tirto.id - Giyem menderita iritasi kulit di sekujur punggung kakinya. Itu setelah warga Desa Plesan di Sukoharjo ini sering membasuh kaki berlumpur di Kali Gupit, bersama petani lain, di samping sawah sejak setahun lalu.
“Saya kira airnya bersih. Tidak tahunya gatal. Malamnya saya garuk, lalu berdarah,” kata perempuan petani 60 tahun ini kepada saya di rumahnya, Maret lalu. Ia menduga air sungai terkontaminasi limbah.
Rumah Giyem, yang berjarak 100-an meter dari Kali Gupit, berada di belakang pabrik PT Rayon Utama Makmur (PT RUM), hanya dihalangi pepohonan. Pabrik serat rayon itu membangun saluran pipa pembuangan limbah berdiameter 50 sentimeter sepanjang 3 kilometer mengikuti alur Kali Gupit hingga bermuara di Sungai Bengawan Solo. Saluran pipa ini dibuat pada September 2018, setahun setelah pabrik senilai Rp8 triliun ini beroperasi.
Desa Plesan berada di Kecamatan Nguter, lokasi jalur pembuangan limbah PT RUM. Karena jalur pipa PT RUM bocor dan mengalir ke sungai di depan rumah, warga waswas air sumur mereka tercemar limbah sehingga mengonsumsi air kemasan isi ulang.
Pada Mei 2020, saluran pipa pembuangan limbah ini bocor dan mengalir ke Kali Gupit. Pada Agustus lalu, pipanya rusak.
Dari rekaman video yang diambil warga setempat dalam rentang waktu berbeda, limbah PT RUM di Kali Gupit tampak berbusa, berwarna hijau, hitam, kuning dan berbau telur busuk. Dampaknya, ikan-ikan mati.
Warga Dusun Ngepos di Wonogiri, bertetangga dengan Sukoharjo, mengeluhkan limbah PT RUM kemungkinan telah membuat air sumur mereka tercemar dan berbau “seperti petai”. Dusun ini berjarak 100-500 meter dari mulut pipa pembuangan limbah (outfall) PT RUM di Bengawan Solo.
Buntut dari air sumur tak layak dikonsumsi, warga Dusun Ngepos harus membeli air galon demi kebutuhan minum sehari-hari, ujar Siti Kosaimah, warga setempat berumur 52 tahun. Kini warga membangun sistem pengolahan air tanah dengan bantuan pemerintah desa.
Pada 13 & 15 Mei lalu, saya mengambil sampel baku mutu air di lokasi pipa bocor di Kali Gupit, parit belakang pabrik, dan mulut pembuangan limbah PT RUM di Bengawan Solo. Hasil uji di Laboratorium Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta menunjukkan tingkat kandungan sulfida di masing-masing lokasi itu mencapai 0,8, 0,6, dan 1,0--ketiganya melebihi batas baku mutu sebesar 0,3. Sementara tingkat kebutuhan oksigen kimiawi (COD) mencapai 958,8--lebih dari 6 kali lipat batas baku mutu sebesar 150.
Kandungan sulfida yang tinggi bisa bikin gatal dan air berbau menyengat, sementara kadar COD yang tinggi bisa membuat ikan di sungai itu mati.
Sekretaris PT Rayon Utama Makmur Bintoro Dibyoseputro membantah perusahaan mencemari lingkungan. "Pembuangan limbah kami sudah ada standar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya pada 31 Agustus lalu. “Kami juga mengikuti peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang pemantauan kualitas air limbah secara terus-menerus dalam sistem pelaporan online."
Soal ada pipa pembuangan limbah yang bocor ke Kali Gupit, Dibyo mengklaim itu bukan pipa limbah melainkan pipa air bersih menuju pabrik. “Kami sudah mengganti pipa yang bocor itu. Kami melakukan perawatan pipa setiap pekan, termasuk mengganti pipa secara rutin,” kilahnya.
Kepala Seksi Pencemaran Lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo, Purwanto, berkata pipa bocor dari PT RUM adalah kesalahan. Tapi, bila pipa segera diperbaiki, katanya, persoalan bisa kelar seketika.
Pencemaran di Kali Langsur
Pencemaran terhadap anak Sungai Bengawan Solo di Sukoharjo terjadi juga di Kali Langsur, sungai sepanjang 12 kilometer selebar 3 meter. Warga dari 13 kampung di sepanjang aliran kali menuding PT Sri Rejeki Isman atau Sritex sebagai pelakunya. Perusahaan tekstil raksasa yang didirikan keluarga Lukminto ini memiliki satu saluran pembuangan limbah dari selokan di belakang pabrik menuju Kali Langsur.
Hasil uji laboratorium sampel air yang diambil pada 15 Mei lalu menunjukkan tingkat kebutuhan oksigen hayati (BOD) di Kali Langsur, 1 km dari saluran pembuangan limbah Sritex, mencapai 38,95—melebihi baku mutu sebesar 35; adapun kandungan sulfidanya 1,2 atau 4 kali lipat di atas baku mutu. Dari sampel air di titik saluran pembuangan, hasil sulfidanya mencapai 19,2; sementara ukuran kekeruhan airnya (TSS) mencapai 60,6—dua kali lipat dari batas baku mutu sebesar 30.
Warga memprotes pembuangan limbah Sritex sejak 20 tahun lalu sejalan gerakan reformasi saat itu, kendati bau limbah sudah mencemari lingkungan sejak 1991. Sritex meredam protes dengan memberi kompensasi. Salah satunya membagikan Rp200 juta ke 13 kampung, yang “di kampung saya dipakai untuk membangun sebuah jembatan,” ujar Marjono Setio Budi, 49 tahun, warga Kampung Langsur.
Pada 2007-2009, warga kembali melakukan protes besar-besaran, dipicu dari fenomena pladu—istilah setempat untuk menyebut banyak ikan sekarat mengambang ke permukaan kali. Saat warga beramai-ramai mencebur ke kali untuk mengambil ikan-ikan itu, terjadi malapetaka. Kulit kaki mereka gatal-gatal, panas, dan mengelupas.
Warga menuntut Sritex membayar kerugian Rp129 miliar, tapi berakhir tanpa ada kesepakatan.
Pada 2019, Kali Langsur tercemar dan berwarna merah. Kali ini minim protes warga.
Agus Setiady dari tim teknis Waste Water Management Sritex mengklaim limbah pabriknya sudah diolah sesuai standar pemerintah. “Kami punya izin pembuangan limbah cair. Pengukuran kadar limbah kami telah dilakukan secara berkala oleh pihak ketiga yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup. Hasilnya sesuai baku mutu yang ditetapkan pemerintah,” klaim Agus pada 29 Juli lalu.
Sementara manajer Human Resources Development Sritex, Sri Saptono Basuki, mempertanyakan pengambilan sampel air di mulut pipa pembuangan di Kali Langsur. “Pengambilan sampel di sungai belum bisa dinyatakan itu sebagai sampel murni. Artinya, mungkin banyak komponen luar yang bisa memberi hasil berbeda bila dibanding dengan limbah yang diambil langsung,” katanya. Saat saya bermaksud mengambil sampel langsung di lokasi pengolahan limbah di dalam pabrik pada Juni lalu, pihak Sritex menolak memberi izin.
Pencemaran oleh Tiga Pabrik Lain
Pabrik tekstil lain di Sukoharjo yang membuang limbah ke Bengawan Solo adalah PT Tyfountex. Berada di Kecamatan Kartasura, perusahaan ini membuang limbah melalui saluran air di belakang pabrik, tertutup semak rimbun. Berdasarkan hasil uji sampel, parameter BOD limbah mencapai 53,57, sementara kadar sulfida mencapai 0,6. Angka-angka ini melebihi batas baku mutu.
Pihak Tyfountex belum menjawab upaya konfirmasi Tirto sampai laporan ini dirilis. Surat permintaan wawancara yang dikirim ke kantor dan melalui surel perusahaan tidak direspons. Saat saya mendatangi kantornya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, tak terlihat ada pekerja dan kantornya tertutup pada Agustus lalu.
Di tempat lain, limbah industri berwarna cokelat keruh dan berbau etanol mengucur deras ke Sungai Sroyo, salah satu anak Sungai Bengawan Solo. Limbah itu berasal dari saluran pembuangan PT Indo Acidatama. Bersebelahan dengan pabrik produsen bahan kimia ini, ada PT Sari Warna Asli Textile Industry Unit I yang membuang limbah ke Sungai Sroyo. Keduanya berada di kawasan industri Kebakkramat di Karanganyar, kabupaten tetangga Sukoharjo. Pada Agustus lalu, Sungai Sroyo masih tampak hitam pekat.
Hasil uji sampel di lokasi pembuangan limbah Indo Acidatama menunjukkan parameter BOD 194,79, COD 913,68, dan sulfida 12,8. Semuanya melebihi batas baku mutu. Sementara di lokasi pembuangan limbah Sari Warna Asli Textile Industry Unit I, hasil BOD 160,70 dan sulfida 1,2. Keduanya di atas baku mutu.
Hingga laporan ini terbit, pihak Sari Warna Asli Textile Industry Unit I belum memberikan penjelasan atas upaya konfirmasi Tirto. Kepala Humas Perusahaan Sritex, Joy Citradewi, berkata tak bisa mengklarifikasi masalah limbah Sari Warna Asli Textile Industry, perusahaan terafiliasi Sritex, karena ia hanya mewakili Sritex.
Sekretaris Perusahaan Indo Acidatama, Benny Herman, membantah pabrik mencemari Sungai Sroyo. “Kami itu Proper-nya green [hijau]. Tidak ada masalah dengan limbah,” kilah Benny pada 4 Agustus lalu. Proper adalah program Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong perusahaan taat lingkungan. Berdasarkan laporan tahunan Indo Acidatama, nilai Proper mereka biru, satu tingkat di bawah hijau.
Pada 6 Agustus, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan inspeksi mendadak ke lokasi pembuangan limbah Indo Acidatama, persis di titik Sungai Sroyo tempat saya mengambil sampel. Ganjar menyebut saluran di sana adalah “pipa siluman” atau tak berizin. Namun, tak ada tindakan tegas. Ganjar hanya menyampaikan peringatan lisan kepada pengelola pabrik.
Mengutamakan 'Pembinaan' terhadap Industri Pencemar
Pada 3 Desember 2019, pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggelar rapat koordinasi penanganan limbah Bengawan Solo. Dipimpin oleh Ganjar Pranowo, pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan industri termasuk dari PT Rayon Utama Makmur, Sritex, dan Indo Acidatama. Rapat yang melibatkan perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi, dan perwakilan pemerintah Provinsi Jawa Timur ini merekomendasikan industri di Bengawan Solo memperbaiki pengolahan limbahnya.
Menurut Ganjar, beragam industri mengaku melakukan pencemaran dengan berbagai alasan, dari keterbatasan alat dan sumber daya manusia hingga membuang limbah secara ilegal. Ganjar memberi kesempatan kepada industri untuk memperbaiki pengolahan limbah sesuai baku mutu sampai akhir tahun ini. Alasannya, “Kami tidak bisa pukul rata dan melarang industri kecil, jadi kami bina,” katanya via telepon pada 16 Juli lalu.
“Kalau masih menemukan pelanggaran setelah setahun, kami akan beri peringatan. Kalau tak ada ada perubahan, kami bawa ke pengadilan,” ucap Ganjar.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda sampai Rp3 miliar bagi pelaku pencemaran. Itu bisa diterapkan jika sanksi administratif tidak dipatuhi atau pelaku usaha melakukan lebih dari sekali pencemaran.
Regulasi yang sama memberi wewenang menteri dan kepala daerah menjatuhkan sanksi administratif kepada pengurus perusahaan jika melakukan pelanggaran izin lingkungan, salah satunya melanggar baku mutu limbah. Bentuknya berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin lingkungan.
Dalam kasus PT Rayon Utama Makmur, Direktorat Penegakan Hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup serta Bupati Sukoharjo pernah menghentikan operasional perusahaan itu pada 23 Februari 2018. Mereka minta PT RUM membuat saluran pembuangan limbah, mengurus izin limbah bahan berbahaya dan beracun, dan membuat izin pembuangan limbah cair. Ini pun setelah warga setempat memprotes pencemaran limbah cair yang mengotori udara bak menghirup “bau tinja.” Protes berujung pemidanaan terhadap tujuh warga.
Sanksi terhadap PT RUM dicabut pada 23 Agustus 2019 setelah perusahaan memiliki izin pembuangan limbah. Selama pabrik berhenti beroperasi, penjualan serat rayon dan pakaian jadi PT RUM ke perusahaan terafiliasi Sritex hanya 2,6 juta dolar AS. Namun, tahun berikutnya pembelian dari Sritex melejit nyaris empat kali menjadi 10,08 juta dolar AS.
Dalam data Kementerian, PT RUM memiliki izin pembuangan air limbah pada 24 Mei 2019, dua tahun setelah beroperasi. Kapasitas debit limbah per hari maksimal 17.282 meter kubik, yang mengalir ke Bengawan Solo.
Kepala seksi pemantauan lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo, Sigit, berkata PT RUM tak punya izin limbah cair sebelum 2019, tapi instansinya tak menjatuhkan sanksi karena menganggap saat itu PT RUM dalam “masih uji coba”.
Sekretaris PT RUM Bintoro Dibyoseputro berkata alasan perusahaan baru mengurus izin pembuangan limbah cair setelah dua tahun beroperasi karena perusahaan sudah punya izin mengelola limbah cair asam dan basa tanpa perlu melibatkan pihak ketiga untuk menguji limbah. Pernyataan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 yang menyebut perusahaan harus punya izin pembuangan limbah sebelum beroperasi.
Dalam data Kementerian Lingkungan Hidup, sumber limbah yang mengalir ke Bengawan Solo berasal dari 127 hotel, 87 rumah sakit, dan 85 industri. Tak semuanya punya instalasi pengolah air limbah. Limbah lain berasal dari peternakan dan pertanian, permukiman dan sampah rumah tangga. Pemerintah memang membolehkan sungai jadi tempat pembuangan limbah asalkan sesuai standar baku mutu yang ketat.
Direktur Pengendalian Pencemaran Air dari Kementerian Lingkungan Hidup, Luckmi Purwandari, berkata 48 dari 85 industri rutin melaporkan hasil pengujian air limbah. Dari jumlah itu, ada 18 industri sudah mengantongi izin pembuangan limbah cair. Ia berjanji akan memeriksa data itu kembali. Tapi, hingga laporan ini terbit, belum ada data terbaru yang dia sampaikan kepada Tirto.
Luckmi juga berkata Bengawan Solo saat ini sudah melampaui koefisien rezim sungai (KRS) atau parameter kekritisan daerah aliran sungai. Nilai KRS Bengawan Solo mencapai 541, lebih tinggi dari patokan wajar, yakni 40-80.
Ia berkata solusi yang harus didorong adalah “memperkecil sumber pencemar ke sungai dan memperbanyak debit air.”
“Tapi, industri tidak peduli musim hujan atau kemarau. Mereka terus buang limbah. Makanya terjadi pencemaran di Bengawan Solo setiap tahun saat kemarau,” ujarnya.
Soal masalah limbah dari PT Rayon Utama Makmur, Luckmi berpendapat pemerintah tidak seketika mengambil langkah penegakan hukum. “Kami sudah melakukan pembinaan berkali-kali. Kami pernah membawa ahli agar air limbahnya tidak bau. Tapi, kami tidak bisa memaksa.”
Ia juga berkata sesuai rapat koordinasi dengan pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Desember 2019, kesepakatannya adalah industri diminta memperbaiki pengolahan limbahnya.
“Pemerintah mengutamakan langkah persuasi dan pembinaan,” ujarnya.
=========
Laporan ini terbit berkat kolaborasi dengan Tempo Institute dan Free Press Unlimited.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Fahri Salam