tirto.id - Mendiang Thomas Patrick Gorman, pendiri National Hockey League [NHL], memang hidup pada masa yang berbeda dengan Zlatko Dalic, pelatih Kroasia. Meski sama-sama menjadi pelatih, dunia olahraga yang mereka geluti pun berbeda: Thomas Patrick Gorman adalah pelatih hoki, sedangkan Dalic pelatih sepakbola. Namun, siapa mengira ide Gorman pada 1934 silam ternyata membantu Dalic membawa Kroasia ke final Piala Dunia untuk pertama kalinya.
Menurut Uli Hesse, penulis sepakbola asal Jerman, dalam tulisannya di FourFourTwo yang berjudul “Who Really Invented the Pressing Game – and Why It Work”, pada 1934 tersebut, Gorman, saat itu melatih Chicago Balckhawks, menerapkan taktik yang tak biasa: saat tim hokinya bertahan, daripada menyuruh pemain segera ke belakang, ia justru menyuruh para pemain ke depan untuk menekan pemain lawan.
Karena strateginya itu Gorman sempat dianggap melakukan bunuh diri. Jika strategi itu gagal, daerah belakang akan terbuka dan tim lawan bisa menghancurkan timnya dengan mudah. Benar saja, setelah mulai menerapkan taktik tersebut, Chicago Blackhawks ternyata kalah empat kali dalam lima pertandingan.
Namun, dalam pertandingan-pertandingan selanjutnya, anak asuh Gorman ternyata mulai terbiasa memainkan strategi tersebut. Pemain-pemain Blackhawks mulai kompak dalam melakukan tekanan. Hasilnya, mereka seperti mesin kemenangan. Dan saat kompetisi berakhir, Blackhawks berhasil meraih gelar juara NHL untuk pertama kali. Gorman menyebut cara bertahannya itu dengan istilah forechecking.
Forechecking dalam Olahraga Non-Hoki
Karena sukses, tak hanya diterapkan oleh pelatih-pelatih hoki lain, pendekatan Gorman juga digunakan dalam olahraga lain. Dalam Basket, forechecking diadopsi menjadi full-court pressure defense. Saat serangan gagal atau setelah berhasil mencetak angka, tim yang menerapkan full-court pressure defense akan langsung melakukan tekanan hingga ke daerah pertahanan lawan. Namun, karena membutuhkan stamina yang berlebih, full-court pressure defense seringkali diterapkan dalam situasi-situasi tertentu.
Dalam sepakbola, menurut Jonathan Wilson, ide Gorman itu pertama kali diterapkan oleh Victor Maslov. Saat ia melatih Dynamo Kiev pada 1964-1970, ia menggunakan ide Gorman untuk mendukung formasi 4-4-2. Lalu, jika dalam hoki ide Gorman dikenal dengan istilah forechecking, dalam basket dikenal dengan istilah full-court pressure defense, dalam sepakbola ide itu dikenal dengan istilah high-pressing atau counter-pressing.
Setelah lewat Maslov, dengan tujuan berbeda, counter-pressing juga diterapkan pelatih-pelatih sepakbola lain. Erns Happel menggunakan cara tersebut sewaktu menjadi pelatih Feyenoord pada 1970. Di balik sepakbola cair ala timnas Belanda dalam gelaran Piala Dunia 1974, Rinus Michels menggunakan counter-pressing sebagai salah satu senjatanya. Kesuksesan AC Milan di bawah asuhan Arrigo Sacchi juga tak luput dari counter-pressing. Dan dalam sepakbola modern, Pep Guardiola, Marcelo Bielsa, Juergen Klopp, serta Mauricio Pochettino menjadi abdi setia pendekatan taktik tersebut.
Meski menjadi bagian penting dalam sepakbola modern, counter-pressing ternyata seperti barang langka dalam gelaran Piala Dunia 2018. Daripada melakukan tekanan terhadap lawan segera setelah kehilangan bola, kebanyakan tim memilih bertahan secara mendalam. Menurut Michael Cox, dalam salah satu tulisannya di ESPN, pendekatan taktik tersebut cukup beralasan.
Cox menulis, “Dalam sepakbola internasional, pressing adalah hal langka, bukan hanya karena kurangnya waktu latihan, tetapi juga karena alasan kebugaran. Pemain kelelahan setelah musim yang panjang dan sulit, dan tidak ada tim yang menginginkan ide melakukan tekanan secara intens hanya dalam, yang menurut teori, tujuh pertandingan dalam waktu sekitar satu bulan.”
Meski begitu, melawan Inggris pada babak semifinal Piala Dunia 2018, Kroasia ternyata mampu menembus batas-batas akal sehat. Saat pandit-pandit Inggris beranggapan pemain-pemain Kroasia akan kelelahan setelah melalui drama adu penalti di babak 16 besar dan babak perempat-final, secara mengejutkan Zlatko Dalic justru menerapkan counter-pressing. Saat pemain-pemain Inggris -- terutama para beknya -- memainkan bola di lini belakang, Mario Mandzukic dan rekan-rekannya akan terus memburu mereka seperti tidak akan menjumpai hari esok.
Setelah sempat unggul satu gol pada awal laga, Inggris benar-benar tak berkembang karena pendekatan taktik Dalic tersebut. Melalui babak perpanjangan waktu, Kroasia terus menekan pertahanan Inggris dan berhasil menang dengan skor 2-1.Untuk pandit-pandit Inggris yang sempat meremehkan Kroasia, Luka Modric, kapten Kroasia, kemudian mengucapkan salam sesudah pertandingan, “Mereka [pandit-pandit Inggris] meremehkan Kroasia dan itu adalah kesalahan besar. Semua kata-kata mereka kami dengar, kami membaca, lalu kami akan mengatakan: ‘OK, hari ini kami akan melihat siapa yang akan kelelahan.’ Mereka seharusnya bersikap rendah hati dan mau menghormati tim lawan.”
Dalic Cerdik dalam Menerapkan Pressing
Di Piala Dunia 2018, Dalic beberapa kali mengganti formasi. Saat menghadapi Nigeria dan Rusia, ia menerapkan formasi 4-2-3-1. Saat melawan Islandia, Kroasia bermain dengan formasi 4-3-2-1. Saat melawan Argentina, Denmark, dan Inggris, Dalic memainkan formasi 4-1-4-1.
Formasi yang diterapkan Dalic tentu saja digunakan untuk mengantisipasi taktik yang diterapkan tim lawan. Saat menghadapi Nigeria, misalnya, formasi 4-3-2-1 kroasia mampu melakukan serangan dari sektor sayap, melalui Ante Rebic dan Ivan Perisic yang dibantu oleh Ivan Strinic dan Sime Vrsaljko. Jika mereka memaksa bermain dari sektor tengah, aspek fisik gelandang-gelandang Nigeria bisa menyulitkan mereka.
Pendekatan taktik Dalic saat menghadapi Islandia juga bisa menjadi bukti lain bahwa ia adalah pelatih yang adaptif. Saat itu, mengingat Islandia senang bertahan secara mendalam dan mempunyai organisasi pertahan rapat, Dalic memainkan formasi 4-3-2-1. Dalam formasi tersebut, untuk mengacaukan organisasi permainan Islandia, ia sengaja menduetkan Marko Pjaca dan Ivan Rakitic sebagai pemain nomor 10.
Dalam enam pertandingan di Piala Dunia tersebut, Dalic dua kali menerapkan counter-pressing, yakni saat menghadapi Argentina dan Inggris. Dalam dua pertandingan tersebut, Argentina dan Inggris sama-sama bermain dengan sistem 3 bek, dan Dalic menjawabnya dengan formasi 4-1-4-1 untuk mendukung pendekatan pressing-nya: Mario Mandzukic, Perisic, dan Rebic mempunyai tugas untuk menekan tiga pemain bertahan lawan; Modric dan Rakitic akan mendukungnya dari lini kedua; sementara Brozovic berdiri di belakang mereka untuk memotong serangan lawan jika pressing itu gagal.
Meski begitu, Dalic menerapkan pendekatan pressing yang berbeda dalam dua pertandingan tersebut. Saat menghadapi Argentina, tujuan utama pressing Dalic adalah untuk mematikan lini tengah Argentina. Dalam pressing tersebut, Sime Vrsaljko dan Ivan Strinic, dua full-back Kroasia, bahkan terlibat aktif dalam melakukan pressing. Mandzukic, Beric, dan Berisic akan menekan trio bek Argentina, Modric dan Rakitic menekan dua gelandang tengah Argentina, sementara Vrsaljko dan Strinic akan menekan duet wing-back Argentina, Eduardo Salvio dan Marcos Acuna.
Dari dua full-back Kroasia tersebut, Vrsaljko paling agresif dalam melakukan pressing. Saat itu, selain berhasil melakukan satu kali tekel, ia juga berhasil melakukan 6 kali intersep, sebagian terhadap umpan-umpan yang mengarah ke Acuna.
Karena pressing tersebut, pemain-pemain belakang Argentina sering dipaksa untuk mengirimkan umpan lambung. Dengan begitu, karena terbiasa melakukan build-up serangan pelan dari lini belakang, permainan Argentina tak berkembang. Lionel Messi, jimat Argentina, pun jarang mendapatkan bola. Hasilnya: Kroasia menang tiga gol tanpa balas pada pertandingan tersebut.
Tujuan pressing saat melawan Argentina cukup jelas: menghentikan aliran bola kepada Messi. Dan rencana itu berhasil.
Saat melawan Inggris, tujuan utama pressing yang diterapkan Dulic adalah untuk merusak kenyaman trio pemain belakang Inggris, John Stones, Kyle Walker, serta Harry Maguire, dalam membangun serangan. Bagaimanapun, ketiganya adalah pemain kunci dari pendekatan taktik yang diterapkan Southgate.
Stones adalah pengatur tempo permainan Inggris, bukan Henderson yang bermain di depannya. Umpan-umpan lambung berbahaya ke lini depan Inggris sering bermula dari Kyle Walker. Dan Harry Maguire seringkali menjadi solusi saat kedua pemain tersebut tidak mempunyai opsi untuk mengirimkan umpan ke depan.
Pendekatan taktik Dalic dalam melakukan pressing memang dimudahkan oleh minimnya rencana cadangan yang disiapkan Inggris. Meski begitu, untuk mengatasi intensitas pemain-pemain Inggris dan mengakali kelelahan fisik Kroasia yang terkuras pada pertandingan 16 besar dan perempat-final, Dalic seringkali menukar-nukar para pemain dalam melakukan pressing.
Karena Stones dan Walker merupakan pemain Inggris yang paling berbahaya dalam melakukan build-up serangan, fokus pressing yang dilakukan Dalic berpusat kepada keduanya. Sementara Mandzukic berperan menekan Stones; Perisic dan Beric, yang bermain di sisi kiri dan sisi kanan, sering bertukar posisi untuk bergantian memberikan tekanan terhadap Walker. Dalic bahkan tak jarang memberikan jeda kepada mereka. Saat Beric atau Perisic mengambil napas, Modric akan bermain di sebelah kanan memberikan tekanan terhadap Harry Maguire.
Dengan pendekatan seperti itu, Walker, Stones, dan Maguire kesulitan menjalankan tugasnya. Jumlah percobaan umpan mereka pada pertandingan tersebut bahkan di bawah rata-rata mereka sebelumnya. Walker hanya melakukan 62 kali percobaan umpan, Stones 54 kali, dan Maguire 53 kali.
Sementara itu, jumlah percobaan umpan Jordan Pickford, kiper Inggris, justru meningkat pesat. Saat itu ia melakukan 51 kali percobaan umpan, padahal rata-rata umpan Pickford sebelumnya hanya mencapai 27 kali per laga. Lonjakan umpan yang dibuat Pickford menjelaskan jalannya pertandingan: Inggris kesulitan membangun serangan.
Bola-bola mati kemudian menjadi satu-satunya jalan Inggris untuk mengancam gawang Kroasia. Dua tembakan tepat sasaran Inggris kemudian berasal dari bola-bola mati tersebut: satu menjadi gol dan satu berhasil dimentahkan oleh Vrsaljko. Namun, usaha Inggris itu tidak cukup. Pressing yang diterapkan Dalic sukses memulangkan Inggris dari Piala Dunia.
Peran Modric dalam Pendekatan Taktik Kroasia
Sebelum Kroasia berlaga melawan Inggris, melaui tulisannya di The Guardian, Jorge Valdano, mantan penyerang Argentina, memuji Luka Modric setinggi langit. Ia menulis: “Ketika Modric mengirimkan umpan, permainan bisa mengalir seolah-olah sepakbola adalah hal termudah di dunia”.
Ia lalu menambahkan “ [...] saat pemain-pemain lain yang mendapatkan bola tampak terburu-buru, seolah-olah seluruh lapangan adalah kotak penalti, Modric menciptakan keajaiban yang memungkinkan untuk bergerak dan bernapas, mengirimkan umpan dengan kecepatan yang diperlukan, di setiap jengkal lapangan.”
Namun, Modric ternyata tidak seperti itu hanya saat menguasai bola. Tanpa bola, Modric juga terlihat seperti pemain tiada duanya. Ia rata-rata melakukan 1,7 kali tekel dan 1,3 kali intersep di Piala Dunia sejauh ini, salah satu yang terbaik di antara pemain-pemain Kroasia lain. Dan saat menghadapi Inggris, ada satu momen yang mampu memperlihatkan bahwa Modric bukan hanya perkara olah bola.
Pada menit-menit akhir perpanjangan waktu babak kedua, Modric yang sudah tampak lelah, kehilangan bola di sisi kiri pertahanan Inggris. Bola berhasil dikuasai Danny Rose dan pemain Inggris tersebut melaju cepat ke depan untuk membangun serangan balik. Modric lalu mengejarnya, melakukan tekel, dan berhasil merebut bola.
Selain itu, di sepanjang pertandingan, Modric turut andil dalam counter-pressing yang diterapkan timnya. Ia tak jarang menggantikan Ante Rebic dalam melakukan tekanan di sisi kiri pertahanan Inggris. Sesekali, ia juga muncul untuk mempermudah pekerjaan Ivan Perisic di sisi kanan pertahanan Inggris. Dan saat Marcelo Brozovic dibuat repot oleh Jesse Lingard, Harry Kane, Dele Alli, juga Raheem Sterling, Modric akan mengulurkan tangan.
Karenanya, saat pemain-pemain depan Kroasia melakukan counter-pressing, pemain-pemain belakang Kroasia tak perlu selalu memainkan garis pertahanan tinggi: Modric akan ada di setiap celah yang dapat dimanfaatkan oleh lawan. Dengan pendekatan seperti itu, tak heran jika Modric menjadi pemain yang memiliki jarak tempuh paling jauh di Piala Dunia 2018: ia sudah berlari sejauh 63 kilometer.
Untuk itu, Dalic bahkan berani memberikan pujian terhadap Modric yang tak kalah hebat dari pujian Valdano: “Ia [Modric] sedang memainkan sepakbola terbaik di sepanjang hidupnya.”
Di pertandingan final nanti, mengingat Perancis sangat berbeda dari Argentina dan Inggris, Dalic mungkin akan kembali memainkan teka-teki. Ia bisa saja kembali menerapkan counter-pressing, bisa juga tidak. Meski begitu, apa pun pendekatan yang dilakukan Dalic, Modric akan tetap menjadi pemain kuncinya.
Penulis: Zen RS