tirto.id - Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan, negara berpotensi kehilangan pendapatan dari bea masuk sekitar Rp7,68 triliun per tahun karena tarif impor nol persen dari produk-produk Amerika Serikat (AS).
Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, angka ini didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang kemudian diolah Celios.
"Iya, Indonesia cenderung merugi (karena tarif 0 persen untuk produk AS)," katanya, kepada Tirto, Kamis (17/7/2025).
Pasalnya, di balik fasilitas pembebasan bea masuk atas produk impor AS ini, Indonesia harus menanggung tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke Washington. Kondisi ini pun jelas berisiko tinggi untuk neraca dagang Indonesia.
Impor produk dari AS, seperti minyak dan gas (migas), produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia, farmasi, dan lain sebagainya jelas akan membengkak. Padahal, sepanjang 2024 tercatat total impor lima jenis produk tersebut mencapai 5,37 miliar dolar AS, atau setara Rp87,3 triliun.
"Yang harus dimonitor adalah pelebaran defisit migas," sambung Bhima.
Ketika terjadi lonjakan impor migas, kurs rupiah berpotensi tertekan yang kemudian dapat menyebabkan alokasi dana subsidi energi yang telah direncanakan dalam postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 meningkat tajam.
"Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar," tutur Bhima.
Dengan outlook pelebaran defisit migas, ia pun merasa sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi dari ketergantungan fossil. Sebab, jika transisi energi ke energi bersih tak juga dilakukan, barang tentu impor minyak akan membebani APBN.
Apalagi, dengan kesepakatan negosiasi tarif dengan Gedung Putih membuat Indonesia harus membeli minyak mentah dari AS dengan harga yang lebih mahal dari pasaran.
"Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harga nya diatas harga yang biasa di beli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan," tegas Bhima.
Di sisi lain, dengan meningkatnya impor produk pertanian dari AS, juga berpotensi membuat swasembada pangan terancam. Sebaliknya, AS akan untung besar dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif 0 persen.
"Konsumen mungkin senang harga mie instan, dan roti bakal turun, tapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya. Peternak susu dan koperasi juga akan menjerit karena harga susu impor lebih murah dengan bea masuk 0 persen," ujarnya.
Untuk memitigasi dampak buruk tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar. Apalagi, Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa atau EU-Indonesia Comprehensive Economic Partnership Agreement (EUI-CEPA) sudah resmi disahkan.
"Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia," tukas Bhima.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































