tirto.id - Petisi Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik di change.org tembus 1 juta tanda tangan. Berdasarkan data yang dilihat Tirto per Selasa, 6 Oktober 2020 pukul 17.55 WIB, tanda tangan sudah mencapai angka 1.042.280 orang. Petisi tersebut pun kini ditargetkan menuju angka 1,5 juta tanda tangan.
Salah satu inisiator Maklumat Pemuka Agama Indonesia yang membuat petisi, Roy Murthado merasa senang petisi yang dibuat oleh kelompoknya untuk menolak Omnibus Law melebihi target yang telah ditentukan.
"Tembus angka satu juta itu patut kami syukuri ya, karena cepat. Tapi kalau segitu, masih belum signifikan untuk menekan pemerintah saat ini," kata Roy kepada Tirto, Selasa (6/10/2020).
Roy berharap publik terus melakukan tanda tangan hingga sebanyak mungkin: "Biar bisa menekan pemerintah.”
"Harapan nya semua orang berani speak up, bahwa sekarang banyak yang melenceng, termasuk Omnibus Law ini karena ruang partisipasi publik minim dibuka," ucapnya.
Roy bersama rekan-rekannya mengaku membuat petisi tersebut sejak Minggu, 4 Oktober 2020 atau satu hari sebelum disahkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) Omnibus Law pada Senin (5/10/2020) kemarin.
Dia menjelaskan, terdapat sejumlah alasan pihaknya mengajak publik untuk menolak Omnibus Law. Kata dia, dalam RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Sebagai RUU yang dibentuk dengan metode Omnibus Law, UU Cipta Kerja memuat banyak klaster dan sub-klaster isu pembahasan, yang di dalamnya total ada lebih dari 81 UU, serta seribu lebih pasal di seluruh UU tersebut yang diubah.
Beberapa persoalan mendasar dalam RUU Cipta Kerja ini, antara lain: Spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian.
"Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara,” kata dia.
Kemudian pemangkasan hak-hak buruh/pekerja. Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan.
Selain itu, status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.
Selanjutnya potensi terjadi konflik agraria dan SDA/lingkungan hidup. Selama 5 tahun terakhir, dia mencatat terdapat 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.
Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan.
Lalu, pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Menurutnya, aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan.
"Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya,” kata dia.
Terakhir, kekuasaan birokratis yang terpusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca reformasi 1998. Menurutnya, RUU Cipta Kerja akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batu bara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz