Menuju konten utama

Bungkus Indomie Berusia 19 Tahun Viral di Media Sosial

Foto kemasan Indomie berusia 19 tahun menjadi viral media sosial setelah diunggah oleh Fianisa di akun Twitternya.

Bungkus Indomie Berusia 19 Tahun Viral di Media Sosial
Warga membersihkan sampah di kawasan Pantai Depok, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (28/3/18). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/ama/18.

tirto.id - Sebuah foto kemasan plastik mie instan Indomie yang bertuliskan "Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku" menjadi viral di media sosial.

Foto itu diunggah oleh Fianisa Tiara Pradani melalui akun Twitternya @selfeeani, pada Sabtu (6/4/2019).

Banyak warganet yang merespons unggahan tersebut dengan me-retweet dan membagikannya ke berbagai lini masa. Diduga, sampah plastik tersebut telah berusia 19 tahun atau dibuang pada sekitar tahun 2000 lalu.

"Agustus nanti indonesia akan berumur 74 tahun. Namun, pagi ini saya menemukan bungkus indomie yang bertuliskan dirgahayu indonesia ke-55. Saya merenung sejenak karena perbedaannya 19 tahun jadi bungkus ini terombang-ambing di laut sampai hanyut ke bibir pantai selama 19 tahun," demikian cuitnya.

Hingga Senin (8/4/2019), unggahan tersebut telah mendapat sebanyak 72 ribu retweet dan 38 ribu tanda like.

Postingan tersebut membuktikan bahwa plastik adalah salah satu jenis sampah yang paling lama terurai, meski telah dibuang belasan tahun.

Banyaknya produksi sampah, terutama plastik yang dikirim ke lautan Indonesia, secara langsung ikut menjadikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan kotor dan penuh sampah.

Indonesia Negara Penghasil Sampah Nomor 2 di Dunia

Sampah menjadi salah satu masalah paling urgensi di Indonesia. Berdasarkan studi yang dirilis oleh McKinsey and Co. dan Ocean Conservancy, Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia setelah Cina.

Apalagi, dari hasil penelitian, didapatkan fakta bahwa sampah yang ada di kawasan pesisir didominasi oleh plastik dengan prosentase antara 36 hingga 38 persen.

Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, dalam Jurnal Science, di 2015 membeberkan hasil penelitiannya mengenai jumlah sampah plastik yang masuk ke laut.

Dari estimasi 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik produksi 192 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, diperkirakan terdapat antara 4,8-12,7 juta MT masuk ke lautan lepas.

Dari jumlah tersebut, Indonesia menjadi peringkat kedua negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia yaitu sebesar 3,2 juta MT.

Cina menempati urutan pertama sebesar 8,8 juta MT dan disusul oleh Filipina diperingkat ketiga yaitu sebesar 1,9 juta MT.

Keadaan geografis Indonesia yang memiliki garis pantai panjang turut memberikan kontribusi terhadap banyaknya sumbangan sampah ke lautan. Namun tentu yang paling menentukan adalah produksi sampah plastik itu sendiri.

Masyarakat di wilayah pesisir banyak memakai produk-produk kemasan plastik terutama kemasan plastik ukuran kecil.

“Banyak masyarakat yang hidup di wilayah sekitar pantai di Indonesia. Daya beli mereka membuat konsumsi kemasan sachet di wilayah pesisir menjadi banyak,” kata Jenna Jambeck dalam diskusi Break Free from Plastic, di Kantor Walhi, Jakarta, Senin (12/6).

Menurut hasil audit dari Greenpeace Indonesia bersama sejumlah komunitas lokal pada September 2018, ada lebih dari 700 merek sampah plastik yang ditemukan di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali).

“Ada 797 merek dari sampah plastik yang kami temukan dari tiga lokasi, di mana yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27),” kata Muharram Atha Rasyadi, Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia. Ada pun jumlah sampah yang kami kumpulkan dari tiga lokasi tersebut sebanyak 10.594 kemasan.

Dari hasil audit tersebut, Greenpeace Indonesia menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G dan Wings sebagai yang terbanyak dari kegiatan bersih pantai dan audit merek di Pantai Kuk Cituis (Tangerang); Danone, Dettol, Unilever di Pantai Mertasari (Bali); dan Indofood, Unilever, Wings di Pantai Pandansari (Yogyakarta).

“Kami juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Ini mengindikasikan bahwa sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut,” Atha menerangkan. Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus.

Ketergantungan pemakaian kantong plastik telah menjadi isu yang menghangat di berbagai negara dalam beberapa tahun terakhir. Sampah plastik dapat mencemari lingkungan dalam jangka waktu yang amat sangat lama.

Sifat plastik yang tidak mudah terurai membuat sampah jenis ini memang menjadi persoalan serius.

Plastik membutuhkan 500-1.000 tahun untuk benar-benar terurai. Sehingga plastik pertama yang diproduksi manusia, jika kini masih terombang-ambing di lautan, tetap dalam bentuk yang sama seperti saat diproduksi.

Plastik Mengancam Kehidupan Manusia

Sebuah laporan terbaru dari Center for International Environmental Law (CIEL) yang berjudul “Plastic&Health: The Hidden Costs of a Plastic Planet” menelaah bagaimana setiap tahapan rantai pasok dan siklus hidup plastik berdampak terhadap kesehatan manusia.

Ada sejumlah temuan kunci dalam laporan ini, yaitu plastik menimbulkan risiko yang berbeda terhadap kesehatan manusia di setiap tahapan siklus hidupnya.

Bahan kimia berbahaya yang dilepaskan selama ekstraksi dan pembuatan bahan baku, paparan zat kimia tambahan selama penggunaan, dan polusi terhadap lingkungan dan makanan kita dalam bentuk limbah, dapat membahayakan kesehatan.

Selain itu, partikel-partikel mikroplastik, seperti fragmen dan serat, dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak langsung, tertelan, atau terhirup, dan dapat berkontribusi pada berbagai dampak kesehatan karena ukurannya yang sangat kecil dan kemampuan untuk menembus jaringan dan sel, dan sebagai konsekuensi dari beban kompleks bahan kimia yang dapat mereka bawa.

Ketidakpastian dan kesenjangan pengetahuan, termasuk kurangnya transparansi yang ekstrem, menganggap remeh penilaian lengkap dampak kesehatan, dan mencegah konsumen, masyarakat, dan regulator membuat keputusan berdasarkan informasi yang lengkap.