tirto.id - Sejak Oktober 2017, warga Sukoharjo di sekitar PT Rayon Utama Makmur, pabrik yang memproduksi serat rayon untuk kepentingan industri tekstil dan garmen, mencium bau busuk yang bikin mereka mual, pusing, dan semaput. Tak jarang sebagian warga, termasuk anak-anak kecil yang tubuhnya masih rentan, harus memakai masker bahkan selagi kegiatan belajar di sekolah.
Warga terdampak limbah pabrik PT RUM berasal dari empat desa di Kecamatan Nguter, sekitar satu jam naik mobil dari rumah Presiden Joko Widodo di Surakarta, Jawa Tengah. PT RUM terhubung dengan keluarga pemilik Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang didirikan oleh Lukminto, yang memasok bahan baku merek-merek fesyen terkenal dan membuat seragam militer untuk personel Tentara Nasional Indonesia dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Warga sesungguhnya bisa bernapas lega sejak demonstrasi berujung ricuh di depan pabrik PT RUM pada 22 Februari 2018. Sehari kemudian, mungkin karena tuntutan terus-menerus yang didesak warga Desa Celep, Gupit, Pengkol, dan Plesan—yang terhimpun dalam satu wadah solidaritas—Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya mengeluarkan surat keputusan menyetop aktivitas pabrik.
Isi keputusan itu meminta PT RUM, yang mengoperasikan baru sekitar 25 persen produksi kapas sintetis sejak 22 November 2017, untuk menangani persoalan limbah yang menyulut demonstrasi dan kemarahan warga. Bupati Wardoyo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—yang pernah dibui gara-gara kasus judi pada 2005—memberi tenggat selama 18 bulan bagi PT RUM memperbaiki pengolahan limbahnya.
PT RUM misalnya diminta memasang sistem pemantauan emisi limbah (continuous emission monitoring) pada cerobong asap, serta merampungkan pemasangan pipa pembuang limbah alias instalasi pengolahan air limbah.
Demonstrasi itu memicu penahanan terhadap lima warga, termasuk Mohammad Hisbun Payu yang ditangkap di Jakarta pada awal Maret 2018 sewaktu ia hendak mengadukan kasus pencemaran limbah PT RUM kepada Komnas HAM. Iss, demikian Hisbun disapa oleh rekan-rekannya, "dipaksa masuk ke mobil polisi" tanpa diberi tahu surat penangkapan pada malam hari saat pergi ke minimarket lalu tangannya diborgol. Ia dibawa oleh para polisi ke sebuah rumah kontrakan, tempat jaringan solidaritas mengawal kasus ini, untuk mengemasi pakaiannya lalu mobil polisi meluncur ke Polda Jawa Tengah di Semarang.
Esok harinya, setiba di Polda Jateng, sudah ada empat rekannya, yakni Brillian Yosef Nauval, Kelvin Ferdiansyah Subekti, Sukemi Edi Susanto, dan Sutarno. Kelimanya dituduh melakukan perusakan dan divonis dua tahun penjara pada Agustus lalu.
Pada pertengahan Oktober lalu, kasus kelima warga yang didampingi oleh advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang ini dinaikkan vonisnya menjadi empat tahun dalam sidang banding oleh Mahkamah Agung di Jakarta. Dua warga lain, yakni Bambang Hesti Wahyudi dan Danang Tri Widodo, dijerat dengan pasal karet menyebarkan kebencian berbasis rasisme dan divonis tiga tahun penjara.
'Baunya Seperti Septic Tank'
Kami mendatangi desa-desa yang terpapar bau limbah PT RUM pada awal September lalu. Seorang kepala desa menggambarkan bau dari limbah pabrik seperti bau tahi. "Kayak septic tank," ujarnya. "Kadang bau, kadang hilang .... seperti itulah."
Meski bupati merilis surat keputusan gara-gara aksi demo tersebut, nyatanya pada 21 September lalu PT RUM melakukan uji coba mesin pengolahan limbah. Bau tinja kembali dihirup oleh warga desa sekitar.
“Bau tetap menyengat sampai saat ini. Bahkan ada laporan warga [bahwa] baunya sampai ke Kota Sukoharjo,” ujar Sutarno Ari Suwarno, pembina Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sukoharjo, kepada Tirto pada 25 September lalu. Jarak lokasi PT RUM dan alun-alun Kota Sukoharjo sekitar 10 km atau 13 menit dengan mobil.
“Ikan-ikan mati,” tambah Sutarno.
Sutarno mengirim bukti foto-foto mengenai dampak uji coba alat pengolah limbah PT RUM. Pada secarik surat yang ia kirim kepada Bupati Wardoyo tertulis lebih dari enam dukuh terkena limbah udara dan cair. Banyak ikan mati di Kali Gupit hingga sungai Bengawan Solo yang jadi jalur pipa pembuangan limbah cair PT RUM.
“Pipa sudah dipasang, mungkin banyak kebocoran,” ujar Sutarno.
Tak ingin masalah ini berlarut-larut, pada 24 September, Sutarno dan rekannya mengirimi surat permohonan kepada Bupati Wardoyo agar PT RUM menghentikan uji coba mesin pengolahan limbah. Isinya, warga keberatan atas bau limbah; warga meminta PT RUM segera menghentikan uji coba dalam waktu dua hari; dan warga mendesak bupati bersikap tegas.
Bupati Wardoyo merespons pada 28 September dalam sebuah surat kepada PT RUM untuk menghentikan uji coba produksi karena limbah udara. Wardoyo juga minta pabrik memperbaiki instalasi pengolahan limbah cair.
“Apabila perbaikan telah selesai, [pabrik] siap melakukan uji coba kembali,” tulis Wardoyo.
Warga Tak Tahu soal Dampak Bau Limbah Pabrik PT RUM
Mengapa sebuah pabrik seluas 65 hektare atau sekitar 90 kali luas lapangan sepakbola, yang berdiri di dekat permukiman di antara sawah dan lahan rimbun pepohonan, gagal menaati prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)? Mengapa pabrik yang terhubung dengan keluarga pemilik Sritex ini, yang pembangunannya dimulai pada 2012 dan pernah didatangi Saleh Husin pada 2015 (menteri perindustrian saat itu), tidak becus menangani sistem pengolahan limbah udara dan cair?
Sebagaimana tertulis dalam dokumen AMDAL PT RUM, Desa Plesan, Gupit, dan Pengkol termasuk dalam areal ring satu, lokasi terdampak kehadiran pabrik dan jalur pipa pembuangan limbah. Pabrik berada di Desa Plesan dan Gupit, sementara Desa Pengkol dilintasi jalur pipa asupan air (water intake) yang terhubung ke sungai Bengawan Solo sebagai pendukung proses produksi PT RUM.
Saat kami menemui sejumlah warga di sekitar pabrik pada awal September lalu, mereka umumnya tak mengetahui bakal ada pendirian pabrik serat rayon, kapas sintetis untuk bahan baku benang dalam industri garmen dan tekstil. Kalaupun tahu, seorang warga berkata ia sebatas tahu ada pembangunan pabrik garmen di Desa Plesan yang ia dengar dari mulut ke mulut. Kabar ini tentu keliru karena industri garmen notabene mengindikasikan sebuah manufaktur pakaian jadi. Kabar lain, saat pembelian lahan, warga bahkan mendengar desas-desus bahwa di sekitar desanya bakal ada perkebunan kapas.
Sutarno Ari Suwarno berkata sedari awal ia tak mendengar bakal ada pendirian pabrik serat rayon. Barulah setelah pabrik resmi beroperasi pada November 2017, warga mengetahui wujud produksi pabrik PT RUM.
Meski warga menuduh tak ada sosialisasi dari PT RUM, hal ini dibantah oleh Hario Ngadiyono, manajer umum perusahaan. “Itu, kan, kata orang yang tidak tahu,” ujarnya kepada Tirto pada 10 September lalu.
Menurut Hario, sejak awal pendirian pabrik, sosialisasi telah digelar di balai desa. Ia mengklaim mendatangi dusun-dusun untuk mensosialisasikan pendirian pabrik PT RUM; sebuah syarat wajib bagi perusahaan manapun untuk mendapatkan persetujuan sukarela dari warga sekitar sehingga warga berhak mendapatkan informasi selengkap mungkin dari perusahaan.
“Jadi kita punya data-data. Daftar hadir, semua lengkap.”
Agus Suprapto, kepala bidang tata lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, mengatakan sosialisasi pendirian pabrik sudah dilakukan pada 2010. Agus mengklaim PT RUM bahkan memasang papan pengumuman di lokasi proyek dan membuat iklan di koran-koran lokal Sukoharjo soal rencana membangun pabrik serat rayon.
“Itu semua sudah dilakukan PT RUM dan karena itu izin lingkungannya dikeluarkan,” ujar Agus kepada Tirto pada 7 September lalu.
Klaim-klaim PT RUM melakukan sosialisasi, meski dilakukan dan tercatat dalam lampiran dokumen AMDAL, sangat mungkin cacat. Warga yang menghadiri apa yang disebut "sosialisasi" itu tidak mewakili desa-desa yang berpotensi terkena dampak langsung kehadiran pabrik.
Dokumen yang terbit pada 2016 itu mencatat hanya 49 warga yang menghadiri sosialisasi dan disebut "menyetujui" pembangunan pabrik. Alasannya, selain memajukan perekonomian, pabrik bakal menyerap tenaga kerja. Hal itulah yang dipakai sebagai dalih dan pembenaran bahwa warga "menyetujui" pendirian pabrik.
Dari 49 orang yang disebut "mewakili" warga dari tiga desa, salah satunya bernama Sugeng, pegawai PT RUM. Sebagian besar lain adalah personel dari Satuan Polisi Pamong Praja dan Badan Permusyawaratan Desa.
Sugeng adalah General Affair PT RUM. Sebelumnya Sugeng adalah Kepala Desa Plesan. Ia bahkan menemani Hario Ngadiyono ketika kami mewawancara manajer umum PT RUM tersebut.
Tomo, seorang warga Desa Pengkol yang melaporkan kasus pencemaran limbah PT RUM kepada Polres Sukoharjo, berkata kepada kami bahwa ia sama sekali tak mengetahui ada sosialisasi oleh PT RUM di balai desa dekat rumahnya. Bahkan dari daftar hadir di Desa Pengkol, ia berujar hanya mengenal 13 warga.
“Warganya sedikit sekali,” ujarnya.
Agus Suprapto dari Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo juga menjadi salah satu orang yang menandatangani daftar hadir dalam lampiran sosialisasi PT RUM. Ia berkata kehadirannya saat itu saat dokumen AMDAL perubahan PT RUM disosialisasikan pada 22 Juli 2014.
Menurut Agus, sosialisasi di Desa Pengkol hanya menjelaskan pembangunan pipa pengolahan limbah cair melintasi desa tersebut. Sementara sosialisasi pendirian pabrik sudah disosialisasikan kepada warga pada AMDAL sebelumnya yang melingkupi Desa Plesan dan Gupit, menurut Agus.
“Pada awal pendirian pabrik memang semuanya optimis," klaim Agus. Ia berkata dampak lingkungan merupakan "prediksi" sehingga institusinya tidak mengetahui bahwa buntut operasional pabrik justru menimbulkan bau dan "gejolak di tengah-tengah warga."
“Terus terang, dalam AMDAL, yang belum muncul itu dampak bau. Hanya dijelaskan penurunan kualitas udara,” ujar Agus.
Sugiyo, Kepala Desa Pengkol yang ikut meneken daftar presensi sosialisasi, berkata rapat pada 2014 membahas soal jalur pipa limbah yang melintasi Desa Pengkol. Ia tak mengetahui pabrik serat rayon PT RUM bakal mengeluarkan bau.
Hario Ngadiyono membantah tudingan warga dan menurutnya sosialisasi tak harus mengundang keseluruhan warga, tapi cukup perangkat desa dan perwakilan masyarakat. “Tidak semua orang harus tahu juga. Kami melalui pemerintah setempat, bupati, Muspika, kepala desa-kepala desa,” ujar Hario.
Muspika yang disebut Hario adalah akronim untuk Musyawarah Pimpinan Kecamatan, dan bila ditingkat kabupaten bernama Muspida. Kedua forum ini sering dijadikan alat legitimasi perusahaan ketika perkara hukum warga negara direduksi lewat cara penyelesaian “musyawarah” sebelum menempuh jalur pengadilan.
Hario mengklaim sosialisasi PT RUM bakal memproduksi serat rayon sudah diinformasikan sedari awal kepada warga, termasuk dampak lingkungannya. “Dari awal sudah sebut pabrik [serat] rayon. Sebelum berdiri harus punya nama dulu, harus jelas.”
Bau Limbah Masih Berlanjut, Warga Direpresi
Meski pada 28 September lalu sudah ditegur oleh Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya, menurut dokumen tertulis yang kami peroleh dari warga, PT RUM masih melakukan uji coba produksi sampai 10 Oktober lalu. Warga memberi kesaksian bahwa mereka masih mencium "limbah udara yang menyengat". Padahal Surat Keputusan Bupati Wardoyo menjelaskan PT RUM dilarang memproduksi sebelum menepati membereskan pencemaran lingkungan.
Warga juga menyaksikan ada pipa bocor dan tidak ditanam di bawah tanah. "Ikan-ikan mati di sepanjang pembuangan limbah cair. Warga di sekitar terpaksa mengungsi," tulis dokumen itu, disertai foto-foto kaum ibu dari desa-desa sekitar pabrik—sebagian mengenakan masker—yang melapor kasus pencemaran kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo.
Teguran bupati direspons PT RUM untuk "meminta toleransi" masa uji coba produksi selama 5 hari ke depan. Pada 8 Oktober, tenggat "toleransi" yang diajukan PT RUM, kaum ibu dan perempuan dari desa sekitar melakukan aksi protes di depan PT RUM. Aksi kaum ibu justru dibubarkan oleh aparat keamanan yang berjaga-jaga di depan pabrik.
Sikap represif aparat keamanan ini juga terjadi pada awal Oktober ketika warga memprotes bau dan harus mengungsi, termasuk ke depan halaman PT RUM. Saat ada truk memuat bahan baku memasuki pabrik, warga mengadang karena berpegang pada surat teguran bupati. Terjadi cekcok. Beberapa jam kemudian, personel polisi dari Polres Sukoharjo dikerahkan untuk menanyai identitas pendemo, menandai warga yang bukan berasal dari Kecamatan Nguter "diangkut ke dalam truk polisi."
Delapan warga dipaksa masuk ke dalam truk polisi. Seorang warga diseret paksa, seorang lain mengaku dicekik lehernya oleh personel Polres Sukoharjo.
Mazaya Latifasari, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, saat kejadian itu hadir di tengah warga, menanyakan surat tugas dan surat-surat lain soal tindakan aparat keamanan. Tapi seorang polisi membentaknya dan berkata mereka bertindak macam itu tanpa perlu surat tugas.
Maya, nama sapaan oleh rekan-rekannya, menggambarkan perlakuan intimidasi oleh aparat keamanan sebagai "kesenjangan perlakuan hukum" dalam kasus pencemaran limbah PT RUM. Sebaliknya, "laporan warga tidak digubris oleh Polres Sukoharjo, tidak diusut," katanya kepada Tirto pada 25 Oktober kemarin.
"Aparat intelijen, Babinsa berkeliaran, keliling-keliling kampung dengan alasan keamanan, mendatangi rumah. Mereka curiga terhadap orang luar. Ada mahasiswa yang bersolidaritas, rumahnya didatangi. Tentara jaga PT RUM. Mau aksi, didatangi. Mau lapor, didatangi," tambahnya.
"Situasi sekarang masih bau. Prihatinnya ada yang punya bayi. Bau septic tank, pete, kopi dicampur. Bau sekali," ujar Maya.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam