tirto.id - DPR RI baru saja mengeluarkan undang-undang kontroversial. Protes yang terjadi sepanjang tahun dianggap angin lalu oleh pemerintah yang mengusulkan beleid sapu jagat.
Masa depan lingkungan hidup ditengarai makin terancam kelestariannya setelah pengesahan Undang-undang Cipta Kerja. Ini karena peran masyarakat mengawal dampak lingkungan yang timbul dari pembangunan telah ditiadakan. Mekanisme koreksi terhadap perusahaan dan pemberi izin juga dihilangkan.
Hal itu tampak dari diubah dan dihapusnya sejumlah pasal krusial dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup lewat UU Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober 2020.
Pasal 1 angka 35 UU 32/2009 berbunyi:
“Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.”
Diubah dalam UU Cipta Kerja menjadi:
“Persetujuan Lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat.”
Izin lingkungan hilang dan melebur dalam izin berusaha yang di dalamnya terdapat persetujuan lingkungan atau persetujuan pemerintah. Lingkup izin berusaha termasuk analisis dampak lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang disebut UKL-UPL.
Pengintegrasian izin justru berlawanan dari aturan lama yang selama ini dikenal menyederhanakan berbagai izin seperti pengelolaan limbah beracun dan berbahaya hingga limbah cair.
Masyarakat terdampak kegiatan industri ke depan makin susah untuk melancarkan protes akibat pembatasan partisipasi di dalam menyusun amdal.
Pasal 25 huruf c UU 32/2009 berbunyi:
“Dokumen amdal memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”
Diubah UU Cipta Kerja:
“Dokumen amdal memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”
Terjadi penyempitan keterlibatan. Dari mencakup masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup dan siapa pun yang terpengaruh amdal menjadi hanya ‘masyarakat terdampak langsung yang relevan’. Padahal berkaca dari protes masyarakat terkait izin lingkungan, di dalamnya ada amdal justru mengundang partisipasi publik.
Sebagai contoh kasus gugatan amdal industri ekstraktif PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Selama menggugat izin lingkungan, masyarakat di Pegunungan Kendeng dan lainnya yang jauh dari tapak pabrik ikut terlibat protes. Belakangan izin lingkungan perusahaan negara ini terbit lagi.
Perubahan paling berarti adalah penghapusan gugatan izin lingkungan lewat pengadilan tata usaha negara yang selama ini jadi tumpuan terakhir warga untuk menggugat industri perusak lingkungan.
Pasal 38 UU 32/2009 berbunyi:
“Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.”
Dalam UU Ciptaker pasal ini dihapus. Dampaknya izin lingkungan yang terbit terhadap industri kecil hingga besar tak lagi bisa digugat.
Di level daerah, dampak belied baru ini akan terasa karena komisi penilai amdal juga dihapus. Padahal syarat izin lingkungan harus ada amdal.
Kewenangan amdal sekarang berada di tangan pemerintah pusat. UU Cipta Kerja menghapus pasal 29, 30 dan 31 mengenai komisi amdal yang diatur dalam UU 32/2009.
Dihapusnya pasal ini dan ruang gerak masyarakat terdampak industri dianggap bentuk penghilangan hak masyarakat.
Reynaldo Sembiring, direktur eksekutif Indonesian Center for Environmental Law, organisasi nirlaba untuk lingkungan hidup, menilai seharusnya masyarakat bisa mengoreksi amdal lewat gugatan hukum.
“Ketika pelaku usaha menyusun amdal lalu keputusan kelayakan lingkungan terbit. Itu sudah menimbulkan akibat hukum. Ada hak dan kewajiban bagi pelaku usaha,” kata Reynaldo.
Meski tak lagi diatur, ada Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang memungkinkan gugatan tersebut. Namun tetap kepastian hukum sudah hilang dan “tak ada jaminan hak masyarakat terpenuhi”. “Akhirnya muncul ruang penafsiran. Mengapa norma yang sudah jelas tak dipertahankan saja. Akhirnya kita berdebat dengan ruang penafsiran yang ada,” katanya.
Dengan pengesahan UU Cipta Kerja, pemerintah Indonesia dituding berperan mempercepat kerusakan lingkungan.
Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia, Nur Hidayati menyatakan undang-undang inkonstitusional karena bertolak belakang dengan keinginan masyarakat untuk memperoleh lingkungan yang bersih.
Kekhawatiran rusaknya alam Indonesia dari luar negeri juga muncul. Puluhan investor global yang digadang-gadang masuk Indonesia justru berbalik menuding pemerintah membahayakan kelestarian lingkungan.
Editor: Rio Apinino