tirto.id - Keluarga Lukminto, konglomerat tekstil asal Solo, mengendalikan sejumlah perusahaan yang diduga mencemari Bengawan Solo. Istri, anak, menantu, dan kerabat Lukminto mengendalikan entitas perusahaan secara terpisah tapi saling terafiliasi dalam kepemilikan saham dan kepengurusannya.
Ada tiga perusahaan Keluarga Lukminto yang membuang air limbah melebihi baku mutu. Ketiganya adalah PT Sri Rejeki Isman (Sritex), PT Rayon Utama Makmur, dan PT Sari Warna Asli (SWA) Textile Industry I.
Lukminto (1946- 2014) mengubah Sritex menjadi perusahaan multinasional dengan pasar ekspor seragam tentara ke ratusan negara dunia dan memasok jenama fesyen terkenal dunia. Pendapatan bersih Sritex pada 2019 mencapai 87.652.548 dolar AS, menjadikannya sebagai salah satu perusahaan tekstil dan produk tekstil berpengaruh Indonesia. Dua presiden Indonesia dalam empat periode terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, pernah ke Sritex untuk peresmian atau meninjau pabrik.
Selama pandemi COVID-19, Sritex memperoleh pangsa pasar baru, yakni produksi alat pelindung diri. Pada semester 1 2020, Sritex meraup omzet 608,2 juta dolar AS, hanya turun sekitar 3 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Perseroan dengan kode SRIL ini meraup pendapatan sekitar 100 juta dolar AS sepanjang 2020 hanya dari penjualan hazmat.
Keluarga Lukminto di Sritex
Pemegang saham Sritex terbesar adalah PT Huddleston Indonesia, yang memiliki 60,1 persen saham atau setara Rp1,2 triliun. Sisa saham dimiliki masyarakat atau setara Rp816,7 miliar.
Kendati keluarga Lukminto tak memiliki saham Sritex secara langsung, tapi bos PT Huddleston Indonesia adalah putra dan menantu Lukminto. Mereka adalah Iwan Setiawan Lukminto, presiden komisaris; Iwan Kurniawan Lukminto, komisaris; dan Mira Christina Setiady sebagai direktur.
Modal dasar Huddleston Indonesia sebesar Rp235 miliar. Lalu modal ditempatkan Rp58,75 miliar atau setara 58.750 lembar saham. Duo Iwan masing-masing punya 125 lembar saham (0,2 persen) atau setara Rp125 juta di PT Huddleston Indonesia.
Lapisan Sritex berikutnya adalah Huddleston Enterprises Pte. Ltd., yang terdaftar di Singapura dengan fokus investasi tekstil dan garmen, sebagai pemegang saham Huddleston Indonesia dengan 58.500 lembar atau setara Rp58,5 miliar.
PT Rayon Utama Makmur
Keluarga Lukminto juga mengendalikan PT Rayon Utama Makmur, salah satu pabrik serat rayon terbesar di Indonesia senilai Rp8 triliun yang mencemari Bengawan Solo.
Kendati entitasnya terpisah, laporan keuangan Sritex 2019 mencantumkam PT RUM, PT Jasa Perkasa Textile (salah satu pemegang saham RUM), dan PT Sari Warna Asli Textile Industri ke dalam perusahaan keluarga Lukminto.
Sekretaris PT RUM Bintoro Dibyoseputro mengaku belum memperoleh informasi perihal kepemilikan saham keluarga Lukminto.
“Saya belum dapat data tentang ini sama sekali,” kilahnya saat dikonfirmasi Tirto pada awal September lalu.
Pemilik saham dan pengurus PT RUM dipegang oleh para pejabat Sritex. Mendiang Muhammad Lukminto menduduki komisaris utama sejak 2010-2014 saat fase awal pembangunan pabrik PT RUM di Sukoharjo.
Setelah Lukminto meninggal, posisinya tergantikan tapi tetap dalam lingkaran keluarga. Istrinya, Susyana Lukminto, menjadi komisaris utama hingga saat ini. Di Sritex, Susyana juga menempati posisi sama. Anak Lukminto, Iwan Kurniawan Lukminto, menjabat sebagai komisaris RUM; lalu di Sritex menempati wakil direktur utama.
Anggota keluarga lain, Iwan Setiawan Lukminto, menjabat direktur utama Sritex, sedangkan di RUM sebagai komisaris. Megawati Boediono, istri Iwan Setiawan, menjabat komisaris RUM dan Sritex.
Perusahaan pemegang saham mayoritas PT RUM juga dalam kendali keluarga Lukminto.
Pemegang saham mayoritas PT RUM adalah PT Kapas Agung Abadi, yang memiliki 735.000 lembar saham (98%) setara Rp674,9 miliar. Pemilik saham dan pengurus PT Kapas Agung Abadi adalah Lukas Wiranto (direktur)—menantu Lukminto—dan Agus Putranto Setiady (komisaris)—diduga kerabat istri Iwan Kurniawan Lukminto. Keduanya punya 25.000 lembar saham dari total nilai saham Rp25 juta.
Sementara 1.500 lembar saham RUM (0,2%) senilai Rp1,3 miliar milik PT Jaya Perkasa Textile. Agus Putranto Setiady memiliki 25 juta lembar saham setara Rp2,5 miliar di perusahaan ini. Dua menantu Lukminto, Megawati Boediono menjabat direktur dan Mira Christina Setiady menjabat komisaris di perusahaan tersebut.
Sementara 13.500 lembar saham (1,8%) atau setara Rp12,3 miliar dimiliki Summit Rayon Company Ltd—terdaftar di British Virgin Islands, negara suaka pajak.
Relasi Sritex dan RUM juga terekam dari transaksi perusahaan. Sritex membeli produk pakaian jadi dan serat rayon dari RUM senilai belasan juta dolar selama 2017-2019. Transaksi tahun 2019 mencapai 10,08 juta dolar AS, lebih dari dua kali lipat dari dua tahun sebelumnya.
PT Sari Warna Asli Textile Industy
Keluarga Lukminto lewat PT Kapas Agung Abadi juga menguasai PT Sari Warna Asli Textile Industry, perusahaan terafiliasi Sritex, yang mencemari Sungai Sroyo di Karanganyar.
Perusahaan itu memiliki 394.400.000 lembar saham (68%) setara Rp394,4 miliar. Lukas Wiranto, menantu Lukminto, menduduki presiden komisaris di PT Sari Warna Asli Textile Industry.
PT Sari Warna Asli Textile Industry menjual pelbagai produk ke Sritex. Dari serat rayon, benang, kain greige dan kain jadi. Berdasarkan laporan keuangan, transaksi pembelian oleh Sritex mencapai 21,9 juta dolar AS pada 2019, melonjak dari 14,9 juta dolar AS pada 2018.
Hingga laporan ini terbit, Agus Putranto Setiady belum menjawab upaya konfirmasi Tirto mengenai pemilik saham dan pengurus perusahaan-perusahaan terafiliasi Sritex.
Dalam wawancara berbeda pada 29 Juli lalu, Agus yang juga dari tim teknis Waste Water Management Sritex menjawab soal tudingan pabrik raksasa tekstil ini membuang limbah di atas baku mutu ke Kali Langsur, anak Sungai Bengawan Solo.
“Perusahaan penguji limbah Sritex telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup, dan hasil pengetesan limbah sudah sesuai standar,” klaim Agus.
Investor Hong Kong
Bukan hanya Keluarga Lukminto, terdapat juga investor asal Hong Kong di balik industri pencemar Bengawan Solo.
Misalnya PT Tyfountex di Sukoharjo, yang disuntik modal asing dari Hong Kong Spinners (HKS) pada 1973. Pendirinya adalah pengusaha tekstil terkemuka di Hong Kong bernama Toong Yuen Wong (1908-1992).
Berdasar data Kementerian Hukum dan HAM, keluarga Wong masih mengelola Tyfountex. Presiden direktur pabrik tekstil ini adalah James Saint Wong JR, yang juga CEO Hong Kong Spinners Internasional Group; adapun presiden komisarisnya Wong Danie Diana. Seluruh pemegang saham Tyfountex saat ini adalah korporasi dan punya kesamaan nama.
Saham Tyfountex terbagi empat seri. Pemegang saham seri A senilai 1,25 juta lembar atau setara Rp518.750.000 adalah PT Rosa Indah. TY Foundation Ltd memegang 3,75 juta lembar atau setara Rp1.556.250.000. Sementara saham seri B, C dan D dengan total 19.550.000 lembar atau setara Rp167 miliar dipegang TY Foundation, yang terdaftar di Liberia, negara suaka pajak Benua Afrika.
Pada 1987, Tyfountex adalah pabrik tekstil pertama di Asia Tenggara yang berinvestasi 140 mesin tenun Sulzer untuk sprei katun. Pada 2013, memiliki lebih dari 10.000 pekerja. Namun kini Tyfountex dilaporkan mengalami krisis dan memberhentikan ratusan pekerja.
Hingga tulisan ini terbit, manajemen Tyfountex belum menjawab konfirmasi Tirto yang dikirim lewat surel dan surat ke perusahaan.
Konglomerat Lokal di Indo Acidatama
Pabrik lain yang mencemari anak Sungai Bengawan Solo adalah PT Indo Acidatama, produsen bahan kimia dasar di Karanganyar. Pabriknya bersebelahan dengan PT Sari Warna Asli Textile Industry I.
Direksi dan komisaris di dua perusahaan dari keluarga konglomerat Solo yang dikenal Budhi Bersaudara, yakni Budhi Moeljono, Budhi Hartono, Budhi Santoso, dan Mulyadi Utomo Budhi Moeljono. Selain keluarga Budhi, keluarga Setijo menguasai saham Indo Acidatama. Sejumlah anak Bambang Setijo menempati jajaran direksi dan komisaris.
Indo Acidatama yang berkode SRSN diuntungkan selama pandemi COVID-19. Produksi etanol meningkat sebagai bahan baku hand sanitizer.
Penelusuran Tirto, limbah Indo Acidatama melanggar parameter baku mutu dan terindikasi membuat saluran pembuangan ilegal.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan inspeksi mendadak pada 6 Agustus lalu ke lokasi pembuangan limbah Indo Acidatama, persis di titik Sungai Sroyo tempat Tirto mengambil sampel. Ganjar menyebut saluran di sana adalah “pipa siluman” atau tak berizin dan ada rembesan air limbah di belakang pabrik. Ganjar mendatangi pabrik tetapi hanya menyampaikan teguran lisan.
Ganjar berkata semua industri di tepi Bengawan Solo harus memperbaiki pengolahan limbah sampai akhir tahun ini, sesuai hasil rapat koordinasi pada Desember 2019. “Kalau masih menemukan pelanggaran setelah setahun dan enggak ada perubahan, kami akan bawa ke pengadilan,” katanya.
Ganjar dan Kementerian Lingkungan Hidup lebih mengutamakan pendekatan persuasi dan pembinaan terhadap pelaku pencemaran di Bengawan Solo.
Sekretaris PT Indo Acidatama, Benny Herman, belum menjawab upaya dikonfirmasi Tirto mengenai “pipa siluman” di belakang pabriknya. Ia membantah Indo Acidatama mencemari Sungai Sroyo.
“Limbah pabrik kami telah teruji dan sesuai baku mutu,” katanya pada 4 Agustus lalu.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Fahri Salam