Menuju konten utama

Solusi Daur Ulang Sampah Plastik Hanyalah Ilusi

Plastik, yang sebelumnya berguna sebagai pembungkus, seiring waktu justru dapat menelan kehidupan di bumi. Namun, solusi daur ulang justru menawarkan ilusi.

Solusi Daur Ulang Sampah Plastik Hanyalah Ilusi
Ilustrasi daur ulang. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Satu dekade silam, World Economic Forum yang bekerja sama dengan Ellen MacArthur Foundation merilis sebuah laporan yang, semestinya, bisa membuat siapa pun bergidik membacanya. Dalam laporan tersebut disebutkan, pada 2050 mendatang, apabila tren produksi sampah berlebihan terus berlanjut, bobot plastik yang ada di lautan akan melebihi bobot semua ikan yang hidup di sana.

Laporan Ellen MacArthur Foundation diterbitkan pada 31 Desember 2015. Celakanya, setelah sepuluh tahun berlalu, manusia tak juga belajar. Setiap tahunnya, lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi di seluruh dunia. Sebagian besar dari plastik-plastik itu tidak didaur ulang, melainkan berakhir di tempat pembuangan sampah, dibakar begitu saja, dan pada akhirnya menjadi pencemar lingkungan.

Sampah-sampah plastik meresap ke dalam tanah, mencemari air dan udara karena tidak bisa terurai secara alami. Plastik-plastik tersebut hanya akan terpecah menjadi fragmen yang jauh lebih kecil bernama mikroplastik. Mikroplastik bisa bertahan di lingkungan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Artinya, dengan proses dekomposisi yang sangat lambat, plastik takkan pernah benar-benar hilang, justru akan terus merusak lingkungan dalam waktu lama.

Di laut, dampak kerusakan lingkungan akibat plastik sudah begitu terasa. Setiap tahun, jutaan hewan laut mati akibat menelan atau terjerat plastik. Bahkan, organisme kecil yang ada di rantai makanan paling bawah pun terkena dampak mikroplastik. Dari sana, mikroplastik masuk ke dalam sumber makanan manusia, mulai dari makanan-makanan laut hingga garam meja.

Selain merusak kehidupan laut, polusi plastik juga menjadi kontributor utama perubahan iklim. Industri plastik menghasilkan hampir dua miliar metrik ton emisi CO₂ setiap tahunnya, memperparah pemanasan global serta memperburuk kerusakan lingkungan.

Para Pendosa Terbesar

Di muka bumi ini, hampir semua negara berdosa dalam urusan polusi plastik. Akan tetapi, ada sejumlah entitas yang bertanggung jawab lebih besar dari yang lain. Berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan di Science Advances, lima perusahaan—Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Danone, dan Altria—berkontribusi terhadap hampir seperempat sampah plastik bermerek yang ditemukan di lingkungan. Perusahaan-perusahaan tersebut sangat bergantung pada kemasan plastik sekali pakai yang sulit didaur ulang dan sering kali berakhir sebagai polutan.

Adapun negara-negara dengan pendapatan tinggi, seperti Amerika Serikat, menghasilkan sampah plastik terbanyak per kapita, setidaknya hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan negara di urutan kedua. Negara-negara ini juga sering mengirimkan sampah plastik mereka ke negara-negara berkembang, terutama di Asia, yang sistem pengelolaan sampahnya tidak memadai. Pada 2018, larangan impor sampah plastik yang diberlakukan Tiongkok sekaligus mengekspos dosa negara-negara kaya yang melempar beban lingkungannya kepada negara-negara miskin.

Indonesia, menurut penelitian yang sama, termasuk ke dalam salah satu pendosa terbesar. Dalam daftar 10 perusahaan dengan polusi plastik terbesar, ada nama Wings, Mayora Indah, dan Salim Group, yang tak lain berasal dari Indonesia. Ini belum termasuk perusahaan-perusahaan asing macam Coca Cola, Nestlé, Danone, dan British American Tobacco, yang juga beraktivitas secara masif di tanah air.

