tirto.id - Mulai dari Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, sampai Presiden Joko Widodo telah merayu perusahaan mobil listrik dan energi bersih asal Amerika Serikat Tesla berlabuh di Indonesia. Sayangnya upaya ini berpotensi melalui jalan terjal.
Perusahaan yang dipimpin Elon Musk itu memberi sinyal bakal semakin ketat memelototi aspek environmental, social, and governance (ESG) dalam berinvestasi. ESG, pendeknya, adalah pendekatan yang hendak mewujudkan praktik bisnis yang tidak mencederai lingkungan sekaligus tetap memperhatikan aspek sosial.
Dalam rapat tahunan pemegang saham September 2020 lalu, CEO Tesla Elon Musk menawarkan kontrak jangka panjang-raksasa bagi perusahaan yang mampu menambang nikel dengan syarat, “peka pada aspek lingkungan.”
S&P Global mencatat permintaan ini menjadi tantangan bagi industri terutama pertambangan nikel untuk mengembangkan rantai pasok baterai litium yang rendah karbon, yaitu tidak merusak lingkungan saat penambangan sampai menggunakan energi yang ramah lingkungan saat hilirisasi.
Dalam laporan The Sustainability Yearbook – 2021 Rankings yang terbit Selasa (9/2/2021) lalu, Tesla masuk sebagai salah satu dari sederet perusahaan yang diundang dan menjalani penilaian ketat terhadap standar ESG oleh S&P Global. Meski demikian, perusahaan itu belum mampu masuk dalam 630 perusahaan yang mendapat penghargaan dari total 7.000 perusahaan yang diundang.
Dalam laporan serupa, ada 29 perusahaan Indonesia yang diundang dan juga belum memenangkan penghargaan. Menariknya dari daftar itu tak ada Mining and Industry Indonesia (MIND ID), PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Aneka Tambang (ANTM) yang notabene masuk dalam konsorsium BUMN untuk proyek EV Battery dan mitra potensial Tesla. PT Timah yang juga akan menggarap proyek EV Battery juga tak masuk, demikian pula PT Bukit Asam.
Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai laporan tersebut menunjukkan masih lemahnya komitmen ESG di industri di Indonesia. Maka, menurut Andry, bila Tesla benar mensyaratkan ESG, Indonesia akan kesulitan untuk menangkap peluang investasi perusahaan itu.
“Kalau tidak comply secara ESG di mata internasional, saya rasa sulit dilirik juga,” ucap Andry kepada reporter Tirto, Rabu (10/2/2021).
Andry mengatakan selama ini pemerintah hanya terlampau fokus mengejar kuantitas investasi tanpa mempertimbangkan kualitas seperti yang disyaratkan dalam ESG. UU Cipta Kerja yang disahkan 2020 lalu pun ditengarai organisasi lingkungan akan memperburuk perlindungan lingkungan atas nama investasi dan ekonomi.
Sebelum UU Cipta Kerja, praktik bisnis yang jauh dari standar ESG diduga sudah lama ditoleransi pemerintah. Andry mencontohkan proyek biodiesel yang diklaim ramah lingkungan tetapi bersumber dari sawit yang diduga menyebabkan deforestasi dan merugikan petani sawit mandiri.
Pola serupa juga terjadi pada sejumlah tambang nikel. Jaringan Aksi Tambang (JATAM) mencatat pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, misalnya, mengakibatkan banjir bandang, gagal panen akibat debu tambang, dan kesulitan air bagi warga. Menurut Jatam, kejadian ini hanya puncak gunung es dan mungkin terjadi pula di pulau lain.
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) yang aktif mempromosikan investasi hijau mencatat tren ESG di perusahaan dalam negeri masih jauh dari standar global. Direktur Eksekutif Kehati Riki Frindos mengatakan sebagian besar perusahaan masih dalam tahap belajar dan mencerna, misalnya terkait apa implikasi ESG pada bisnis mereka dan tindakan apa yang harus diambil.
“Kalau ada duit masuk lalu investor bilang, ‘saya butuh ESG’, belum ada yang siap. Kita masih early stage,” ucap Riki kepada reporter Tirto, Rabu. Maka tidak heran jika “banyak yang enggak terlalu yakin dengan Indonesia soal isu ESG.”
Di pasar modal, trennya juga mirip meski sudah relatif berkembang. Riki bilang perhatian isu ESG di Indonesia masih diinisiasi oleh investor profesional dan fund manager tertentu. Sementara perusahaan masih belum banyak bergerak dan menyesuaikan dengan pasar.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada isu perubahan iklim yang saat ini menjadi tren dunia. Riki menjelaskan rata-rata perusahaan dunia sudah fasih menjawab ketika ditanya bagaimana perusahaan merespons perubahan iklim. Sementara di Indonesia, katanya, “rata-rata pada belum bisa jawab.”
Faktor lainnya, sejumlah perusahaan Indonesia masih kesulitan melaporkan realisasi penerapan ESG. Alhasil, meski sudah dipraktikkan, penilaian lembaga pemeringkat kerap menyimpulkan penerapan ESG belum maksimal.
Oleh karena itu ia bilang minat Tesla sebaiknya dijadikan momentum membenahi standar ESG. Pemerintah dan dunia usaha patut mencoba menjawab aneka syarat yang ditetapkan oleh Tesla untuk menjadi mitra mereka. Bila berhasil, ini bisa jadi peluang memperbaiki reputasi ESG Indonesia di mata investor global.
“Kita harus siapkan apa ESG yang relevan. Ini jadi kesempatan kita buktikan ke investor luar,” ucap Riki.
Riki mengingatkan komitmen pada ESG tak sebaiknya dipandang sebagai beban. Di tengah pesatnya perkembangan ESG di dunia, memilih untuk absen hanya akan memperbesar risiko seperti kerusakan lingkungan sampai dikejar pajak karbon bahkan potensi kehilangan pasar hingga kerja sama di kemudian hari.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino