tirto.id - Dalam buku Tamasya Bola, bab “Untunglah. Kalah!”, Darmanto Simaepa menulis: “Tim-tim yang tak pernah kalah dan menang secara meyakinkan biasanya jarang menjadi juara.”
Menurutnya, berdasarkan pengamatan yang ia lakukan dalam turnamen-turnamen besar, tim yang menjadi juara biasanya juga perlu diragukan untuk bertahan hingga ujung permainan.
Timnas Jerman berhasil menjadi juara Piala Dunia 1954 dan 1990, juga Piala Eropa 1980 dan 1996, dengan cara seperti itu. Di final Piala Dunia 1954 mereka berhasil mengalahkan Hongaria, sebuah tim yang menghancurkan mereka 3-8 di putaran grup, dengan skor 3-2.
Bahkan, saat Jerman menjadi juara Eropa di tanah Inggris pada tahun 1996 lalu, skuat mereka dianggap kurang mumpuni hanya untuk sekadar bertahan di putaran grup. Berti Vogts, pelatih Jerman saat itu, memilih meninggalkan Lothar Matthaeus dan Stefan Effenberg, dua pemain terbaik Jerman, di rumah. Dalil Vogts, “Bintang Jerman adalah tim ini.” Namun di tengah-tengah keraguan yang terus memayungi, mereka kemudian melaju dengan gagah hingga menggenggam gelar juara.
Selain Jerman, Spanyol juga pernah mengalaminya dalam gelaran Piala Dunia 2010. Saat itu, secara mengejutkan mereka dihantam Swiss di pertandingan pertama mereka. Namun saat penggemar Spanyol mulai ragu, mereka bangkit secepat kilat. Setelah mengalahkan Honduras, Chili yang super agresif di bawahan Marcelo Bilesa berhasil mereka kalahkan secara meyakinkan.
Pada fase sistem gugur, Portugal, Paraguay, Jerman, dan Belanda menjadi korban Spanyol selanjutnya. Dalam pertandingan tersebut, Spanyol selalu menang dengan skor 1-0. Skor tipis itu sudah cukup untuk membawa mereka maju setahap demi setahap.
Di Piala Dunia 2018 Inggris dan Kroasia adalah dua tim yang diragukan. Sementara Kroasia hanya berstatus sebagai kuda hitam, sejarah mencatat Inggris lebih sering pulang dari turnamen besar sebagai bahan tertawaan daripada sebagai pemenang.
Dengan begitu, dalam sebuah tulisannya di Sport Illustrated, Jonathan Wilson, penulis sepakbola Inggris, mencoba bertindak adil saat memilih daftar tim unggulan di Piala Dunia 2018. Inggris ditempatkan di posisi sembilan dan Kroasia berada satu tingkat di bawahnya, posisi sepuluh.
Di tengah-tengah keraguan tersebut, Inggris dan Kroasia ternyata berhasil melangkah ke babak semifinal. Tidak ada yang mengira Inggris bisa menang adu penalti atas Kolombia, karena penalti biasanya menjadi mimpi buruk bagi mereka. Kroasia yang secara meyakinkan mengalahkan Argentina 3-0 di putaran grup, ternyata dibuat sesak nafas oleh Denmark dan Rusia di fase sistem gugur. Namun, dengan memeras keringat lebih dan berjuang melawan batas-batas konsentrasi, mereka berhasil lolos dari dua ujian menegangkan tersebut -- dua-duanya melalui drama adu penalti.
Menariknya, Inggris dan Kroasia akan bertemu di babak semifinal. Inilah duel tim dengan peringkat sembilan dan sepuluh dalam daftar unggulan versi Jonathan Wilson.
Inggris Berharap pada Stones, Walker, dan Harry Maguire
Menurut Rory Smith, dalam bukunya yang berjudul The Mister, saat Jack Greenwell mulai melatih Barcelona pada 1917 lalu, orang Durham tersebut pernah bereksperimen memainkan Paulino Alcantara, penyerang haus gol Barcelona saat itu, di lini belakang. Greenwell mempunyai alasan bahwa, dengan mengandalkan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki, kemampuan passing yang dimiliki Paulino bisa membuat timnya melakukan build-up serangan dari lini belakang.
Eksperimen Greenwell tersebut pada saat itu memang gagal, tapi jauh hari setelahnya, ide Greenwell tersebut justru menjadi salah satu senjata ampuh bagi tim-tim modern. Karena tempo cepat dan counter-pressing yang menjadi salah satu ciri sepakbola modern, tidak hanya fasih dalam menghalau serangan lawan, seorang bek juga harus mempunyai visi dan akurasi dalam mengumpan untuk membantu timnya melakukan build-up serangan dari lini belakang.
Di Piala Dunia 2018, Inggris secara luar biasa memainkan tiga bek yang pandai menerapkan keinginan Greenwell tersebut. Dalam formasi 3-3-2-2 yang mereka terapkan, John Stones, Kyle Walker dan Harry Maguire mempunyai peran masing-masing saat Inggris melakukan build-up serangan. Sementara Stones mengatur tempo permainan timnya, Maguire sering melakukan kombinasi umpan dengan Ashley Young, Walker sering mengirimkan umpan-umpan lambung untuk memulai serangan direct ke arah Kieran Trippier maupun Raheem Sterling.
Karenanya, ketiga pemain tersebut kemudian menjadi pemain Inggris yang paling sering melakukan percobaan umpan. Kyle Walker rata-rata melakukan 79.3 umpan per laga, Stones rata-rata melakukan 73 umpan per laga, dan Maguire mencatatkan 67 umpan per laga. Untuk urusun umpan panjang, Walker paling sering melakukannya, dengan rataan 7,5 umpan per laga.
Kemampuan ketiga pemain tersebut dalam meretensi bola sejauh ini sangat menguntungkan Inggris. Saat dua pemain tengah Inggris, Dele Alli dan Jesse Lingard dibatasi ruang geraknya, seperti saat menghadapi Tunisia dan Kolombia, tiga pemain belakang Inggris tersebut bisa digunakan membongkar pertahanan lawan. Terutama Walker, umpan-umpan lambungnya ke arah Tripper dan Sterling bisa menjadi alternatif.Pada babak perempatfinal, mengetahui lini belakang Inggris berperan penting dalam setiap serangan Inggris, Swedia berusaha menekan saat tiga pemain Inggris tersebut menguasai bola. Bermain dengan formasi 4-2-2, dengan jarak antar lini yang rapat, Swedia berani memainkan garis pertahanan yang cenderung tinggi untuk mempermudah pemain-pemain depannya dalam menekan pemain bertahan Inggris.
Namun, Swedia hanya menugaskan dua orang penyerang saja untuk melakukan tekanan terhadap tiga bek Inggris itu. Selain itu, dua penyerang Swedia tersebut juga tak begitu fasih dalam bertahan. Akibatnya, salah satu dari bek Inggris tersebut seringkali lolos dari tekanan.
Saat lolos dari tekanan, John Stones sering melaju ke depan untuk mengacaukan organisasi permainan Swedia dengan umpan-umpannya. Sementara itu, karena bermain dengan garis pertahanan menengah, Sterling masih bisa memanfaatkan kecepatannya saat mendapatkan umpan-umpan lambung dari Walker. Inggris pun akhirnya mampu mendominasi pertandingan dan Swedia, yang sebelumnya sering memaksa lawan untuk melakukan crossing karena lini tengahnya yang padat, tak bisa berbuat apa-apa.
Mengingat Kroasia tangguh di lini tengah, dengan kemungkinan mereka akan membatasi pergerakan Alli dan Lingard, Inggris sekali lagi bisa memanfaatkan kemampuan tiga beknya untuk melakukan build-up serangan. Meski begitu, mereka harus berhati-hati. Saat bertahan, pemain-pemain depan Kroasia memiliki kemampuan berbeda dengan pemain depan Swedia. Mereka tergolong spesialis bertahan saat tidak menguasai bola. Karena kemampuan bertahannya itu, Mario Mandzukic, salah satu penyerang Kroasia, bahkan fasih berperan sebagai defensive forward.
Teka-Teki di Lini Tengah Kroasia
Saat Kroasia melakukan counter-pressing, Mario Mandzukic dan Ante Rebic berperan penting. Karena kemampuan bertahannya, kedua penyerang tersebut tak segan melakukan pelanggaran saat gagal melakukan tekanan. Dengan begitu, mereka bisa menunda serangan lawan. Tak heran jika kedua pemain tersebut mejadi pemain Kroasia yang paling sering melakukan pelanggaran terhadap pemain lawan. Mandzukic rata-rata melakukan 2,3 kali pelanggaran dalam setiap laga, sedangkan Ante Rebic rata-rata melakukan 3,3 pelanggaran.
Kemampuan dua pemain tersebut tentu bisa digunakan untuk melakukan tekanan terhadap pemain-pemain belakang Inggris, tetapi Kroasia harus hati-hati dalam melakukannya. Jika mereka memainkan counter-pressing dan memainkan garis pertahanan tinggi untuk melakukan tekanan terhadap bek Inggris, mengingat kecepatan yang dimiliki oleh Raheem Sterling dan peran Harry Kane sebagai penghubung, lini belakang mereka yang lambat rentan diekspoitasi oleh pemain-pemain Inggris.
Sebaliknya, saat mereka memilih bermain dengan garis pertahanan rendah dan tetap menugaskan Mandzukic maupun Rebic untuk menekan lini pertahanan Inggris, mereka akan menciptakan ruang di daerah tengah yang dapat dimanfaatkan oleh Lingard dan Ali, dua pemain paling berbahaya Inggris. Dengan begitu, pendekatan taktik Kroasia di lini tengah sangat penting dalam pertandingan ini.
Sejauh ini, Kroasia memang selalu melakukan perubahan komposisi di lini tengahnya. Saat menghadapi Nigeria, mereka memainkan Modric dan Rakitic sebagai double pivot untuk mendukung Andrej Kramaric yang bermain sebagai pemain nomor 10. Menghadapi Argentina, Zlatko Dalic, pelatih Kroasia, memainkan Marcelo Brozovic sebagai single pivot menopang Rakitic dan Modric yang bermain sedikit di depannya.
Saat menghadapi Islandia, Dalic bahkan memainkan formasi 4-3-2-1 (pohon natal). Modric, Kovacic, dan Badelj berdiri sejajar di depan garis pertahanan, sementara Perisic dan Pjaca menjadi duet gelandang serang. Saat menghadapi Denmark ia kemudian memainkan komposisi lini tengah yang sama dengan pertandingan melawan Argentina. Dan di pertandingan perempat-final, Kroasia kembali bermain dengan formasi 4-2-3-1 yang tak jauh berbeda saat mereka mengalahkan Nigeria.
Jika ingin melakukan tekanan terhadap tiga bek Inggris, Dalic bisa kembali menerapkan formasi 4-1-4-1 yang ia gunakan saat menghadapi Denmark dan Argentina. Terutama saat melawan Argentina yang bermain dengan tiga bek, formasi itu dapat dikatakan sukses.Modric dan Rakitic yang bermain di depan Brozovic bisa bergantian turun untuk membantu gelandang Inter tersebut dalam membatasi pergerakan Lingard dan Ali. Di lini serang, sementara Mandzukic bisa digeser ke sebelah kiri untuk menganggu Walker, Beric bisa dimainkan di pos sebelah kanan untuk mengganggu kombinasi Maguire dan Young, Kramaric bisa dimainkan sebagai false nine.
Dengan begitu, Kroasia tak perlu memainkan garis pertahanan begitu tinggi saat pemain-pemain depan mereka melakukan tekanan. Meski akan menciptakan jarak, pergerakan Modric dan Rakitic bisa membantu Kroasia untuk menutup lubang di lini tengah mereka.
Meski pendekatan tersebut mampu membantu Kroasia mengalahkan Argentina, Dalic juga harus ingat bahwa gaya main Inggris sangat berbeda dengan anak asuh Jorge Sampaoli tersebut. Inggris lebih direct, lebih cepat, dan mempunyai intensitas. Itu artinya, Kroasia tidak bisa selalu mengandalkan counter-pressing. Pada waktu tertentu, mereka juga harus pintar memperlambat tempo dengan membuat blok pertahanan yang rapat, seperti apa yang dilakukan oleh Tunisia dan Kolombia.
Selain itu, mereka juga harus berani bermain lebih direct daripada sebelumnya. Menurut Michael Cox, jika Kroasia memaksa bermain dengan mengandalkan umpan-umpan pendek, mereka bisa menjadi santapan empuk anak asuh Gareth Southgate tersebut.
Editor: Zen RS