Menuju konten utama

Tarif Rendah dari AS Tak Jaminan RI Jadi Negara Tujuan Investor

Meski tarif dikenakan ke Indonesia kecil, namun RI memiliki rasio investasi modal terhadap output (Incremental Capital Output Ratio/ICOR) jauh lebih tinggi.

Tarif Rendah dari AS Tak Jaminan RI Jadi Negara Tujuan Investor
Ilustrasi Investasi. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, tarif resiprokal yang cukup rendah dibanding banyak negara lainnya, tak menjamin Indonesia menjadi negara tujuan investor untuk merelokasi pabriknya.

Pasalnya, dibanding dengan negara-negara pesaing, khususnya di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seperti Vietnam, Malaysia dan Bangladesh, Indonesia memiliki rasio investasi modal terhadap output (Incremental Capital Output Ratio/ICOR) jauh lebih tinggi.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR Indonesia pada 2023 masih sebesar 6,33, lebih tinggi dari Vietnam (4,6), Malaysia (4,5), dan Bangladesh (sekitar 4,30).

“Kalau negara-negara pemegang merk global itu melihat dampaknya kayak gini, ‘wah jangan-jangan kalau saya investasi di Indonesia, enggak untung nih kalau kondisinya begini?’ gitu. Jadi, itu yang juga harus dipikirkan,” ujar Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus, dalam Diskusi Publik, di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Senin (21/7/2025).

ICOR tinggi praktis membuat biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh pengusaha lebih besar. Sehingga, meskipun tarif resiprokal yang didapat Indonesia hanya 19 persen sedangkan Vietnam, Malaysia dan Bangladesh lebih tinggi, yakni masing-masing 20 persen, 25 persen dan 35 persen, biaya produksi sebuah produk di Tanah Air lebum tentu lebih kecil.

“Kalau misalnya biaya-biaya kayak gitunya aja udah mahal, ditambah lagi tarif 19 persen, sampai sana malah makin mahal. Tapi, kalau misalnya di Vietnam atau di negara lain biaya-biaya energinya, biaya-biaya tenaga kerjanya, biaya logistik, transportasinya lebih efisien, nah meskipun ditambah tarif 30 persen atau 20 persen, sampai Amerika Serikat tidak akan lebih tinggi dari harga barang Indonesia,” tambah Heri.

Karenanya, agar tarif resiprokal 19 persen yang lebih rendah dibanding banyak negara lainnya dapat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah dan dunia usaha harus dapat mengefisienkan biaya produksi di berbagai sektor industri.

“Jadi, mentang-mentang kita ah, kita 19 persen, negara lain lebih tinggi kok, tenang aja … eh belum tentu juga, ya. Lihat lagi biaya untuk menciptakan produk itu gimana di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain,” tukas Heri.

Baca juga artikel terkait TARIF TRUMP atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra