tirto.id - “Kalau sampahnya tidak bisa didaur-ulang, dibakar, ya, Bu?” tanya Prigi Arisandi kepada para ibu di depannya, memakai bahasa Jawa.
Di sekitar mereka, ada tumpukan-tumpukan sampah plastik bekas terbakar.
Prigi, Direktur Eksekutif Ecoton, lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah, sedang mengunjungi salah satu pengepul sampah impor dari PT Megasurya Eratama di Mojokerto, Jawa Timur. Ia bertanya mengapa mereka membeli sampah yang dijual perusahaan kertas dan bubur kertas itu.
“Kalau sampahnya dari luar negeri, sampahnya bisa lebih banyak,” kata seorang bapak yang diwawancarai Prigi.
Praktik mendagangkan limbah plastik dari pabrik ke warga setempat sudah terjadi lama di sana. “Ada 22 industri pabrik kertas di sini,” kata Prigi. “Delapan puluh persen ternyata mereka menggunakan bahan baku berasal dari sampah kertas impor.”
Semua bermula dari kecurigaan Prigi tentang angka peningkatan jumlah impor sampah dalam beberapa tahun terakhir.
Ecoton menemukan, ada volume impor kertas bekas 739 ribu ton per tahun 2018 dibandingkan jumlah impor 546 ribu pada 2017 untuk bahan baku pabrik kertas di Jawa Timur. Dari 12 pabrik kertas yang dipantau Ecoton, sebagian besar menambah lahan penampungan sampah untuk mengantisipasi bahan baku impor kertas bekas.
Temuan itu didokumentasikan dalam film dokumenter Take Back!, yang dirilis pada 12 Juni di YouTube.
Impor Sampah Meningkat, Angka Ekspor Turun
Sekitar 11.741 kilometer dari Surabaya, pada 10 Mei lalu, 187 perwakilan negara berkumpul di Basel, Swiss. Wakil-wakil negara ini membahas pengendalian krisis sampah impor. Konvensi Basel mencoba mengantisipasi kebijakan Cina yang menyetop keran sampah impor jenis plastik tahun lalu. Dampaknya, negara pengekspor sampah punya pilihan lebih sempit.
Dalam The Chinese import ban and its impact on global plastic waste trade, selama kurun 1988-2016, Cina telah menyerap sekitar 45,1 persen sampah plastik dunia.
Beban itu mulai terbagi ke negara lain yang menerima sampah impor, termasuk ke Indonesia. Kendati begitu, sedari awal negara-negara ASEAN memang menjadi negara pendaur-ulang limbah plastik dan mengirimkan kembali 5 persen untuk diekspor ke pasar global.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan UN Comtrade, volume impor sampah Indonesia mencapai titik tertingginya hingga 283 ribu ton pada tahun lalu. Jumlah ini dua kali lipat dari angka impor 124 ribu ton pada 2013.
Data BPS menggambarkan peningkatan impor 141 persen. Pada saat bersamaan, angka ekspor justru menurun 48 persen (sekitar 98.500 ton).
Itu menandakan ada sekitar 184.700 ton sampah plastik di Indonesia, yang tidak diketahui nasibnya, di luar beban timbunan sampah plastik domestik sekitar 9 juta ton.
Dugaan Penyelundupan
Meningkatnya jumlah sampah impor, dugaan Ecoton, karena ada penyelundupan plastik dalam impor kertas bekas tersebut. “Hal ini memungkinkan karena saat produk impor ini dibutuhkan industri, ia diperbolehkan masuk dengan kode green light,” kata Prigi.
Artinya, kontainer-kontainer memuat sampah impor, yang mendarat di berbagai kawasan pelabuhan Indonesia, berhak masuk ke tanah air tanpa melewati pemeriksaan bea cukai.
Lantas, apakah ada kemungkinan sampah-sampah itu diterima karena negara eksportir kehilangaan penadah—setelah Cina menutup diri?
“Saya tidak bilang begitu, tapi itu yang perlu diusut,” kata Prigi.
Dugaan itu dibantah Liana Bratasida, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI). Sebagai importir kertas bekas, kata Liana, anggota Asosiasi tidak menginginkan keberadaan kandungan bahan selain kertas (plastik, logam, tekstil, dll) dalam barang yang diimpor.
“Namun waste paper merupakan barang hasil pengumpulan alias koleksi dari berbagai lokasi (commercial, industry, organizations, dan residential), sehingga keberadaan sampah selain kertas tidak dapat dihindari,” ungkapnya.
Jumlah sampah plastik yang terselip dalam bahan baku kertas yang diimpor perusahaan-perusahaan kertas, menurutnya, justru merugikan.
“Jumlah waste paper jadi berkurang, sehingga produksinya juga berkurang,” kata Liana.
“Informasi perusahaan mendapatkan biaya tambahan tidak benar,” bantahnya. “Justru sebaliknya, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap ‘sampah ikutan’ yang terbawa [impor], yang harus dikelola sesuai peraturan perundang-undangan.”
