Menuju konten utama

Bengawan Solo Tercemar, Membawa Ribuan Ton Sampah Plastik ke Laut

Setiap tahun sekitar 32.500 ton sampah plastik dibuang ke Bengawan Solo dan mencemari lautan.

Bengawan Solo Tercemar, Membawa Ribuan Ton Sampah Plastik ke Laut
Ilustrasi Pencemaran sungai Bengawan Solo. tirto.id/Lugas

tirto.id - Tahun lalu, unggahan bungkus Indomie viral di media sosial. Kemasan mi instan dengan tulisan ‘Dirgahayu Indonesia ke-55’, yang terombang-ambing di laut sampai terdampar di bibir pantai selama 19 tahun, menjelaskan tak cuma plastik adalah jenis sampah yang sulit terurai tapi juga pencemaran laut adalah problem serius di Indonesia, penyumbang terbesar kedua sampah plastik di dunia.

Betapapun ada langkah global untuk mengerem pengendalian produksi plastik, dari kesepakatan hingga kampanye dan tindakan, praktiknya masih lamban dalam tingkat nasional di Indonesia. Sampah-sampah plastik itu berakhir di pantai dan teluk setelah mengalir dari sungai-sungai di Indonesia.

Dari 550 sungai di Indonesia, 82 persennya tercemar dan dalam kondisi kritis, termasuk Citarum, sungai paling kotor dan paling tercemar di dunia, yang menjelma menjadi limbah terbesar di ujung timur Jawa Barat.

World Resource Institute (WRI), lembaga penelitian independen yang berfokus pada perlindungan lingkungan dan kesejahteraan manusia, menyatakan 20 sungai paling polutan berada di Asia, tingkat pencemarannya mencapai 67 persen. Sekitar 86 persen sampah plastik di lautan berasal dari sungai-sungai di Asia.

Tahun lalu, imbas dari Cina menyetop sampah impor plastik dari negara-negara maju, ada sekitar 184.700 ton sampah plastik impor di Indonesia yang tidak diketahui dibuang ke mana, di luar beban timbunan sampah plastik domestik sekitar 9 juta ton.

Kali Bekasi sekarat. Teluk Jakarta dipenuhi limbah styrofoam. Teluknaga di Tangerang menjadi “pantai sampah.” Sungai Mahakam, sungai terpanjang kedua di Indonesia yang membelah Kota Samarinda, tercemar parah akibat eksploitasi lingkungan oleh industri tambang, batubara, dan kayu. Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebut seperempat desa di Indonesia terdampak pencemaran sungai.

Standar Kemenkes dan WHO

Kementerian Kesehatan tahun 2010 menyebut total zat padat terlarut atau TDS merupakan salah satu parameter fisik untuk mengukur kualitas air minum. Batas maksimal TDS yang dibolehkan untuk dikonsumsi 500 mg/l. Sementara batas tingkat keasaman atau pH pada angka 6,5-8,5[4] .

Pemerintah Indonesia juga mengatur tentang pengelolaan dan pengendalian pencemaran air pada 2001. Ia membagi air menjadi empat kelas: kelas I untuk minum; kelas II untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman; kelas III untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman; dan kelas IV untuk mengairi pertanaman.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) punya standar untuk TDS, yakni di bawah 1.000 mg/l untuk air yang masih bisa dikonsumsi. Namun, TDS terlalu tinggi mungkin tak akan cocok bagi konsumen karena rasa air sudah terkontaminasi dengan pipa air, pemanas air, dan peralatan rumah tangga lain. Kandungan TDS terlalu rendah juga mungkin tak cocok dengan konsumen karena rasanya hambar.

Berdasarkan kelas standar yang ditetapkan Kemenkes dan WHO, baik dari parameter pH maupun TDS, secara umum kualitas air di daerah aliran sungai Bengawan Solo termasuk ke dalam kelas I-III, artinya masih dalam batas yang dapat diterima.

Namun, kenyataan di lapangan, kondisi air yang berwarna, berlumpur, dan berbau membuat warga enggan menggunakannya. Banyak warga sudah tidak memanfaatkan air dari Bengawan Solo untuk kebutuhan rumah tangga.

Sampah Bengawan Solo

Tumpukan sampah di TPS Sedayu Lawas, Lamongan, Jawa Timur di dekat bibir Sungai Bengawan Solo. tirto.id/Bhagavad Sambada

==========

Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup; dan Resource Watch, platform data terbuka yang memanfaatkan teknologi, data, dan jaringan manusia untuk menghadirkan transparansi.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN SUNGAI atau tulisan lainnya dari Hanif Gusman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hanif Gusman
Penulis: Hanif Gusman
Editor: Fahri Salam