Diperkirakan, Indonesia menyumbang sekitar 10 persen sampah plastik yang masuk ke laut setiap tahunnya, terbesar kedua setelah Tiongkok. Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi polusi plastik, misalnya menerapkan larangan plastik sekali pakai di beberapa daerah, progresnya belum terlalu terasa. Persoalan terbesarnya, kebanyakan industri masih kelewat bergantung pada kemasan plastik sekali pakai.

Ilustrasi daur ulang

Ilustrasi daur ulang. FOTO/iStockphoto

Daur Ulang Hanyalah Solusi Semu?

Dari konsep tiga R yang disosialisasikan—reduce 'kurangi', reuse 'gunakan kembali', dan recycle 'daur ulang'—recycle menjadi yang paling sering digaungkan. Seakan-akan, dengan mendaur ulang plastik, semua perkara bakal selesai begitu saja. Ini adalah mitos yang telah bertahan selama berdekade-dekade. Padahal, tingkat daur ulang plastik sangatlah rendah. Diperkirakan, dari semua plastik yang diproduksi, hanya sekitar 9 persen berhasil didaur ulang.

Ada beberapa alasan mengapa daur ulang terbukti tidak efektif sebagai solusi utama masalah plastik. Pertama, sebagian besar plastik tidak dapat didaur ulang dengan mudah. Plastik dibuat dari berbagai resin dan setiap jenis memiliki sifat yang berbeda, yang membuatnya lebih atau kurang cocok untuk didaur ulang.

Tujuh jenis plastik—yang ditandai dengan kode identifikasi resin mereka—punya tingkat kemudahan daur ulang yang bervariasi. Plastik seperti PET (polietilena tereftalat) dan HDPE (polietilena densitas tinggi) relatif mudah didaur ulang. Namun, jenis lain, seperti PVC (polivinil klorida), LDPE (polietilena densitas rendah), dan polistirena, jauh lebih sulit diproses. Banyak di antaranya yang terkontaminasi oleh sisa makanan atau hanya sebagian dari kemasan multi-material sehingga proses daur ulangnya menjadi makin kompleks.

Masalah tidak selesai di sini. Bahkan kalaupun plastik dapat didaur ulang, ada pertimbangan ekonomi yang menghalanginya. Plastik virgin, yang terbuat dari bahan bakar fosil, sering kali lebih murah untuk diproduksi dibandingkan dengan plastik daur ulang.

Akibatnya, banyak program daur ulang menghadapi tantangan untuk menciptakan sistem lingkaran tertutup ketika plastik terus digunakan kembali. Dalam banyak kasus, plastik justru mengalami penurunan kualitas jika didaur ulang. Setelah itu, ia pun tidak akan bisa didaur ulang lagi untuk kesekian kali.

Biasanya, ketika plastik sudah tidak lagi bisa didaur ulang, ada dua keluaran yang tercipta, yaitu tertimbun di tempat pembuangan sampah atau dibakar. Keduanya sama-sama menghasilkan efek merugikan. Pembakaran plastik akan melepaskan bahan kimia beracun ke udara yang menyebabkan polusi udara serta memperparah efek rumah kaca. Kemudian, plastik yang tertimbun di tempat pembuangan sampah akan terurai menjadi mikroplastik, yang muskil dihilangkan dari ekosistem.

Lantas, dengan ketidakefektifan solusi daur ulang, mengapa ia masih menjadi solusi yang populer ketika kita bicara soal polusi plastik? Salah satu jawabannya adalah karena peran industri bahan bakar fosil.

Seiring dengan ambisi transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, industri minyak dan gas mulai beralih ke plastik sebagai pasar baru. Produksi plastik sangat bergantung pada bahan bakar fosil: industri minyak bertindak sebagai produsen sekaligus penyebab polusi plastik. Berdasarkan laporan Time, perusahaan-perusahaan ini telah berinvestasi besar-besaran dalam pembangunan fasilitas produksi plastik dan menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan daur ulang sebagai solusi untuk masalah plastik.

Narasi tersebut berusaha mengalihkan perhatian dari masalah utama, yaitu produksi plastik yang berlebihan, dan justru melempar tanggung jawab kepada konsumen. Dengan mempromosikan daur ulang, industri minyak seakan cuci tangan dari tanggung jawabnya. Mereka juga tak lagi disorot atas peran mereka dalam polusi plastik sekaligus terus mengeruk keuntungan dari pasar plastik yang terus berkembang.

Ilustrasi daur ulang

Ilustrasi daur ulang. FOTO/iStockphoto

Bagaimana Langkah yang Tepat?

Untuk mengatasi krisis polusi plastik, pendekatan yang lebih komprehensif mutlak dibutuhkan. Mengurangi produksi plastik, terutama plastik sekali pakai, adalah langkah pertama yang paling krusial. Pemerintah berperan penting dalam upaya membatasi produksi plastik melalui kebijakan-kebijakannya. Mereka sangat bisa menerbitkan regulasi pembatasan produksi dan penggunaan kemasan plastik, lalu mempromosikan alternatif yang lebih berkelanjutan.

Uni Eropa telah memberikan contoh yang kuat dengan melarang barang plastik sekali pakai, seperti sedotan, peralatan makan, dan piring. Negara-negara lain, termasuk Kenya dan Rwanda, telah menerapkan larangan kantong plastik untuk mengurangi dampak lingkungan dari sampah plastik.

Solusi penting lainnya adalah mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab atas sampah plastik yang mereka hasilkan. Kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) mewajibkan perusahaan mengambil tanggung jawab penuh atas seluruh siklus hidup produknya, termasuk sampah yang dihasilkan.

Undang-Undang Pengemasan Jerman, yang mengaitkan antara biaya dan kemampuan kemasan untuk didaur ulang, merupakan salah satu contoh peran besar EPR dalam mendorong perusahaan untuk meningkatkan desain produk mereka dan mengurangi sampah. Kebijakan ini telah menggerakkan perusahaan untuk mengadopsi solusi penggunaan kemasan yang lebih berkelanjutan, membantu mengurangi jumlah sampah plastik yang mencemari lingkungan.

Inovasi juga berperan penting dalam mengatasi krisis plastik. Penelitian tentang bahan alternatif, seperti plastik yang dapat terurai secara hayati dan kemasan berbasis tanaman, menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap plastik berbasis minyak bumi.

Selain itu, kemajuan teknologi dalam daur ulang kimia, yang mengubah plastik menjadi komponen aslinya untuk digunakan kembali, berpotensi meningkatkan efektivitas daur ulang dan mengurangi sampah plastik. Namun, inovasi seperti ini hanya akan efektif jika pemerintah dan perusahaan berkomitmen untuk berinvestasi dalam teknologi ini dan memperluas penggunaannya.

Jalan keluar lainnya adalah meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah di negara-negara berkembang. Organisasi seperti Plastics For Change telah bermitra dengan komunitas lokal di berbagai negara untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Upaya-upaya ini tidak hanya mengurangi sampah plastik, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi bagi komunitas yang membutuhkan.

Solusi semu daur ulang plastik, yang dipromosikan oleh industri minyak dan produsen kemasan, justru membuat krisis polusi plastik terus berkembang dan menciptakan efek bola liar. Daur ulang bukannya tidak berguna. Akan tetapi, itu bukanlah solusi utama dari masalah yang ada.

Untuk mengatasi krisis plastik, langkah pertama adalah reduce atau mengurangi produksi dan konsumsi plastik secara masif. Untuk itu, pemerintah mesti menerapkan regulasi yang tegas. Akuntabilitas pelaku industri juga harus senantiasa dituntut karena merekalah biang keladi utama dari polusi yang mengerikan ini.

Secara sporadis, kita memang bisa secara aktif mengurangi penggunaan plastik. Namun, tanpa upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif, semuanya akan sia-sia.

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin