tirto.id - Jumlah mobil listrik di Indonesia semakin meningkat dan itu adalah fakta yang tak terelakkan. Di jalan-jalan, kita bisa semakin mudah menemukan mobil berplat nomor warna biru yang merupakan penanda kendaraan listrik. Bahkan, taksi yang seluruh armadanya merupakan mobil listrik pun sudah eksis di Indonesia.
Pemerintah Indonesia memang sampai sekarang masih gencar mengguyur insentif bagi kendaraan listrik, mulai dari bea masuk untuk mobil CBU (completely built-up) sampai pajak pertambahan nilai, dan ini adalah salah satu alasan utama di balik terus meningkatnya pembelian mobil listrik. Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) mencatat, pada kurun Januari-April 2025, pembelian mobil listrik mencapai 23,9 ribu unit atau naik 211 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dari sini sudah bisa dibayangkan betapa semaraknya pasar mobil listrik Indonesia. Akan tetapi, ada yang "aneh" dari pertumbuhan pasar mobil listrik Tanah Air ini, yaitu ketiadaan Tesla dalam daftar merek-merek terlaris. Padahal, di kancah global, Tesla bisa dibilang sebagai standar emas bagi mobil listrik.
Lantas, apa yang membuat Tesla sampai sekarang masih absen dalam perlombaan mobil listrik di Indonesia?
Tidak Ada Pabrik, Tidak Ada APM
Alasan utama mengapa sampai sekarang Tesla masih jadi barang langka di Indonesia adalah ketiadaan struktur bisnis resmi yang mendukung distribusi dan layanan pabrikan secara lokal.
Hingga saat ini, Tesla tidak memiliki agen pemegang merek (APM) di Indonesia. Itu artinya, tidak ada jaringan dealer resmi, keterbatasan layanan purna jual, dan tidak ada kehadiran manufaktur dalam bentuk pabrik perakitan atau produksi komponen. Unit-unit Tesla yang masuk ke Indonesia seluruhnya diimpor oleh importir umum dalam bentuk CBU, bukan oleh perusahaan resmi yang terafiliasi langsung dengan Tesla Inc.
Ketidakhadiran APM dan fasilitas produksi lokal ini membuat Tesla tidak bisa mengakses berbagai insentif fiskal yang diberikan Pemerintah Indonesia untuk mendorong adopsi kendaraan listrik. Padahal, sejak 2023, pemerintah telah menggulirkan insentif besar untuk mendorong pertumbuhan pasar kendaraan listrik nasional.

Insentif tersebut mencakup pembebasan bea masuk, pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung oleh pemerintah hingga akhir 2025. Namun, seluruh fasilitas tersebut hanya diberikan kepada merek yang secara resmi mendaftar melalui Kementerian Investasi (BKPM) dan berkomitmen membangun pabrik lokal sebelum tahun 2027.
Karena Tesla tidak memenuhi syarat tersebut, setiap unit Tesla yang dijual di Indonesia tetap dikenakan bea masuk penuh sebesar 50 persen, PPnBM hingga 15 persen, dan PPN reguler sebesar 11 persen. Kombinasi beban fiskal ini menyebabkan harga Tesla di Indonesia bisa melonjak hingga dua atau tiga kali lipat dari harga aslinya di Amerika Serikat. Sebagai ilustrasi, Tesla Model 3 yang di AS dijual sekitar Rp600 juta, bisa dipasarkan lebih dari Rp1,5 miliar di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah beberapa kali berupaya menarik minat Tesla untuk berinvestasi langsung. Sejak tahun 2020, berbagai proposal telah diajukan, termasuk akses terhadap pasokan nikel sebagai bahan baku baterai dan keringanan fiskal tambahan. Namun, Tesla memilih berinvestasi di Malaysia, yang kini menjadi basis distribusi regional untuk Asia Tenggara. Di negara tetangga itu, Tesla sudah membangun jaringan Supercharger dan menunjuk distributor resmi, sehingga bisa langsung memanfaatkan insentif pemerintah dan meraih pasar lebih luas.
Wawancara Kompas dengan Indomobil Group pada April 2024 pun menguatkan bahwa situasi pasar Indonesia memang belum cukup menarik bagi Tesla. Menurut mereka, permintaan mobil listrik high-end di Indonesia masih terlalu kecil, sementara struktur impor membuat harga tidak kompetitif. Tanpa jaringan layanan resmi dan komitmen produksi lokal, Tesla dianggap akan kesulitan bersaing di pasar yang sangat sensitif terhadap harga dan ketersediaan layanan.
Sebaliknya, merek-merek lain seperti Hyundai, BYD, Wuling, dan Kia telah lebih dulu memahami medan. Mereka membangun pabrik di Indonesia, menggandeng APM resmi, dan memenuhi persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang menjadi syarat utama untuk mendapatkan insentif. Hasilnya terlihat nyata: harga yang kompetitif, distribusi yang merata, dan layanan purna jual yang tersedia luas.
Singkatnya, Tesla tampaknya enggan memanfaatkan peluang strategis yang ditawarkan Indonesia. Tanpa kehadiran fisik dalam bentuk pabrik dan jaringan distribusi resmi, kehadiran Tesla di pasar mobil listrik nasional nyaris mustahil berkembang secara signifikan.
Layanan Purna Jual Terbatas
Selain harga yang jauh lebih mahal ketimbang mobil listrik kebanyakan, ketiadaan layanan purna jual resmi juga menghadirkan problem tersendiri bagi konsumen Tesla di Indonesia.
Sebenarnya, importir seperti Prestige Motorcars telah berusaha menutup celah ini dengan menawarkan layanan purna jual alternatif meskipun bukan berasal dari prinsipal resmi Tesla.
Melalui kerja sama dengan Tokopedia, Prestige meluncurkan program “Tesla by Prestige” yang memungkinkan konsumen membeli Tesla secara daring. Mereka juga menyediakan sejumlah layanan penunjang, seperti garansi kelistrikan selama dua tahun, garansi baterai delapan tahun, serta fasilitas flying ranger, di mana teknisi dikirim ke lokasi pelanggan untuk menangani masalah perangkat lunak, kalibrasi, hingga perbaikan minor. Instalasi wall-charger di rumah pun sudah termasuk dalam paket layanan ini.
Upaya ini patut diapresiasi. Namun, tetap ada keterbatasan mendasar: layanan tersebut bukan berasal dari Tesla Inc., dan karenanya tidak memiliki akses penuh terhadap ekosistem resmi. Jika terjadi kerusakan pada sistem utama seperti baterai, motor penggerak, atau fitur Autopilot, proses perbaikannya tetap bisa sangat mahal, memakan waktu lama, dan belum tentu ditanggung garansi global.
Komponen pun masih menjadi masalah tersendiri. Karena Tesla tidak memiliki rantai pasok resmi di Indonesia, setiap suku cadang harus diimpor satu per satu melalui proses bea dan cukai penuh. Ini menciptakan ketidakpastian dan potensi waktu tunggu panjang, terutama untuk komponen kritis.
Selain itu, Tesla dikenal sebagai produsen yang sangat bergantung pada pembaruan perangkat lunak (software update) untuk menjaga performa dan fitur. Namun, karena unit-unit Tesla di Indonesia tidak terhubung langsung ke sistem regional atau global, sebagian update bisa terhambat, bahkan tidak tersedia. Fitur-fitur seperti Autopilot atau integrasi Supercharger juga dipastikan tidak dapat difungsikan optimal karena Indonesia belum memiliki infrastruktur resmi Tesla.
Garansi pun menjadi titik rawan. Unit yang dibeli melalui importir umum tidak mendapatkan perlindungan garansi resmi dari Tesla Inc. Artinya, ketika terjadi kerusakan mayor, semua biaya perbaikan bisa jadi bakal dibebankan ke pemilik. Mengingat harga baterai atau komponen sistem kelistrikan utama bisa mencapai ratusan juta rupiah, potensi kerugian finansial cukup besar.
Singkatnya, kehadiran layanan dari importir seperti Prestige memang membantu, tetapi belum cukup untuk menghadirkan rasa aman yang biasanya diperoleh dari kehadiran prinsipal resmi. Dibandingkan merek lain seperti Hyundai, Wuling, atau BYD yang telah membangun jaringan APM lengkap dengan layanan purna jual menyeluruh, Tesla tetap terlihat sebagai produk elitis dengan struktur pendukung yang belum memadai.
Mungkinkah Tesla Berubah Pikiran?
Secara teknologi, Tesla memang memukau. Ia merupakan pionir dalam transformasi industri otomotif global yang sukses meredefinisi bagaimana dunia memandang mobil listrik. Namun, di Indonesia, nama besar Tesla belum cukup untuk menembus pasar. Bukan karena masyarakat tidak tertarik, melainkan karena terlalu banyak penghalang struktural yang membuat Tesla tetap jadi barang mahal, sulit dijangkau, dan rawan merepotkan.
Tanpa komitmen membangun pabrik, kehadiran APM resmi, dan jaminan layanan purna jual yang jelas, Tesla akan terus berada di pinggiran pasar Indonesia. Di sisi lain, merek-merek seperti Wuling, Hyundai, dan BYD—yang bersedia memenuhi syarat pemerintah dan membangun ekosistem dari hulu ke hilir—telah berhasil meraih pangsa pasar yang makin besar.
Maka, jika hari ini kita jarang melihat Tesla di jalanan Indonesia, itu bukan karena tidak ada permintaan, melainkan karena Tesla sendiri yang belum mau merespons permintaan tersebut. Namun, situasi ini belum tentu akan selamanya terjadi. Sebab, apabila BYD selaku pesaing utama Tesla di kancah global mampu membuktikan bahwa pasar Indonesia cukup menggiurkan, bisa jadi Tesla pun nanti bakal kepincut juga.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id

