Namun, Mochamad Septiono dari Bali Fokus, lembaga nirlaba peduli lingkungan, punya pertanyaan bagus: “Kalau memang merugikan, kenapa perusahaan diam-diam saja padahal sudah sering terjadi?”
Maksudnya, perdagangan sampah impor memang awamnya hanya diketahui oleh perusahaan eksportir dan pabrik importir. Maka, kekurangan jumlah bahan baku yang seharusnya bikin perusahaan importir rugi bisa jadi jalan protes, sebelum kasus sampah impor menguak sejak awal 2019.
Bali Fokus punya temuan menarik. Salah satunya, ada perbedaan angka jual-beli sampah impor yang dicatat negara eksportir dan perusahaan importir.
Selama 2014-2018, jumlah sampah impor yang dilaporkan negara eksportir selalu lebih tinggi ketimbang angka yang dilaporkan perusahaan importir. Pada 2014, angkanya mencapai 145.593 ton dari catatan pengekspor. Sementara data sampah impor: 107.423 ton.
Perbedaan lebih bombastis terjadi tahun lalu. Negara eksportir mencatat 402.913 ton sampah diekspor ke Indonesia; sebaliknya, sampah yang tercatat masuk hanya 320.452 ton.
Prigi dari Ecoton berkata penyebab impor sampah karena industri di negara eksportir memang tak mengolahnya.
Ia mencontohkan pengolahan sampah di Amerika Serikat berbiaya 90 dolar AS per 1 bongkah besar sampah plastik. Ssedangkan di Indonesia, harganya hanya 30 dolar AS untuk ukuran yang sama.
Pengolahan sampah di AS, kata dia, mendatangkan masalah lingkungan. Sebab, pengolahan daur ulang sampah memerlukan proses panjang, dari pembersihan, pemotongan, hingga pemanasan sampah plastik menjadi biji-biji kecil (palet).
“Ini negara maju kalau recycle plastik di sana mahal dan bikin pencemaran. Itu perlu dicuci dan dipotong,” jelas Prigi. “Maka, mereka enggak mau. Biaya pengolahan mahal, jadi dikirim ke [salah satunya] Indonesia.”
Masalah lain, ujar Prigi, kebijakan internal Indonesia memperburuknya. Indonesia masih belum memiliki regulasi yang memadai untuk menegaskan sampah atau plastik apa saja yang boleh diimpor, sehingga celah ini dimanfaatkan oleh eksportir.
Belum lagi pemerintah memakai tameng bahwa keputusan membuka keran impor sampah demi industri kertas dan bubur kertas.
“Indonesia butuh kertas banyak. Sekitar 5 juta ton raw material, padahal di dalam negeri sekitar 3 ton saja. Klaimnya, kata pemerintah, sampah kertas impor lebih baik dan bersih,” ucap Prigi.
Secara global, industri pulp Indonesia adalah produsen terbesar kesepuluh, sementara industri kertas menempati peringkat keenam. Produksi kertas Indonesia tercatat 16 juta ton per tahun, dan pulp sebesar 11 juta ton per tahun. Ada 84-88 perusahaan pulp dan kertas di Indonesia; setengahnya anggota APKI. Di antara mereka adalah April Group (PT Riau Andalan Pulp and Paper); dan Sinar Mas Group (PT OKI Pulp and Paper, dll).
Temuan menarik lain adalah jalur pelabuhan tempat sampah impor itu masuk.
Pelabuhan Tanjung Perak di Jawa Timur ternyata bukan jalur masuk 15 persen sampah impor. Sejak 2012 hingga 2018, data temuan Bali Fokus justru menyebut Tanjung Priok di Jakarta menjadi jalur masuk 78 persen sampah impor ke Indonesia.
Itu sebabnya, Septiono dan timnya dari Bali Fokus memutuskan menyelidiki sejumlah perusahaan kertas dan pulp yang dekat dengan Tanjung Priok. Di antaranya PT Pindo Deli 3 di Karawang; PT. Fajar Dwisesa di Bekasi; dan PT. Harvestindo di Tangerang. Temuannya tak jauh berbeda dengan Ecoton.
Paling kasat mata, praktik perdagangan sisa limbah plastik dari pabrik memang terjadi, dijual kepada warga sekitar yang bersedia menjadi penadah.
Salah satu warga yang sesekali ikut menyortir sampah adalah Eden, kakek berusia 60 tahun di Desa Tamansari, Karawang. Dua bulan lalu, sebelum PT Pindo Deli 3 yang berafiliasi dengan Sinar Mas Group dari PT Eka Kertas Nusantara ini menyetop aktivitas menjual sampahnya ke warga, Eden sempat menjadi salah satu penyortir sampah.
Eden mencari botol plastik, aluminium, atau besi-besi yang tercecer dalam timbunan sampah di kampungnya. Lantas dijual ke pengepul. Pekerjaan ini memang tidak rutin, tapi setidaknya sejak lima tahun belakangan dilakukan dia serta warga sekitar.
“Sehari bisa Rp75 ribu sampai Rp100 ribu,” ujar Eden menghitung pendapatan dari pengepul. “Lumayan.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam