Menuju konten utama
Anak Muda Memahami Narasi G30S

Survei: Anak Muda Tak Telan Mentah G30S Versi Orde Baru

Mayoritas anak muda mendapat informasi soal peristiwa G30S dari buku pelajaran. Namun, keterbukaan informasi memberi peluang mencari sumber informasi lain.

Survei: Anak Muda Tak Telan Mentah G30S Versi Orde Baru
Header Decode Anak Muda Memahami Narasi G30S 2. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sebuah kesadaran baru tentang peristiwa Gerakan 30 September atau G30S 1965 rupanya telah menyeruak dalam benak kaum muda Indonesia. Meskipun warisan Orde Baru ternyata masih mencengkeram erat benak generasi muda terkait narasi sejarah G30S.

Setelah Reformasi, narasi tunggal Negara yang menyajikan peristiwa G30S dengan tidak utuh dan penuh propaganda, semakin tertandingi kehadiran pelbagai medium baru yang menyajikan sumber alternatif lebih independen.

Hal ini tergambar dalam survei mandiri Tirto bersama Jakpat pada 23 September 2025 yang bertajuk: Survei Persepsi Informasi G30S di Tengah Anak Muda. Berdasar temuan survei, mayoritas responden mengaku mendengar peristiwa G30S hanya dari pelajaran di sekolah (59,60 persen). Selain itu, terdapat sebanyak 37,76 persen responden yang mendengar peristiwa G30S, kemudian tertarik mencari tahu lebih lanjut terkait peristiwa ini.

Survei ini dilakukan mencakup 1.250 responden dengan rentang usia 15-45 tahun alias di kelompok milenial dan gen Z. Responden survei mencakup 34 provinsi di Indonesia dengan margin of error di bawah 3 persen.

Dari keseluruhan responden, terdapat sekitar 2,64 persen responden yang tidak pernah mendengar peristiwa G30S sama sekali dan tidak ingin mencari tahu lebih lanjut. Angka ini cukup besar yang menandakan juga peluang besar untuk menarik minat anak muda agar lebih banyak lagi mempelajari peristiwa besar di masa lampau.

Menariknya meski cenderung serupa, proporsi Gen Z yang mencoba mencari informasi lebih lanjut dari sumber selain pelajaran sekolah, angkanya lebih besar ketimbang dari Milenial.

Jika menelaah dari sisi sumber informasi yang digunakan anak muda terkait peristiwa G30S, ternyata mayoritas responden menyatakan bahwa buku pelajaran sekolah menjadi rujukan utama (81,18 persen), yang menunjukkan peran sentral pendidikan formal membentuk narasi awal dan mendasar tentang sejarah ini di benak masyarakat.

Sumber terbanyak kedua ditempati film "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" (68,78 persen) besutan sineas Arifin C. Noer, sebuah dokudrama yang menjadi tontonan wajib selama era Orde Baru. Kedua sumber itu secara historis menyajikan narasi tunggal yang berpusat pada peran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai satu-satunya dalang peristiwa dan kelompok yang akhirnya dilabeli “pengkhianat” dan mesti “ditumpas”.

Tingginya angka responden yang merujuk buku pelajaran dan film Pengkhianatan G30S/PKI menegaskan betapa efektifnya hegemoni narasi Orde Baru yang dibangun selama 32 tahun. Film yang sempat wajib ditonton oleh para pelajar itu, tak hanya menjadi sumber informasi tetapi juga membentuk memori kolektif dan trauma.

Penelitian Himawan dan Undiana (2021) dalam Jurnal Cinematology edisi pertama berjudul 'Pandangan Mahasiswa Terhadap Film Pengkhianatan G30S/PKI' menelaah bahwa film yang disponsori pemerintah Orde Baru ini, memang tak menggambarkan kejadian secara holistik yang pada akhirnya mempengaruhi pandangan penyimak terhadap kontinuitas peristiwa.

Kendati begitu, peran medium baru seperti informasi lewat konten di media sosial (medsos) ternyata cukup besar, menempati urutan ketiga sumber informasi peristiwa G30S dengan 51,77 persen. Hal ini menandakan pergeseran signifikan dalam lanskap perolehan sumber informasi sejarah.

Dalam platform media sosial, berbagai versi, interpretasi, dan bahkan disinformasi mengenai G30S mampu menyebar luas dan cepat, tak jarang menantang narasi tunggal yang sudah lama mapan. Meski kredibilitasnya perlu diyakinkan kembali, mengingat sifat media sosial yang sangat bebas.

Sumber alternatif lain yang kian banyak tumbuh pasca-reformasi adalah buku hingga film karya sineas independen.

Meskipun porsinya lebih kecil, sumber alternatif seperti buku non-pelajaran (30,32 persen), hingga film dari sineas independen (13,31 persen) menunjukkan segmen masyarakat yang aktif mencari perspektif di luar kungkungan narasi tunggal negara. Muatannya pun sering kali menyajikan perspektif dari sisi korban-korban tragedi pembantaian dan penangkapan orang-orang yang dituding komunis atau terafiliasi PKI usai peristiwa G30S 1965.

Kahfi Winandar, (22), seorang mahasiswa, mengaku kepada Tirto pelajaran sekolah terkait G30S memang menempatkan PKI dan orang-orang yang dituding “kiri”, sebagai biang keladi dari peristiwa pembunuhan jenderal dan perwira. Dalam narasi itu pula, orang-orang PKI ini, kata dia, sering disebut pengajar sebagai kelompok tidak beragama dan pengkudeta.

Namun, setelah Kahfi banyak membaca buku-buku tentang peristiwa pembantaian 1965, ia menyadari tudingan-tudingan tersebut juga digunakan sebagai salah satu metode legitimasi untuk membantai orang-orang yang dianggap komunis.

“Itu kebiadaban yang saya tidak akan tahu kalo cuma baca doang buku sekolah,” ucap dia kepada Tirto, Rabu (24/9/2025).

Sedangkan Renata (25), seorang pegawai swasta, menilai selama ini anak-anak muda tidak lagi terpaku pada narasi tunggal pemerintah soal sejarah. Menjamurnya buku dan film yang bisa dirujuk terkait peristiwa G30S dan dampak lanjutannya yang berdarah-darah, justru tak bisa dipandang semata-mata sebagai narasi alternatif.

Menurutnya, hal itu perlu digaungkan sebagai jalan untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Sayangnya, kata dia, cengkeraman kuat narasi Orde Baru memang sudah menebalkan stigmatisasi terhadap korban.

“Harusnya dialog atau diskusi buku dan film terkait tragedi 1965 itu terus dilakukan, bukan malah dilarang. Ini kayak luka kita yang nggak mau diobatin,” tutur Renata kepada Tirto, terpisah Rabu (24/9/2025).

Prespei Anak Muda Ketika Mendengar, "G30S"

Kembali ke survei Tirto bersama Jakpat, persepsi utama responden ketika ditanya apa yang terlintas ketika mendengar kata “G30S”, jawaban tertingginya adalah pembunuhan jenderal dan perwira di Lubang Buaya (77,32 persen) serta terkait dengan pengkhianatan PKI (54,97 persen).

Menariknya, banyak juga responden (50,04 persen) yang mengasosiasikan G30S dengan awal tragedi pembantaian orang yang terkait dengan PKI dan simpatisannya. Hal ini menandakan kesadaran yang terbilang tinggi atas tragedi kemanusiaan yang mengikuti peristiwa G30S di tengah masih kentalnya bekas propaganda Orba.

Persepsi tentang peristiwa G30S pada survei Tirto, setidaknya juga sejalan dengan hasil penelitian Himawan dan Undiana (2021). Menggunakan sample kecil, setidaknya penelitian mereka menunjukkan preferensi sebagaian masyarakat terkait peristiwa G30S. Hasi dari 30 responden penelitian itu, mayoritas menggambarkan G30S sebagai pembunuhan keji.

Menurut peneliti, hasil ini terkait dengan narasi sejarah yang terbangun lewat film G30S/PKI. Bila dikaji secara objektif, kata mereka, memang benar terjadi pembunuhan pada peristiwa tersebut. Namun dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, unsur keji lebih ditonjolkan, daripada fakta yang sudah banyak diungkap lewat penelitian lain, yakni tidak ada penyiksaan terhadap para jenderal.

Sejarawan Andi Achdian menilai, besarnya generasi muda yang mendapat sumber rujukan utama terkait G30S dari buku pelajaran dan film Pengkhianatan G30S/PKI menandakan dari sisi muatan pengetahuan, belum terjadi perbedaan signifikan terhadap peristiwa ini. Namun, terdapat perbedaan besar dari sikap anak muda hari ini setelah mendapatkan informasi dari teks versi “resmi” tersebut.

Menurut Andi, anak muda saat ini dibekali dengan kemewahan terbukanya keran informasi dan sumber rujukan alternatif yang melimpah sehingga membaca sejarah tanpa ‘beban’, tidak seperti generasi 70-an atau 80-an. Hal ini membuat generasi muda saat ini sebetulnya bisa lebih kritis menanggapi narasi tunggal Negara.

“Kalau generasi tahun 70, 80-an, mereka mendapatkan informasi itu dengan juga mereka nanti ikut di dalam era ketakutan dan gampang terintimidasi oleh tekanan. Ada traumanya di dalamnya, tapi kalau generasi muda sekarang mereka mendapatkan informasi tanpa beban jadi mereka lebih objektif,” ujar Andi kepada wartawan Tirto, Rabu (24/9).

Di sisi lain, Andi memandang meskipun ada sumber alternatif, sisa propaganda Orba lewat pelajaran resmi di sekolah tentunya masih menyisakan persoalan dalam cara pandang anak muda hari ini. Ia memperkirakan, sudah banyak anak muda yang menghadirkan empati atas peristiwa tragedi pembantaian 1965-1966.

Tetapi, sebagian besar mereka masih memandang bahwa orang-orang yang menjadi korban memang ‘bersalah’ karena tudingan PKI atau komunis. Padahal, kata Andi, tidak pernah ada peradilan untuk korban yang dibunuh dan ditangkap secara semena-mena selama masa itu.

“Apa yang menjadi kesalahan mereka? Sehingga mereka diperlakukan seperti itu ya, kan itu yang menjadi problem. Tidak ada pengadilan tidak ada penetapan orang ditangkap eksekusi dan lain sebagainya,” ujar Andi.

Robert Cribb dan Michele Ford dalam pengantar Inside Indonesia edisi 99: Jan-Mar 2010, menulis bahwa dalam kurun waktu kurang dari lima bulan, yakni periode akhir 1965 hingga awal 1966, orang-orang antikomunis di Indonesia sudah membunuh sekitar setengah juta warga negaranya sendiri. Cribb dan Ford menilai, pembantaian tersebut dipimpin dan sering kali dikoordinasikan atau dilakukan oleh kelompok-kelompok anti-komunis dalam angkatan bersenjata, namun turut melibatkan elemen masyarakat yang lebih luas.

Keduanya menilai, Orde Baru sebetulnya tidak pernah menyembunyikan fakta pembunuhan besar-besaran tersebut. Sebaliknya, Orde Baru menggambarkannya sebagai respons yang bisa dibenarkan terhadap dugaan ancaman yang dihadirkan PKI sekaligus sebagai dampak dari politik populis yang tak terkendali di era 'Orde Lama'.

Alhasil, tudingan niat jahat PKI digunakan untuk membenarkan penganiayaan berkepanjangan dan penuh dendam terhadap orang Indonesia yang berasosiasi dengan 'kaum kiri' dan yang selamat dari pembantaian tersebut. Lebih dari satu juta orang melewati kamp-kamp penahanan, dan beberapa di antaranya ditahan selama sepuluh tahun atau lebih.

“Setelah dibebaskan, mereka menghadapi pembatasan berkelanjutan atas hak-hak sipil mereka di Indonesia dan anggota keluarga mereka - termasuk anak-anak yang bahkan belum lahir pada tahun 1965 - menghadapi pelecehan dan pembatasan,” tulis Cribb dan Ford.

Sementara itu, Survei Tirto bersama Jakpat mendapati pula bahwa kaum muda menyadari sejarah G30S tidak tunggal. Alasan utama peristiwa G30S masih terus diperdebatkan hari ini, mayoritas menilai karena banyak sumber dengan versi yang berbeda (62,2 persen). Gelagat kecurigaan atas narasi tunggal Orde Baru tercium dari besarnya responden (60,81 persen) yang menilai terdapat kepentingan politik mempertahankan versi tertentu terkait peristiwa G30S.

Karenanya, meskipun fondasi pengetahuannya masih berasal dari narasi bekas Orde Baru, lebih dari separuh responden menyadari kehadiran narasi alternatif berbeda, kepentingan politik di balik narasi yang dipertahankan Negara, dan peristiwa tragedi pembantaian massal 1965-1966 terkait G30S. Ini adalah buah dari terbukanya keran informasi pasca-Reformasi 1998.

Ruang digital, khususnya media sosial dan platform seperti YouTube, menjadi arena baru bagi penyebaran narasi sejarah tandingan, kesaksian dari sisi korban, serta hasil penelitian yang sebelumnya dibatasi. Hal ini terlihat dari besarnya preferensi anak muda untuk mencari informasi sejarah melalui film dan video (68,86 persen) dan media sosial (54,89 persen).

Asosiasi Sejarah Amerika juga sempat melakukan survei, terkait sumber informasi mempelajari sejarah, pada tahun 2019. Produk visual seperti film dokumenter atau bahkan film fiksi sejarah menjadi yang paling populer. Bahkan berita televisi juga masih menjadi sumber informasi sejarah yang paling dimanfaatkan warga Amerika Serikat. Minat ini nyatanya cenderung mirip dengan anak muda Indonesia yang juga lebih tertarik mempelajari narasi sejarah lewat format audio-visual.

Hal ini sejalan dengan pembahasan dari Ikhwan, H., Yulianto, V. I., & Parahita, G. D. (2019), lewat penelitian The contestation of social memory in the new media: A case study of the 1965 killings in Indonesia, yang menemukan media baru seperti video dan film di YouTube pada akhirnya menjadi ruang bagi korban 1965 untuk melawan narasi resmi. Film-film yang menceritakan sisi korban, pengalaman personal, hingga upaya rekonsiliasi menjadi narasi tandingan terhadap pandangan tunggal yang lebih propagandis.

“Narasi ingatan sosial dapat memainkan peran dalam melawan narasi utama propagandis dan bahkan mungkin mempromosikan nyata rekonsiliasi nasional di Indonesia,” tulis mereka.

Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia, Ariel Heryanto, menilai kemunculan berbagai medium baru membahas G30S merupakan kabar yang menggembirakan di tengah upaya menyibak berbagai aspek dari periode yang paling mengerikan dan sekaligus paling penting dalam seluruh sejarah Indonesia setelah merdeka.

Di ruang publik, kata dia, memang sudah bertumbuh kesadaran kritis. Tapi sayangnya hal itu belum maksimal. Keragaman medium memang mengesankan, tetapi keragaman wawasannya masih terbatas. Jumlah narasi alternatif sudah lumayan besar. Tetapi kuantitas narasi yang besar itu belum disertai meningkatnya kualita kesadaran kritis terhadap sejarah kelam dan cuci-otak yang terlanjur masuk kesadaran publik sampai ke tulang sumsum.

Karenanya, yang diperlukan adalah membongkar ulang yang sudah dijejalkan Orde Baru hingga saat ini. Seraya memberikan ruang berpikir, berdiskusi dan bertanya seluas-luasnya tentang masa lalu dan masa kini yang dibentuk oleh peristiwa masa lampau.

“Jadi pelajaran yang terpenting dan layak diprioritaskan adalah memahami kaitan tali-temali yang berinduk dari peristiwa di tahun 1965, menempuh perjalanan berpuluh tahun, dan bermuara pada berbagai bentuk gejolak sosial, suka-duka, dan hiruk-pikuk dalam setiap hembusan nafas kehidupan berbangsa dan bernegara RI hari ini,” ucap Ariel kepada wartawan Tirto, Rabu (24/9).

Harapan untuk mengeksplorasi lebih jauh peristiwa G30S dari kungkungan narasi tunggal Orde Baru memang tergambar pula dari hasil survei Tirto dan Jakpat. Mayoritas dari responden itu mengaku tertarik mencari lebih lanjut sejarah peristiwa G30S (75,92 persen). Hal itu juga didukung pengakuan sebagian besar mereka yang menilai tidak terdapat adanya kesulitan mengakses sumber alternatif perihal peristiwa G30S.

Negara harus berhenti menjadi penjaga tafsir tunggal dan mulai berperan sebagai fasilitator dialog sejarah yang lebih terbuka dan ilmiah. Sebab pada akhirnya, harapan berdamai dengan salah satu periode paling kelam dalam sejarah bangsa ini tidak terletak pada upaya melupakan atau menyeragamkan ingatan.

Bara perlu dipadamkan dengan mengedepankan keadilan bagi korban dan penyintas, serta melakukan proses rekonsiliasi yang menjunjung hak asasi kemanusiaan.

Harapan itu kini bersemayam pada generasi muda yang gelisah dan terus bertanya. Mereka yang berpotensi membebaskan bangsa ini dari hantu yang selama ini memenjarakan kita dalam dendam dan ketakutan.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Decode
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto