Menuju konten utama

Mendalami Kekecewaan Investor Asing terhadap UU Ciptaker

UU Ciptaker dibuat untuk para investor. Tapi investornya sendiri khawatir karena dampak lingkungan dari peraturan ini mengkhawatirkan.

Mendalami Kekecewaan Investor Asing terhadap UU Ciptaker
Warga menggunakan perahu untuk mengambil sampah plastik di aliran Sungai Citarum Kawasan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (22/7/2020). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc.

tirto.id - Ketukan palu dalam sidang paripurna DPR RI yang menandakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada Senin (5/10/2020) lalu ternyata tak menjamin investor luar negeri melirik negara ini. Baru-baru ini 35 investor yang mewakili investasi atau asset under management (AUM) senilai 4,1 triliun dolar AS membuat surat terbuka yang kira-kira berisi pernyataan bahwa justru karena peraturan ini investor mungkin enggan menanamkan uang di Indonesia.

Mereka mengatakan mungkin investor khawatir menanamkan duit karena UU Ciptaker akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan. Reputasi mereka dipertaruhkan jika berinvestasi di negara dengan regulasi yang dampaknya seperti ini.

“Perubahan peraturan yang diusulkan memang bertujuan untuk meningkatkan investasi asing. Tapi mereka berisiko melanggar standar internasional untuk mencegah konsekuensi berbahaya yang tidak diinginkan dari kegiatan bisnis,” tulis dokumen itu, diterima reporter Tirto pada Senin (5/10/2020).

Mereka bukanlah yang pertama. Pernyataan serupa sudah disampaikan World Bank Country Director untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen, Kamis (17/7/2020). Alasannya sama persis: UU Ciptaker memuat pasal-pasal yang bakal memberi dampak negatif bagi lingkungan.

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), bergerak mempromosikan investasi hijau, menilai sikap 35 investor tak mengejutkan. Direktur Eksekutif Kehati Riki Frindos menyatakan isu investasi dan lingkungan adalah tren global. Jumlah investor global yang mengadopsi komitmen ini terus bertambah meski level kepatuhannya beragam.

Ini tidak hanya terbatas pada pasar modal tetapi Foreign Direct Investment (FDI) yang produk akhirnya sekonkret mendirikan perusahaan baru.

Setiap perusahaan yang ingin berinvestasi di suatu negara sedikit-banyak mengandalkan pinjaman. Fund manager maupun bank bisa saja menolak memberi pendanaan dengan alasan investasi tidak sesuai kaidah lingkungan. Mereka terikat oleh komitmen investasi ramah lingkungan oleh pemilik dana yang mereka kelola.

“Kita harus siap-siap. Jangan untuk 1-2 tahun saja. Jangan korbankan lingkungan karena beberapa investor saja yang minta. Melonggarkan kebijakan lingkungan belum tentu berdampak pada peningkatan investasi,” ucap Riki, dihubungi Rabu (7/10/2020).

Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) mencatat jumlah aset yang diinvestasikan dengan prinsip Socially Responsible Investment (SRI) maupun Environmental Social Governance (ESG) terus naik. Pada 2014 total asetnya hanya 18,27 triliun dolar AS, lalu naik menjadi 22,89 triliun dolar AS (2016) dan menjadi 30,68 triliun dolar AS (2018).

Melansir Nikkei Asia Review, riset Deutsche Bank memperkirakan nilai aset yang diinvestasikan dalam kerangka ESG akan naik menjadi setara 50 persen total AUM dunia per 2020. Lalu menjadi 95 persen AUM dunia per 2030 dengan nilai 130 triliun dolar AS.

Menurut Riki, Indonesia masih beruntung lantaran investor baru menyatakan kekhawatiran melalui surat. Belajar dari Brazil 2019 lalu, investor bisa bergerak lebih jauh sampai melakukan boikot bahkan menarik lagi investasi.

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan belum mengetahui persis mana pasal yang dipersoalkan para investor. Namun setidaknya ada sejumlah ketentuan yang diduga menjadi sebabnya.

UU Ciptaker menghapus minimum 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan oleh pemerintah seperti dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Lalu terhadap UU 32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, UU Ciptaker mengubah izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan yang masuk dalam perizinan usaha. Sayangnya perubahan ini menghapus pasal 38 dan 93 yang menjadi ruang masyarakat menggugat izin lingkungan. Dalam peraturan lama ini dapat dibatalkan melalui PTUN.

Sanksi bagi yang tak memiliki Amdal dan UKL/UPL pun hanya administratif (Pasal 82A UU Ciptaker). Sanksi pidana baru berlaku seperti pada pasal 109 jika terbukti mengganggu kesehatan, korban luka, sampai kematian.

Di sisi lain, sanksi bagi pengelolaan limbah B3 yang merusak lingkungan juga diubah. UU Ciptaker menghapus kata “tanpa pembuktian unsur kesalahan” dari tanggung jawab mutlak atas ancaman lingkungan hidup yang ditimbulkan.

Wahyu juga mempersoalkan pembatasan masukan dan keterlibatan hanya bagi mereka yang terdampak langsung seperti pada Pasal 25 huruf c dan Pasal 26 ayat (2) UU Ciptaker. Kenyataannya, dampak lingkungan bisa dirasakan oleh mereka yang tinggal bermil-mil jauhnya. Misalnya, pencemaran Sungai Citarum dirasakan juga oleh masyarakat di hilir, alih-alih hanya yang berdekatan dengan pabrik pembuang limbah.

“Dengan kondisi regulasi seperti ini kami tidak bisa menyalahkan jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem regulasi dan negara,” ucap Wahyu, Selasa (6/10/2020).

Namun, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meyakini sebaliknya. Ia mengatakan RUU Ciptaker melanjutkan upaya aktif pemerintah memperbaiki iklim usaha, yang menurutnya sudah tampak hasilnya. Salah satunya dari peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) dari 114 (2015) menjadi 91 (2017) dan 73 (2018-2019).

“Kami telah membuat progres yang positif tapi masih ada komplain dari investor. Yang utama terkait perizinan. Omnibus law akan memberi kepastian kepada investor,” ucap Bahlil dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino