tirto.id - Sungai terpanjang di Pulau Jawa ini punya kenangan manis bagi Suryanto. Setiap sore, bersama teman-temannya di Desa Gawan, ia mandi tanpa takut gatal di Bengawan Solo, yang berjarak 20 meter dari rumahnya. Seiring berjalan tahun, ia mengenali perubahan kondisi sumber air terpenting penduduk Jawa itu.
Sejak 2000, warga desanya semakin jarang turun ke sungai untuk mandi atau mencuci, ujar pria berumur 45 tahun ini. Limbah industri, limbah rumah tangga, dan limbah peternakan, dari bangkai babi dan bangkai ayam, telah mencemari sungai. Kondisi itu katanya dibiarkan tanpa solusi.
"Dulu warga mencari ikan di sini, tapi sekarang sudah enggak ada. Sekarang sudah kotor. Ikan kecil-kecil saja bisa mati karena limbah," kata Suryanto kepada kami pada awal Februari 2020.
Desa Gawan terletak 6 kilometer dari pusat Kota Sragen, bersebelahan dengan Desa Dukuh Nglombo yang dibelah Bengawan Solo. Akses terdekat warga kedua desa itu adalah Jembatan Gawan. Mirisnya, jembatan itu bukan hanya tempat penyeberangan melainkan tempat pembuangan sampah.
Banyak orang dari luar desa membuang sampah plastik, popok, dan kain di atas jembatan saat malam hari, ujar Suryanto. Di antara sampah-sampah itu ada yang tersangkut rangka baja jembatan.
“Orang luar desa, pemilik warung buang sampah plastik ke sini… terkadang sampai jam 2 pagi,” kata dia.
Boleh jadi pernyataan Suryanto benar. Tetapi, bahkan saat siang hari ketika kami berada di sana, seorang warga yang memiliki kios warung terlihat membuang sampah dalam kantong plastik hitam di dekat jembatan. Melongok ke bawah, tumpukan aneka sampah meluber hingga ke bibir sungai Bengawan Solo.
Di lokasi yang sama, pada akhir tahun 2019, ribuan ikan sapu-sapu dan patin mati, diduga tercemar limbah industri dari hulu Bengawan Solo.
Berjarak 21 kilometer dari Jembatan Gawan, terdapat Jembatan Jurug, lokasinya di perbatasan Kota Surakarta dan Kabupaten Karangnyar, yang juga jadi lokasi pembuangan berbagai macam sampah. Seorang ketua rukun warga setempat bernama Djarot Santoso berkata tumpukan sampah itu sudah ada sejak lama. Sampah bertebaran itu dulunya dibatasi tembok seukuran 4x8 meter persegi, tapi penampung itu lama-lama tak cukup, sementara sampah-sampah itu menguarkan bau busuk. Warga desa akhirnya mengusulkan untuk menjebol dinding pembatasnya, ujar Santoso kepada kami.
Ia dan warga setempat berulang kali meminta pemerintah Kabupaten Karanganyar agar mengangkut sampah di pinggir sungai Bengawan. Tetapi, tak ada respons sampai sekarang, katanya. Maka, demi mengurangi bau dan tumpukan sampah, Santoso membakarnya dengan modal minyak seliter setiap hari.
“Kalau saya ingatkan satu-dua orang bisa,” kata dia mengaku keterbatasannya, “tapi kalau semua orang, mana bisa saya?”
Ketika kami bertanya kepada Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Kerusakan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar Suwarna, institusi ini membantah birokrasinya tidak merespons permintaan warga. Ia menjelaskan ada tempat pembuangan sampah resmi, yang otomatis bakal diangkut oleh petugas dinas kebersihan.
“Ada kemungkinan (tempat pembuangan sampah) itu tidak resmi,” kata Suwarna via telepon pada 26 Maret.
Suwarna berkata dinasnya telah menentukan tempat pembuangan sampah resmi di dekat Pasar Palur, sekitar lima menit dari Desa Ngringo, lokasi Jembatan Jurug. Ia menilai “warga suka buang sampah sembarangan, padahal pemerintah daerah sudah menyediakan tempat yang resmi.”
‘Sungai Bengawan Solo bak Tong Sampah’
Bagaimana sungai yang melintasi 15 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini tercemari limbah?
Kita bisa membuat gambaran itu lewat seorang peternak babi dan ayam potong bernama Ponco. Ia tinggal di Desa Ngringo. Usahanya telah berjalan selama 10 tahun.
Di samping rumahnya, ada ternak babi. Di sampingnya, ada tempat pembuangan sampah seluas lapangan futsal dan tempat pemotongan ayam. Bau limbah babi, ayam, dan sampah menjadi satu. Tanpa ada penampungan limbah, usaha rakyat biasa ini mencemari Bengawan Solo.
Ponco mengisahkan kepada kami bahwa ia membersihkan kandang babi dan tempat pemotongan ayam dengan air setiap hari. Setiap jam 11 malam sampai jam 5 pagi ia memotong ayam. Air mengaliri selokan dan berakhir ke Bengawan Solo.
“Sehari bisa potong 500-600 ekor ayam,” kata Ponco.
Ponco mengklaim pemerintah setempat mengizinkan usahanya berada di pinggir Bengawan. Warga melarang usaha ternak di permukiman.
Bagaimana respons pemerintah setempat?
Suwarna berkata kepada kami dinasnya harus mengecek lebih dulu lokasi usaha ternak seperti yang dimiliki Ponco “karena semua izin harus mengikuti rencana detail tata ruang kota.” Bila usaha ternak tanpa pengelolaan limbah, dia berkata, warga melanggar aturan.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta Gatot Sutanto berkata, problem utama pencemaran Bengawan Solo adalah limbah cair industri.
“Ternak babi, sapi, ayam, dan limbah rumah tangga masuk ke Bengawan Solo. Tapi, yang memperparah pabrik-pabrik industri. Kadang-kadang terindikasi (buang limbah) ke badan sungai tanpa proses yang bagus,” kata Sutanto kepada kami, akhir Februari 2020. Ia mengklaim sampah plastik “tidak signifikan” menyumbang pencemaran Bengawan.
Ia mengakui kasus pencemaran Bengawan Solo terjadi setiap tahun, tapi tak bisa bertindak sendirian dengan dalih harus melibatkan instansi antarkabupaten atau antarkota.
Sebaliknya, Suwarna berkata pemerintah Karanganyar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan pencemar lingkungan “sesuai kewenangan” tanpa melibatkan kabupaten lain.
Menurut Humas Perusahaan Daerah Air Minum Kota Solo, Bayu Tunggul, aneka limbah termasuk sampah plastik telah menyumbat pipa dan baling-baling sehingga membuat mesin pompa terbakar.
“Sampah tidak hanya plastik, tapi kasur dan popok. Jadi sungai kayak tong sampah. Pada minggu pertama musim hujan, semua sampah akan kelihatan di Bengawan Solo,” kata Bayu.
Dari reportase lapangan kami sepanjang hulu ke hilir Bengawan Solo, warga beralasan membuang sampah popok ke sungai “untuk menghindari kutukan”. Mitos macam ini diakui oleh Sri Mahanani Budi Utomo, Ketua Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat).
Jika popok-popok itu dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah, kata Budi menirukan alasan warga khususnya orang Solo, “bakal berpengaruh ke kesehatan bayi seperti kulit gatal-gatal”.
Sebagaimana mitos, ia sulit dibuktikan. Tetapi fakta yang ditemukan oleh Komunitas Sibat, popok bayi di antara sampah yang sering mereka jumpai. Lokasinya paling parah di Kali Kebo, cucu anak sungai Bengawan Solo.
Tim riset Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) juga mendapati lebih dari 1.500 popok dibuang di bawah Jembatan Gawan, Sragen.
Budi, yang aktif di Komunitas Sibat dalam lima tahun terakhir, mengamati sampah-sampah plastik menyelimuti Kali Premulung, anak sungai Bengawan Solo. Airnya kotor. Baunya busuk.
“Di atas Kali Premulung,” tambahnya, “ada kampung batik dan pabrik tekstil. Limbahnya dibuang ke kali bewarna hitam, biru, merah pada jam-jam kerja, sekitar pukul 4 atau 5 sore saat masih ada karyawan.”
Tak Layak Jadi Sumber Air Baku PDAM
Rully Wiyati, 52 tahun, adalah satu dari 18.400 pelanggan pasokan air bersih dari Kota Solo, yang terdampak pencemaran Sungai Bengawan pada November 2019. Kejadian ini membuat perusahaan air daerah menghentikan bisnisnya selama dua minggu. Itu untuk pertama kalinya dalam hidup Wiyati tidak bisa mendapatkan air bersih.
Buntutnya, Wiyati harus membeli air bersih lebih mahal untuk kebutuhan minum. Dalam sehari, ia menghabiskan satu galon air. “Sebelumnya, saya jarang-jarang beli air minum,” katanya mengingat kejadian itu. “Kalau isi ulang galon lagi kosong, beli Aqua galon Rp15 ribu. Kadang kalau mau irit, beli yang isi ulang, Rp5 ribu,” ujarnya.
Beruntung, untuk kebutuhan air dapur rumah tangga, ada sedikit bantuan dari mobil tangki Palang Merah Indonesia, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, dan Dinas Pemadam Kebakaran.
Ketika PDAM Solo kembali beroperasi, Wiyati berkata warna air yang mengucur dari keran rumahnya menjadi hitam tanpa bau. Kondisi ini terjadi pula di Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, dan Perumahan Batik Keris, Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Sukoharjo.
Humas PDAM Kota Solo, Bayu Tunggul, berkata pencemaran sungai Bengawan pada akhir tahun berasal dari limbah industri kecil di Sukoharjo, limbah domestik dan limbah produksi batik. Akibatnya, perusahaan air daerah ini menghentikan tiga instalasi pengelolaan airnya. Mereka adalah instalasi Semanggi, instalasi Jurug, dan instalasi Jebres.
“Pencemaran limbah etanol itu dari anak sungai. Di Sukoharjo, ada dua kecamatan yang membuat alkohol tapi tidak ada pengolahan limbahnya. Ada 200 pengolah alkohol yang hasil limbahnya dibuang ke irigasi, masuk ke sungai, dan berakhir di Bengawan Solo,” kata Bayu kepada kami, akhir Februari 2020.
Data hidrologi Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo sepanjang 2018-2019 memperlihatkan kualitas air tercemar dengan skala ringan hingga berat di enam pos pemantauan. Mereka berturut-turut: Pos Nguter (Wonogiri), Pos Bacem (Sukoharjo), Pos Kali Pepe (Surakarta), Pos Jurug (perbatasan Karanganyar-Surakarta),Pos Kudungupit (Sragen), dan Pos Bojonegoro.
Dalam satu tahun kadang terjadi dua bulan atau bahkan satu tahun penuh pencemaran di Bengawan Solo.
Bayu berkata pencemaran Bengawan Solo tahun lalu adalah pencemaran sumber air baku PDAM terparah, ditambah lagi kualitas airnya terus menyusut di bawah ambang normal saat musim kemarau.
“Sungai Bengawan Solo, sebenarnya, sudah tidak layak sebagai sumber air baku. Tapi… tidak ada jalan lain lagi,” kata Bayu.
Darah Ternak Ayam Potong Mengaliri Bengawan Solo
Memasuki musim kemarau seperti sekarang ini, pemerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilintasi Bengawan Solo menghadapi persoalan air yang tercemar industri batik, tekstil, dan alkohol.
Meski demikian, mereka juga harus menghadapi problem baru sumber pencemaran: Bengawan Solo memiliki kandungan endocrine disrupting compound (EDC) atau dikenal hormon endokrin dari limbah ayam.
Prabang Setyono, pakar lingkungan dari Universitas Sebelas Maret Solo, berkata kandungan limbah itu berasal dari ternak ayam potong yang disuntik senyawa hormon agar ayam-ayam itu cepat besar sehingga bisa dipotong dalam umur dua bulan. Normalnya, ayam biasa baru bisa disembelih saat berumur 6 sampai 7 bulan. Darah ayam potong itu otomatis mengalir ke sungai apabila mereka membuang limbah ke Bengawan Solo atau lokasi pemotongannya di tepi sungai.
Prabang berkata darah ayam efektif berkembang dalam larutan. Alhasil, kesehatan kita berpengaruh ketika suplai kebutuhan air kita dipasok oleh PDAM yang air bakunya tercemar kandungan hormon endokrin dari ternak ayam potong.
Memakai metode analisis sampel lewat high performance liquid chromatography, penelitian Prabang dkk mendapati Bengawan Solo tercemar kandungan hormon endokrin sebesar 0,0013 ng.
Seandainya kita mengonsumsi air yang tercemar hormon endokrin terus-menerus, menurut Prabang, ia bisa mempercepat pubertas dan mengganggu reproduksi.
Prabang menilai bagi anak perempuan, dampaknya menstruasi pertama bisa maju ke umur 8 tahun—biasanya umur 12 tahun; sementara bagi anak laki-laki, efeknya jumlah produksi sperma menurun.
“Ini hal baru. Tidak ada dalam kadar baku hormon dalam air. Kami harus hati-hati karena pemerintah saat ini belum siap. Instalasi air limbah di mana pun tidak disiapkan untuk menghilangkan limbah hormon,” ujar Prabang pada awal Februari 2020.
Peraturan pemerintah mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, memang tidak ada aturan mengenai “hal baru” yang diteliti oleh Prabang dkk itu.
Ia dibenarkan oleh Humas PDAM Kota Solo Bayu Tunggul, yang berkata bahwa tidak ada aturan soal kadar hormon dalam pengelolaan kualitas air. Dalam peraturan menteri kesehatan tentang persyaratan kualitas air minum tahun 2010, parameter yang dipakai baru sebatas kandungan kimiawi, fisika, mikrobiologis, dan radioaktif.
Bayu juga mengakui belum memiliki teknologi yang bisa menghentikan kandungan hormon dalam air baku yang dikelola PDAM. Jikapun ada, tambahanya, biaya operasionalnya bertambah. Ujungnya, warga harus bayar lebih mahal demi mendapatkan air bersih. Ongkos pencemaran Bengawan Solo adalah kesehatan publik. Dampaknya, menggerus ekonomi negara.
_______
Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup; dan Resource Watch, platform data terbuka yang memanfaatkan teknologi, data, dan jaringan manusia untuk menghadirkan transparansi.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam