tirto.id - Pada 4 Maret 2018, pukul 23.15 WIB, sekitar sepuluh orang berbadan tegap menyergap Muhammad Hisbun Payu (Is) di depan pintu masuk Alfamidi, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Berdasarkan pengakuan Is, polisi memaksanya masuk ke dalam mobil tanpa menunjukkan surat penangkapan. Pukul 23.51 WIB, lima orang mengaku polisi datang ke kost bersama Is untuk mengambil barang-barang miliknya.
Rekan-rekan Is—para mahasiswa yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)—menyatakan ingin mendampingi Is yang akan dibawa ke Polda Jateng. Namun permintaan itu ditolak polisi.
Ketiadaan surat penangkapan membuat khalayak ramai di media sosial membicarakan kasus itu sebagai penculikan.
Is memang datang ke Jakarta untuk melaporkan kasus pencemaran PT RUM kepada Komnas HAM. Ia ditangkap atas tuduhan perusakan fasilitas perusahaan dalam aksi protes di depan pabrik PT Rayon Utama Makmur (PT RUM) pada 23 Februari 2018, di Desa Plesan, Nguter, Sukoharjo. Saat itu, massa yang tergabung dalam Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR) dan Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) melakukan aksi blokade pabrik dan membakar ban.
Aksi blokade tersebut merupakan respons warga terhadap Bupati Sukoharjo yang tidak mencabut izin operasi PT RUM.
Sebulan sebelumnya, pada 19 Januari 2018 telah terjadi kesepakatan antara warga yang terdampak, pimpinan PT RUM dan Forkopimda Kab. Sukoharjo untuk menghentikan sementara operasi PT RUM selama sebulan. Jika bau busuk masih tercium, maka warga akan menuntut pencabutan izin PT RUM.
Situasi bertambah panas setelah pasukan gabungan TNI dan Polri melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap massa aksi. Pos satpam dan prasasti pendirian PT RUM dibakar. Tidak jelas siapa yang menyulut api. Tak seorang pun menyatakan bertanggung jawab.
Pengerahan TNI dalam pengamanan pabrik PT RUM menimbulkan pertanyaan lain. Sesuai UU 34/2004 tentang TNI, penggunaan kekuatan TNI dilakukan untuk menghadapi ancaman militer bersenjata, di bawah perintah presiden dan harus disetujui oleh DPR. Namun dalam kasus ini, TNI ternyata bisa dikerahkan untuk mengamankan sebuah pabrik berbau busuk.
PT RUM adalah perusahaan pemasok serat rayon untuk pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex), sebuah perusahaan tekstil yang menghasilkan berbagai macam produk tekstil, mulai dari seragam sampai rompi anti-peluru untuk kebutuhan militer.
Pakaian militer buatan Sritex dipasok ke TNI dan angkatan bersenjata di 30 negara, termasuk Amerika Serikat dan NATO. Adapun Divisi Fashion Sritex berproduksi untuk bisnis-bisnis mode internasional—beberapa di antaranya adalah Zara, Guess, Uniqlo, H&M dan Timberland. Secara keseluruhan, Sritex mengekspor pakaian hingga ke 50 negeri.
Setelah kisruh tuntutan penutupan PT RUM mencuat, pada 24 Februari 2018 Sekretaris Perusahaan PT Sritex, Tbk, Welly Salam mengklarifikasi ke media bahwa PT RUM bukan anak perusahaan Sritex Group. Namun kenyataannya, Sritex dan PT RUM dimiliki oleh pengusaha yang sama, yakni keluarga Lukminto.
Sritex yang berdiri sejak 1966 ini memang pemain lama dalam industri tekstil di Indonesia dan berupaya menguasai industri tekstil hingga ke hulu, yakni produksi bahan baku. Inilah alasan di balik pendirian PT RUM pada 2012.
Pada awal pendirian, PT RUM ditargetkan memproduksi 80 ribu serat rayon per tahun. Pabrik kedua di lokasi yang sama berkapasitas produksi 120 ton serat rayon per tahun. Sritex Grup juga telah mempersiapkan lahan hutan tanaman industri seluas 100 ribu hektar di Kalimantan untuk menghasilkan serat rayon.
Dengan pendirian pabrik bahan baku, keuntungan Sritex dipastikan akan meningkat karena bahan baku yang lebih murah membuat mereka tak perlu lagi mengimpor bahan baku dari luar negeri. Peningkatan penjualan karena produksi bertambah mulai terlihat pada pertengahan tahun 2017. Pada Oktober 2017, Sritex merilis laporan peningkatan profit sebesar 26 persen, yakni dari 26,7 juta dollar AS pada semester pertama 2016 menjadi 33,6 juta dollar AS atau sekitar Rp 454 miliar pada semester satu tahun 2017.
Mendengar Sritex, saya tidak bisa tidak teringat penyair Wiji Thukul. Dalam aksi pemogokan ribuan buruh Sritex pada 1995, mata kanan Thukul dipopor senapan tentara hingga nyaris buta.
Di saat Sritex meraup profit raksasa, warga yang tinggal di sekitar PT RUM terpapar bau busuk limbah pabrik sejak Oktober 2017. Bau busuk yang tak main-main, terbentang sejauh 20 km hingga ke Wonogiri. Bau limbah yang seperti tinja itu menimbulkan sesak nafas, mual, pusing hingga muntah-muntah.
Dalam pemeriksaan kesehatan di MIM Kedungwinong pada 14 Februari 2018, ditemukan fakta bahwa 152 warga dari enam desa di Kecamatan Nguter mengalami gangguan kesehatan berupa ISPA, Dispepsia dan Dematitis.
Tak perlu jauh-jauh ke Sukoharjo untuk tahu betapa busuknya pabrik PT RUM. Ketik saja “PT Rayon Utama Makmur” di mesin pencari Google, Anda akan menemukan suara-suara yang mengeluhkan bau busuk dari pabrik yang mendapat skor 2,5 dari 5 bintang di Google Review.
Kemarahan warga memuncak karena Bupati Sukorharjo tidak mampu bertindak tegas, sedangkan sudah banyak warga yang menjadi korban. Alih-alih dihukum karena kerusakan yang telah ditimbulkan, PT RUM hanya ditutup sementara. Perusahaan ini sebatas diminta bertanggung jawab secara perdata: menanggung biaya pengobatan korban dan memberikan bantuan untuk masyarakat sekitar.
Sebaliknya, warga yang protes malah dijerat dengan pasal-pasal pidana. Tiga aktivis lingkungan telah ditangkap polisi dengan tuduhan merusak fasilitas PT RUM. Selain Is, Kelvin ferdiansyah Subekti (20 tahun) dan Sutarno (40 tahun) juga ditangkap. Pada dini hari 14 Maret 2018, dua orang lagi ditangkap.
Singkatnya, tindakan merusak fasilitas PT RUM dihukum pidana, sementara pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan warga adalah perkara perdata yang cukup diselesaikan dengan santunan dan pengobatan.
Rupanya, pos satpam dan prasasti pendirian PT RUM lebih bernilai daripada keselamatan ribuan orang yang menghirup racun PT RUM.
Kriminalisasi aktivis penolak PT RUM juga telah mengabaikan UU khusus perlindungan lingkungan hidup. Dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 66 dinyatakan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Tapi kenyataan di lapangan bicara lain. UU PPLH sudah lama tak bergigi. Menurut catatan Walhi, kriminalisasi pejuang lingkungan hidup meningkat dari 147 kasus di tahun 2013 ke 227 kasus pada 2014.
Dalam kasus PT RUM, kapitalisme sekali lagi membuktikan dirinya sebagai sistem ekonomi yang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan manusia dan kerusakan alam.
Kain Sritex dalam merek Zara, Uniqlo, Guess ataupun seragam militer dihasilkan dari proses panjang yang tidak adil. Di balik gagahnya para serdadu dan kemewahan dunia fashion, ada bumi yang tercemar, ribuan napas yang sesak dan aktivis-aktivis yang diburu.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.