tirto.id - Sungai Citarum adalah pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Air dan lingkungan sekitar alirannya telah puluhan tahun tercemar. Generasi berganti, pemerintahan berubah, tapi Sungai Citarum semakin mengenaskan.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, sebuah langkah penanggulangan diambil. Ia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum yang ditandatangani pada 14 Maret 2018. Untuk merealisasikannya, pemerintah pusat dan daerah meluncurkan program Citarum Harum yang ditargetkan selama tujuh tahun.
“Pada tanggal 1 Februari lalu revitalisasi wilayah daerah aliran Sungai Citarum telah dimulai dari hulu di Situ Cisanti. Ini pekerjaan besar, tidak mungkin dikerjakan satu atau dua hari, sebulan dua bulan. Kita akan selesaikan dalam waktu 7 tahun,” ucap Jokowi pada Kamis (22/2/2018) seperti dilansir Kompas.
Pelaksanaan program ini dipimpin Komandan Satuan Tugas yaitu Gubernur Jawa Barat. Sementara Wakil Komandan Satuan Tugas dipegang Panglima Kodam III/Siliwangi, artinya tentara terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Sebanyak 1.700 personel TNI diterjunkan untuk menjaga dan mengawasi Sungai Citarum yang dibagi ke dalam 22 sektor.
Setahun kemudian, Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat menuturkan program Citarum Harum mulai memperlihatkan hasil yang positif. Sejumlah pabrik di sekitar Sungai Citarum yang kerap diduga sebagai salah satu penyebab pencemaran mulai banyak yang melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke aliran sungai tersebut.
“Saya katakan banyak peningkatan (pabrik yang mengolah limbah). Buangan limbah dari pabrik sudah lebih jernih […] Sudah banyak dari yang tidak ada (pengolahan limbah) jadi ada. Kalau ngotot gak mau bikin ya kami pidanakan,” ucapnya.
Ia menambahkan, hal lain yang menjadi indikator membaiknya kondisi Sungai Citarum adalah mulai digunakan masyarakat untuk beraktivitas. Sebagai pejabat pemerintahan yang berlatar belakang arsitektur, Ridwan Kamil sering mendesain pelbagai sarana umum seperti alun-alun dan taman kota yang ia lakukan sejak menjabat sebagai Wali Kota Bandung.
Pendekatan ini akan ia lakukan juga untuk mendukung proses revitalisasi Sungai Citarum. Ia rencananya akan menata kawasan sungai itu dengan menghadirkan alun-alun, pusat budaya Sunda, patung seni, hingga jembatan yang didesain sedemikian rupa hingga tak sekadar fungsional. Desain untuk penataan ruang kawasan itu rencananya akan selesai pada akhir Maret 2019.
“Ini akan menjadi viral. Kalau desainnya beres saya posting di Instagram,” imbuhnya.
Cita-Cita Minum Air Citarum
Menjelang Pilkada Jawa Barat 2013 Pemprov Jawa Barat yang dipimpin Ahmad Heryawan, selaku petahana yang kembali bertarung untuk periode kedua, mencanangkan air Sungai Citarum bisa diminum pada 2018.
“Dengan program (membentuk Forum DAS Citarum), mudah-mudahan cita-cita agar Sungai Citarum pada 2018 bisa diminum bisa terealisasi,” ucap Ahmad Heryawan pada Rabu (6/2/2013) seperti dikutip Detik.
Jika Ahmad Heryawan menyebutnya “bisa diminum”, lain lagi dengan yang diungkapkan Anang Sudarna selaku Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat pada Rabu (19/3/2014), atau setahun setelah Ahmad Heryawan mengatakan hal tersebut.
Anang Sudarna lebih “ekstrem” dalam mengungkapkan cita-citanya ihwal air Sungai Citarum.
“Di [tahun] 2018 nanti, kita berharap air Sungai Citarum dapat langsung diminum,” ujarnya sebagaimana diwartakan Kompas.
Pada kesempatan tersebut ia menuturkan program Citarum Bestari (Bersih, Sehat, Indah, Lestari) sebagai ikhtiar penanggulangan masalah Sungai Citarum yang sudah menahun. Program ini dibagi ke dalam empat segmen berdasarkan penggalan-penggalan jarak. Segmen pertama pada kilometer 0-20, dan segmen keempat berakhir pada kilometer 77.
Jika dilihat dari jumlah kilometer yang ditanggulangi, program ini tentu tak meliputi keseluruhan Sungai Citarum yang panjangnya lebih dari 200 kilometer. Namun, sepanjang 77 kilometer pun dana yang dikeluarkan sangat besar, yakni mencapai 80 miliar rupiah.
“Setiap segmen, kita targetkan selesai dalam satu tahun. Ini kan ada empat segmen, berarti empat tahun. Andaikan saja, target empat tahun ini bisa menjadikan Citarum bersih, menurut saya itu sudah sangat hebat dan luar biasa sukses,” ucapnya.
Dana sebesar itu ternyata tidak cukup. Pada 2016 Pemprov Jabar kembali mengucurkan dana untuk program Citarum Bestari sebesar 120 miliar rupiah, yang menurut Ahmad Heryawan sebagai “format baru” dalam menjalankan program tersebut.
“Dengan anggaran tersebut bisa bergerak masif advokasi masyarakat, pabrik, peternak, dan rumah tangga. Insya Allah terpadu,” katanya pada Senin (11/4/2016) seperti dilansir Pikiran Rakyat.
Tahun yang “dijanjikan” pun tiba. Warsa 2018 nyatanya Sungai Citarum masih tetap seperti semula, busuk dan bisa diminum jika ingin dirundung jentaka. Menanggapi hal ini Kepala BPLHD Jawa Barat Anang Sudarna mengatakan bahwa air Sungai Citarum bisa diminum adalah ungkapan seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan jangan diartikan secara harfiah.
Ia menambahkan, ungkapan Ahmad Heryawan seyogyanya dijadikan sumber inspirasi dan motivasi dalam bersama-sama menjaga Sungai Citarum. Pembelaan terhadap bosnya itu ditambahi pula bahwa menurutnya Ahmad Heryawan tak pernah mengatakan aliran mana saja yang dapat diminum itu.
“Kalau dimaknai secara harfiah, air di Sungai Citarum yang ada di hulu Citarum saat ini sudah dapat diminum. Sementara gubernur kan tidak bilang aliran mana-mananya. Tidak nyebut di Bojongsoang atau di Dayeuhkolot,” katanya.
Ia barangkali lupa, hulu Sungai Citarum di kaki Gunung Wayang, Kecamatan Kertasari, memang dari dulu bisa diminum langsung karena sangat bersih, bukan “saat ini” saja.
Jika melihat perkembangan kondisi Sungai Citarum yang masih mengenaskan selama lima tahun terakhir, pencanangan air Sungai Citarum dapat diminum yang dikatakan Ahmad Heryawan pada 6 Februari 2013 bisa jadi hanya kembang gula jelang Pilkada Jawa Barat yang digelar pada 24 Februari 2013.
Pemerintah daerah Jawa Barat beserta institusi terkait nyatanya masih belum bisa menanggulangi salah satu sungai terkotor di dunia ini, sehingga presiden harus turun langsung. Namun, berhasil atau tidaknya program Citarum Harum yang diluncurkan Jokowi juga masih harus menunggu tujuh tahun ke depan.
Tentara diturunkan, warga ditantang untuk mengubah segala kebiasaan buruknya dalam memperlakukan sungai, serta limbah industri yang menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan sungai ini. Tujuh tahun hanya satuan waktu, tapi tak ada yang lebih laten dari perilaku. Tantangan mesti diterima pemerintah dan masyarakat, berkali-kali, sampai Sungai Citarum tak lagi menjadi kakus raksasa, atau dipersepsikan sekadar “mainan” politik para elite.
Mencari Ikan di Lubuk
Seperti sungai-sungai lainnya di seluruh dunia, zaman baheula Sungai Citarum digunakan untuk pelbagai keperluan. A. Sobana Hardjasaputra, guru besar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, dalam “Citarum dalam Perspektif Sejarah” menuturkan kongsi dagang Belanda di Hindia Timur alias VOC menggunakan Sungai Citarum untuk kegiatan ekonomi dan pertahanan. Menurutnya, pada abad ke-17 VOC membangun pelabuhan dan benteng yang cukup besar di muara Citarum.
Sementara dari kalangan pribumi, tambahnya, pemeliharaan Sungai Citarum tercermin dari tradisi menangkap ikan di sungai yang dilakukan para ningrat khususnya bupati. Pada waktu-waktu tertentu bupati dan para pejabat lainnya mengerahkan rakyat untuk menangkap ikan di lubuk-lubuk sungai, sementara mereka hanya duduk di pesanggrahan.
Tradisi yang merupakan hak istimewa bupati ini menurut Hardjasaputra membuat Sungai Citarum terpelihara karena rakyat tidak berani merusak sungai, sebab akan mengganggu kesenangan para pembesar.
Saat tradisi ini mulai lenyap dan modernisasi semakin menguat, industri tekstil mulai masuk ke sekitar kawasan Sungai Citarum. Menurut laporan Kompas yang dihimpun dalam Ekspedisi Citarum: Sejuta Pesona dan Persoalan (2011), cikal bakal industri tekstil modern di Indonesia bermula dari Majalaya, Kabupaten Bandung.
Dalam laporan tersebut dikisahkan empat orang gadis asal Majalaya dikirim ke Bandung untuk belajar di Textile Inrichting Bandoeng yang didirikan pemerintah kolonial. Mereka belajar menggunakan alat tenun semi-otomatis. Bertahun-tahun kemudian mereka mewariskan keahliannya itu kepada generasi berikutnya sehingga Majalaya berkembang menjadi sentra industri tekstil.
Memasuki 1970-an, para pengusaha tekstil lokal mulai kesulitan bersaing dengan para pemodal besar. Para pemilik kekuatan modal ini berangsur membangun pabrik-pabrik besar di Majalaya dan kawasan Sungai Citarum lainnya. Keberadaan pabrik-pabrik tekstil besar ini kemudian menjadi salah satu penyumbang pencemaran Sungai Citarum yang sampai saat ini belum teratasi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan