tirto.id - Pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan tarif impor dari Amerika Serikat (AS) menjadi hanya 19 persen untuk sejumlah produk unggulan dalam negeri. Posisi Indonesia saat ini, menjadi relatif lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tarif Indonesia lebih rendah dibandingkan posisi Thailand (36 persen), Laos (40 persen), Malaysia (25 persen), dan Vietnam (20 persen, dengan ketentuan tambahan untuk transshipment).
Kesepakatan ini bisa dibilang negosiasi yang jauh lebih baik dibandingkan proposal tarif awal sebesar 32 persen. Bahkan kedua pimpinan negara ini juga sepakat untuk mendorong hubungan perdagangan yang lebih kuat antara Indonesia dan Amerika Serikat.
"Saya baru saja melakukan pembicaraan yang sangat baik dengan Presiden, Donald Trump. Kami sepakat untuk membawa hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat ke era baru yang saling menguntungkan bagi kedua negara kita yang besar,” tulis Presiden Prabowo Subianto, dalam caption Instagram-nya.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menilai penurunan tarif impor AS menjadi 19 persen menjadi pencapaian dari negosiasi luar biasa antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah AS. Pencapaian ini juga merupakan buah dari perjuangan keras tim negosiator Indonesia yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
"Ini merupakan negosiasi luar biasa yang juga dilakukan oleh presiden kita secara langsung dengan Presiden Donald Trump. Dan ini titik temu antara pemerintah kita dengan Pemerintah Amerika Serikat,” ujar Hasan di Ruang Visualisasi lantai 15 Kantor PCO, Gedung Kwarnas, Gambir, Jakarta Pusat, (16/7/2025).
Namun sayangnya, di balik pencapaian ini, tersimpan sejumlah komitmen yang harus ditebus dengan harga mahal oleh Indonesia. Sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan, Presiden AS, Donald Trump, meminta Indonesia untuk segera memenuhi persyaratan yang diajukan untuk mengurangi defisit perdagangan dengan AS yang masih sangat besar.
Dalam hal ini, Indonesia harus belanja energi senilai 15 miliar dolar AS atau setara Rp244 triliun dari AS. Tak hanya itu, pemerintah diwajibkan membeli produk pertanian dari Amerika Serikat senilai 4,5 miliar dolar AS sekitar Rp73,1 triliun, dan memborong sebanyak 50 jet Boeing.
"Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli energi AS senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian AS senilai 4,5 miliar dolar AS dan 50 pesawat Boeing, banyak di antaranya adalah jenis 777," tulis Trump dilansir Antara, Rabu (16/7/2025).
Rencana impor energi sebelumnya memang telah ditawarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai upaya dari negosiasi tarif awal. ESDM sudah memetakan komoditas belanja energi Indonesia dari Amerika Serikat senilai 15,5 miliar dolar AS. Impor energi ini terdiri atas LPG dan crude (minyak mentah).
“Jadi, untuk LPG kami akan meningkatkan impor dari Amerika Serikat. Kemudian, crude (minyak mentah) juga untuk kebutuhan dalam negeri,” ucap Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Yuliot menjelaskan, bahwa selama ini Indonesia mengimpor crude dari Amerika Serikat melalui negara lain. Dengan rencana belanja energi senilai 15 miliar dolar AS tersebut, dia berharap pencatatan pembelian crude tersebut langsung dari Amerika Serikat.
Kenapa RI Harus Bayar Begitu Mahal untuk Penurunan Tarif?
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melihat harga yang dibayar mahal oleh Indonesia untuk kesepakatan tarif ini memang tidak muncul begitu saja. Ini berawal ketika Trump mengenakan tarif setinggi 32 persen atas ekspor Indonesia. Tarif itu diumumkan pada April 2025 sebagai bagian dari "Liberation Day Tariffs" yang menargetkan lebih dari 20 negara.Dalam daftar tersebut, Indonesia disebut akan terkena tarif 32 persen, mulai berlaku 1 Agustus 2025. Tentu saja angka ini mengagetkan. Karena menurut Achmad, dalam sejarah hubungan dagang Indonesia-AS, belum pernah ada tarif setinggi ini dikenakan secara menyeluruh pada komoditas Indonesia.
“Seperti seorang pedagang pasar yang tiba-tiba menaikkan harga tiga kali lipat, kebijakan ini seolah menutup pintu ekspor Indonesia ke AS,” ucap dia dalam pernyataannya kepada Tirto, Rabu (16/7/2025).
Namun, yang terjadi kemudian lebih mengejutkan. Setelah surat ancaman tarif diterima, pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan AS. Dalam waktu kurang dari tiga minggu, muncul kesepakatan baru: tarif diturunkan menjadi 19 persen, asalkan Indonesia membeli produk-produk AS dalam jumlah sangat besar, yaitu 15 miliar dolar AS energi, 4,5 miliar dolar AS produk pertanian, dan 50 pesawat Boeing seri 777.
“Ancaman 32 persen menjadi alat tekanan, dan penurunan ke 19 persen dijual dengan harga yang jauh lebih mahal,” jelas Achmad.
Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, berpendapat bahwa kesepakatan ini memang akan dibebani oleh komitmen pembelian dalam jumlah besar yang lebih menyerupai kewajiban sepihak ketimbang transaksi dagang saling menguntungkan.
Komitmen senilai 15 miliar dolar AS untuk membeli energi dari AS berpotensi menggantikan sumber energi domestik atau alternatif dari negara mitra lain, sementara impor produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS seperti kedelai, jagung, dan daging bisa menggerus pendapatan petani lokal yang selama ini bertahan di tengah subsidi terbatas.
Pembelian 50 pesawat Boeing pun, kata Syafruddin, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini benar-benar bagian dari strategi modernisasi transportasi, atau justru akan membebani APBN dan BUMN penerbangan di tengah masalah efisiensi dan daya beli masyarakat yang belum pulih.
“Ini bukan sekadar perjanjian dagang, melainkan paket pembelian sepihak yang melemahkan fondasi kemandirian ekonomi nasional,” ucap Syafruddin, kepada Tirto Rabu (16/7/2025).
Apakah Ini Kesepakatan yang Setara?
Dalam teori perdagangan internasional, tarif digunakan untuk melindungi kepentingan nasional dan memperkuat posisi tawar domestik. Namun, kesepakatan ini justru membuat Indonesia membeli lebih banyak dari AS hanya demi tarif yang masih tetap tinggi.Padahal barang-barang AS masuk ke pasar Indonesia bebas tarif dan bebas hambatan non-tarif. Ini sama saja seperti pertandingan sepak bola di mana Indonesia dipaksa bermain dengan sepuluh pemain, sedangkan AS bermain dengan formasi penuh plus bonus penalti.
“Kesepakatan ini bukan cerminan kemitraan strategis setara, melainkan bentuk ketidakadilan struktural,” timpal Achmad Nur Hidayat,
Dari kesepakatan ini, kata Achmad, AS tentu saja mendapat keuntungan ganda: menurunkan defisit perdagangannya dengan menjual lebih banyak ke Indonesia dan tetap memungut tarif impor 19 persen dari barang RI.
“Seharusnya, negosiasi perdagangan yang adil adalah nol persen versus nol persen: barang kita bebas masuk pasar mereka, barang mereka bebas masuk pasar kita, sambil menjaga keseimbangan neraca dagang lewat diversifikasi dan peningkatan nilai tambah domestik,” jelas dia.
Namun, dalam kasus ini, Indonesia justru menyerahkan dua instrumen sekaligus – pasar dan devisa – tanpa imbal balik strategis jangka panjang.
Sependapat dengan Achmad, Syafruddin juga menilai bahwa kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat hanya menempatkan Indonesia dalam posisi yang timpang. Amerika Serikat memperoleh akses penuh ke pasar domestik Indonesia tanpa hambatan tarif, sementara ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif sebesar 19 persen.
Ketimpangan ini jelas membuka jalan bagi produk-produk asal AS—dari sektor pertanian, otomotif, hingga energi—untuk menguasai pasar lokal dan menekan daya saing produk dalam negeri. Karena ketika barang impor menjadi lebih murah karena bebas tarif, maka pelaku usaha lokal akan menghadapi tekanan besar, dan ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin menyempit.
“Jika ekspor Indonesia ke Amerika Serikat melambat karena dikenai tarif sebesar 19 persen, sementara impor dari AS melonjak tajam akibat bebas tarif dan kewajiban pembelian dalam jumlah besar, maka risiko defisit perdagangan bilateral sangat tinggi. Indonesia berpotensi mengalami kondisi yang disebut neraca dua lapis: mencatat surplus dalam perdagangan global secara keseluruhan, tetapi justru mengalami defisit dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat,” jelas dia.
Ketimpangan ini pun mencerminkan pola relasi dagang yang tidak setara—fenomena yang pernah dialami banyak negara berkembang saat mereka membuka pasarnya kepada AS atau IMF pada era 1980-an. Saat produk-produk Amerika membanjiri pasar domestik tanpa hambatan, sementara ekspor Indonesia menghadapi kendala tarif, maka ketidakseimbangan struktural akan makin dalam.
“Neraca dagang di sini bukan sekadar soal angka, melainkan indikator jelas dari lemahnya posisi tawar. Dalam kerangka kesepakatan ini, Indonesia lebih terlihat sebagai pasar konsumtif yang pasif, bukan mitra dagang yang setara dan berdaulat,” jelas dia.
Mengapa Indonesia Tidak Menawarkan Skema Zero–Zero?
Lebih lanjut, Syafruddin turut menyoroti absennya skema zero–zero, yakni penghapusan tarif secara timbal balik, yang selama ini menjadi praktik standar dalam perjanjian perdagangan modern. Skema “zero–zero” dianggap sebagai simbol dari relasi dagang yang setara dan saling menguntungkan.Menurutnya, dalam banyak perjanjian dagang antara negara-negara besar, penghapusan tarif secara menyeluruh diterapkan untuk menciptakan level playing field bagi kedua belah pihak. Namun, dalam perjanjian antara Indonesia dan AS, tarif hanya diturunkan sebagian untuk produk Indonesia—menjadi 19 persen dari sebelumnya 32 persen—tanpa ada kejelasan tentang penghapusan tarif terhadap produk AS yang masuk ke pasar Indonesia.
“Pertanyaan ini sangat relevan diajukan dan membuka ruang kritik terhadap strategi diplomasi ekonomi pemerintah. Skema “zero–zero” secara prinsip mencerminkan kesetaraan dan timbal balik dalam hubungan dagang, dan menjadi standar umum dalam negosiasi bebas tarif modern,” jelas Syafrudiin.
Dia menilai bahwa ketidakhadiran skema bebas tarif timbal balik menunjukkan lemahnya posisi Indonesia dalam meja perundingan, atau bahkan ketidaksiapan pemerintah untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam membentuk arsitektur dagang global.
“Ketidakhadiran prinsip ini dalam kesepakatan Indonesia–AS tahun 2025 menandakan bahwa posisi Indonesia dalam perundingan tidak cukup kuat atau tidak digunakan secara maksimal,” jelas dia.
Karena pada akhirnya, menurut Achmad, penurunan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen oleh AS bukanlah kemenangan diplomasi, melainkan hasil kompromi tekanan yang sarat pemerasan. “Ini bukan deal besar. Bukan pula cerminan kemitraan strategis. Ini adalah bentuk ketidakadilan global yang hanya menguntungkan AS secara eksklusif,” jelas dia.
Seharusnya, diplomasi ekonomi Indonesia bertumpu pada negosiasi setara dan strategi perdagangan yang memperkuat industri dalam negeri, bukan menambah ketergantungan. Karena dalam dunia perdagangan global hari ini, negara yang menang bukanlah negara yang membeli lebih banyak agar tak dipalak tarif, melainkan negara yang mampu memanfaatkan pasar luar negeri untuk memperkuat ekonomi domestik dan menyejahterakan rakyatnya.
“Inilah prinsip kedaulatan ekonomi yang harus terus diperjuangkan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini,” jelas dia.
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































