarga dapat digambarkan sebagai mutiara atau harta yang paling berharga. Sebab, bagi sebagian orang, keluarga justru dapat menghambat perkembangan diri individu. Situasi demikian dikenal dengan disfungsi keluarga, yang awalnya diharapkan menjadi hubungan harmonis, malahan berujung tekanan mental yang melelahkan.
Disfungsi keluarga ini seringkali dimotori oleh toxic parents atau sikap orang tua yang beracun. Tindak perilaku buruk ini lahir dari relasi timpang antara orang tua dan anak.
Orang tua yang bersikap buruk kepada anak dapat menyebabkan pelbagai masalah perkembangan. Sikap orang tua yang fluktuatif, kadang sangat menekan dan kadang begitu suportif, atau terlalu dominan dapat mempengaruhi cara anak menjalin hubungan sosial di kemudian hari.
Dilansir dari laman gustavus.edu, pola asuh buruk juga berimbas pada cara anak memandang identitas dirinya hingga persepsinya terhadap keluarga ideal yang dapat berujung sikap benci kepada orang tua.
Terdapat beberapa tanda dan keadaan keluarga yang bisa dimotori oleh toxic parents sebagaimana dilansir dari clinmedjournals.org.
- Konflik Keluarga Kronis
Hubungan buruk dalam keluarga dapat ditemukan ketika terdapat pertikaian dan perselisihan tidak sehat antar-anggota keluarga, terutama pertengkaran orang tua dan anak.
Dalam beberapa keadaan, pertikaian ini berlangsung dengan baku-hantam antar yang bertengkar. Aksi lempar piring atau perabot rumah kadangkala mengakibatkan luka-luka dan cedera fisik. Biasanya, konflik semacam ini lahir dari pola asuh yang buruk, seperti pola asuh kasar ataupun otoriter.
Konflik keluarga kronis, jika terus berlangsung dalam jangka panjang dapat mempengaruhi mental anak, mulai dari dampak tekanan stres, perasaan tidak aman, hingga hilangnya kelekatan anak dengan orang tua.
- Rumah Tangga Patologis
Rumah tangga patologis ditandai dengan terjerumusnya salah satu atau kedua orang tua ke dalam situasi gangguan mental. Misalnya kecanduan narkoba, obat-obatan, alkohol, atau gangguan psikologis lainnya seperti skizofrenia atau gangguan bipolar.
Jika orang tua mengalami gangguan mental tersebut, biasanya peran anggota keluarga menjadi terbalik. Anak, yang seharusnya berada di bawah pengasuhan orang tua, menjadi bertanggung jawab mengurusi tugas-tugas rumah tangga, bahkan mengawasi keadaan orang tuanya.
Rumah tangga yang patologis dapat melahirkan sejumlah masalah lainnya seperti perasaan rendah diri pada anak, hingga ketidakmampuan menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya.
- Rumah Tangga yang Kaotis
Orang tua bermasalah dalam rumah tangga kaotis ditandai dengan kurangnya perhatian dan pengasuhan kepada buah hati. Dalam rumah tangga yang kaotis, orang tua seringkali sibuk berkegiatan dan lupa dengan anak di rumah, yang seharusnya memperoleh perhatian cukup.
Pengasuh yang kurang cakap dan ketidakhadiran orang tua dapat melemahkan kelekatan anak dengan keluarganya. Akibatnya, anak dapat mengembangkan masalah sosial, rasa ketidakamanan, hingga kesulitan berkonsentrasi, serta tidak disiplin di sekolah.
Jika anak tumbuh dewasa, biasanya pola asuh seperti ini akan menurun hingga ia juga akan cenderung melakukan hal yang sama kepada anaknya nanti.
- Keluarga Dominan-Submisif
Orang tua yang otoriter, keras kepala, dan submisif biasanya tidak mengizinkan anggota keluarga lain untuk menyampaikan aspirasinya. Akibatnya, anak menjadi tertekan, dibayang-bayangi dengan emosi marah dan perasan negatif kepada orang tua.
Selain itu, anggota keluarga yang lain turut tidak bahagia dari keadaan rumah tangga yang tidak sehat ini. Jika anggota keluarga yang lain pasif dan lemah, mereka menjadi tunduk terhadap sosok yang dominan dan tidak menolak untuk dikontrol, kendati berseberangan dengan keinginan mereka.
- Keluarga Tanpa Kedekatan Emosi
Kurangnya kelekatan emosi antar-anggota keluarga lahir dari orang tua yang tidak tahu cara menunjukkan cinta dan afeksi kepada anaknya. Orang tua bisa jadi bersikap kurang ramah atau tidak hangat kepada anggota keluarga yang lain.
Dampaknya, anak-anak belajar dari orang tua bahwa perasaan dan emosi positif seringkali dipendam dan tak disampaikan. Ia meniru sikap orang tua yang dingin dan tidak ekspresif.
Dalam jangka panjang, anak menjadi kurang nyaman menunjukkan perasaannya atau bersikap terbuka kepada orang lain. Hal ini dapat berujung pada ketidakamanan, kesulitan menemukan identitas, masalah sosial, dan problem kepercayaan diri.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Alexander Haryanto