tirto.id - Danang Tri Widodo,35 tahun, kebingungan. Kepalanya pening. Pikirannya ke mana-mana. Duduk tersudut di kamar nomor 8, Blok J, Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah, tapi pikirannya mengawang ke istri, ibu, dan kedua anaknya di rumah. Danang ditangkap pada 14 Maret 2018 dan resmi menjadi salah satu penghuni Blok J pada 7 Agustus 2018.
Danang adalah satu dari tujuh aktivis yang dikriminalisasi karena protes akan limbah air dan udara PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia divonis dua tahun penjara karena dianggap melakukan provokasi dan ujaran kebencian di media sosial.
Ia kebingungan karena keadaan ekonomi keluarganya di rumah pasti goyang pasca dirinya masuk bui. Pemasukan keluarga tak mungkin hanya mengandalkan gaji istri sebagai guru dan omzet warung kecil di rumah. Danang berpikiran bahwa ia harus mencari pemasukan tambahan untuk keluarga atau minimal tak memberatkan keuangan keluarga selama di dalam bui.
Setelah mencari info ke sana-sini, Danang akhirnya mendapatkan cara mencari uang tambahan, yakni menjadi korve—atau bahasa kasarnya: pekerja rodi. Korve ini ada banyak jenisnya, ada korve perorangan, korve blok, dan korve lapas. Informasi itu ia dapat dari teman sekamarnya yang kebetulan seorang korve lapas.
Dari kawannya itu, Danang mendapat pekerjaan pertamanya menjadi korve blok untuk Blok J—blok khusus koruptor, narkotika, dan kriminal khusus. Kerjaannya saban pagi hari adalah menyirami tanaman di atap lapas, dengan upah Rp300.000 per bulan. Danang bertahan dengan pekerjaan itu selama dua bulan.
Upah itu pun masih kurang. Buat iuran blok saja ia harus menyiapkan Rp350.000. Belum lagi untuk keperluan lainnya di dalam lapas. Ia harus putar otak cari kerjaan sampingan.
Tak lama berselang, masuk seorang narapidana baru ke Blok J. Ia adalah koruptor eks pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Semarang. Danang mendekati dan melobi untuk bisa mencuci pakaiannya. Kesepakatan diterima, resmilah Danang menjadi seorang korve-nya sang koruptor itu dengan upah Rp300.000 per bulan.
Informasi bahwa Danang menerima jasa cuci baju tersebar luas. Beberapa napi koruptor juga tertarik. Dalam sekejap Danang memiliki empat klien cuci baju. Ia mendapat upah sebesar Rp300.000 per orang—bahkan ada yang memberi lebih. Jika ditotal, pendapatan Danang per bulan bisa menyentuh Rp1.400.000, mendekati UMK Kabupaten Sukoharjo saat itu, Rp1.648.000.
Setelah mendapat empat klien itu, pekerjaan sebagai korve blok pun dilepas.
“Dengan pendapatan segitu, saya bisa kirim uang lebih ke rumah. Saya titipkan kepada orang-orang yang besuk,” kata Danang, saat saya temui 27 Februari silam.
Kesuksesan Danang itu sampai di telinga Sukemi Edi Susanto, saat itu 36 tahun, aktivis warga lainnya dari Sukoharjo yang ikut ditangkap. Sukemi lantas meminta Danang untuk dicarikannya pekerjaan.
Sukemi lalu membuka jasa cuci pakaian seperti Danang. Kliennya terdiri dari beberapa koruptor eks lurah dan kepala desa. Dari pekerjaan itu Sukemi mendapat uang dan mengirim sedikit ke rumah untuk istri dan anak-anaknya.
“Per bulan ya kotornya 1,2 juta rupiah. Mereka [napi koruptor] ini para narapidana yang mewah dan enggak mau ribet. Masa lurah cuci baju? Gengsi dong. Minta tolonglah ke kita cuci baju. Enggak mau dong [mereka] cuci pakaian dan sebagainya,” kata Sukemi sembari tertawa kepada saya, saat ditemui 26 Februari lalu.
Tak hanya mencuci baju, Danang dan Sukemi juga kerap melakukan beberapa kerja lepas atau freelance, seperti mengecat atau merenovasi ruangan.
“Kalau ada borongan proyek cat ruangan, Kemi tak ajak. Itu bisa juga pemasukan. Kamar kecil saya minta Rp500.000. Renovasi teras itu Rp100.000. Saya bagi dua dengan Kemi. Saya ajak yang terutama ada anak-istri di rumah, seperti Kemi,” kata Danang.
Bukan Napi Biasa
Danang dan Sukemi adalah dua dari tujuh aktivis warga Sukoharjo, Jawa Tengah, yang dikriminalisasi usai demo protes berujung ricuh terhadap PT. RUM, 22-23 Februari 2018. Mereka ditangkap akibat buntut panjang dari demonstrasi besar-besaran warga Kabupaten Sukoharjo, yang menolak PT. RUM di Kabupaten Sukoharjo karena menimbulkan limbah udara dan air.
Lima orang lainnya adalah Sutarno (saat itu 40 tahun), Kelvin Ferdiansyah Subekti (saat itu 20 tahun), Hisbun Payu atau Iss (saat itu 23 tahun), Bambang Hesti Wahyudi (saat itu 53 tahun), dan Brillian Yosef Nauval (saat itu 20 tahun). Iss ditangkap 4 Maret malam, Sutarno dan Kelvin diciduk beberapa jam setelahnya 5 Maret dini hari. Sedangkan Bambang, Danang, Bril dan Sukemi, ditangkap serentak berbarengan di rumah masing-masing pada 14 Maret dini hari.
Sukemi, Kelvin, Bril, Iss, dan Sutarno ditangkap atas tuduhan perusakan barang dan fasilitas. Sedangkan Danang dan Bambang dituding melakukan provokasi dan ujaran kebencian di media sosial. Mereka berdua dijerat UU ITE—pasal karet yang telah memakan banyak korban sejak 2008.
Mereka resmi menjadi napi dan masuk masa pengenalan lingkungan di Lapas Kedungpane, Semarang, pada 4 Mei, sembari menunggu persidangan berjalan.
Masa pengenalan lingkungan memang merupakan masa transisi di mana para napi menunggu di blok sementara, saat masa sidang hingga vonis dan penetapan blok tetap. Pada masa pengenalan lingkungan, mereka masuk ke blok sementara bernama Blok Lesmana.
Di blok Lesmana total terdapat 13 sel kamar, dengan kapasitas untuk 100 orang di blok itu. Para napi di sana layaknya masuk indekos: harus membayar Rp20.000 untuk biaya listrik dan iuran kas tiap bulan.
Awalnya mereka masuk ke sel kamar yang berbeda-beda dan tercampur dengan napi lain, namun mereka meminta untuk ditempatkan di satu sel kamar yang sama. Alasannya tak lain karena terjerat kasus yang sama dan agar mudah berkomunikasi. Jadilah tujuh orang itu masuk ke sel kamar nomor 10.
Di masa pengenalan lingkungan itulah, semua napi harus saling berkenalan satu sama lain, termasuk tujuh orang aktivis itu: identitas, alamat, hingga kasus yang menjerat mereka.
Bambang mengaku merasakan betul bagaimana pandangan para napi lain kepada dirinya dan enam orang lainnya sangat berbeda dengan napi kebanyakan. Mereka bertujuh dianggap aktivis dan sosok pembela rakyat.
“Perlakuan ke kita jelas beda. Kita dipandang membela rakyat. Mereka [tahanan lain] sungkan. Kita dilindungi di dalam. Ada orang macam-macam, semua ikut belain kita. Berhubungan kita ini kasus lingkungan dan kriminalisasi, sipir pun agak lunak. Tidak sekeras terhadap napi lain, ke napi-napi narkoba misalnya,” cerita Bambang kepada saya, saat ditemui 25 Februari lalu.
Sebelum masuk dalam satu sel kamar, Danang sempat satu sel kamar dengan beberapa penjahat dan koruptor. Ia sempat dimintai uang yang cukup besar. Sembari memelas, Danang menceritakan kasus yang menimpa dirinya hingga berakhir di sel kamar itu. Akhirnya, sikap napi kepala sel kamar dan napi lain ke Danang jadi mencair.
“Saya diminta bayar semampunya. Semampuku ya enggak tak bayar,” kata Danang sembari tertawa.
Kesaksian Iss setidaknya bisa mendeskripsikan lebih detil bagaimana keadaan di Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah. Di sana, kata Iss, para penghuni lapas memperlakukan napi-napi baru berdasarkan strata kasus yang menjeratnya.
Semisal, napi baru akan masuk strata paling rendah jika kasus yang menjeratnya adalah masalah pelecehan seksual atau napi itu adalah bekas aparat penegak hukum—yang kebanyakan polisi tingkat bawah.
“Dua kasus itu enggak akan lolos dari "budaya" di dalam. Bagi mereka, seburuk-buruknya di penjara, aparat dan pelaku pelecehan seksual itu paling di bawah stratanya. Mereka dendam sama aparat itu pasti. Mengingat perlakuan mereka selama disidik. Itu pasti disikat di dalam,” kata Iss saat saya hubungi akhir Februari silam.
Sebagai contoh, Iss ingat betul saat dirinya baru masuk masa pengenalan lingkungan, ada salah satu napi baru yang ternyata bekas anggota Badan Narkotika Nasional (BNN) Jawa Tengah. Yang bikin emosi dan kesal para napi di dalam adalah karena orang itu masuk penjara karena kasus narkoba.
"Kamu ngelarang-larang kita, ujung-ujungnya kamu juga begitu," kata para napi, sepenuturan Iss.
Asal daerah Iss, yaitu Bitung, Sulawesi Utara—yang notabene adalah Indonesia timur—juga sedikit banyak membikin dirinya mendapat previlese di dalam lapas. Iss jadi banyak kenalan dan dilindungi oleh napi-napi orang Indonesia timur. Kalau Iss diganggu napi lain, ia diminta melapor ke mereka di Blok B.
“Banyak orang timur di Blok B,” kata Iss.
Memungut Remah-Remah Para Koruptor
Tak jauh berbeda dengan Danang dan Sukemi, di kamar nomor 1, Sutarno juga harus memutar otaknya untuk mencari penghasilan. Ia akhirnya mendapat pekerjaan sebagai korve blok juga, seperti Danang. Tugasnya hanya membersihkan dan menggelar tikar di Ruang Besuk (RB) untuk para pengunjung lapas.
Upahnya sebesar Rp350.000 per bulan dan itu langsung untuk bayar iuran kamar blok. Sutarno harus mencari penghasilan lagi untuk biaya hidupnya dan kirim uang ke rumah, untuk kedua orang tuanya.
Di kamar nomor 1 itu, Sutarno sekamar dengan salah satu koruptor eks-kepala desa di salah satu daerah di Batang, Jawa Tengah. Ia akrab dipanggil Pak Jenggot. Sutarno ditawari untuk jadi korve pribadi Pak Jenggot untuk melakukan banyak hal: mengambil teh/kopi, memesan makanan, hingga pijat. Sutarno menerima tanpa pikir panjang.
“Panggilan lainnya Pak Udin. Saya satu kamar dengan dia,” kata Sutarno saat saya temui 27 Februari lalu. Diketahui, eks-kepala desa yang dimaksud Sutarno adalah Muhidin, yang terlibat korupsi dana bantuan rumah tidak layak huni (RTLH) di Batang, Jawa Tengah, senilai Rp 800 juta, beberapa tahun lalu.
Di kamar nomor 1 itu, Sutarno menjalani hidup di bui bersama lima orang lainnya. Total ada enam orang. Selain Pak Jenggot, Sutarno mengatakan ada seorang mantan hakim, mantan jaksa, dan mantan camat. Sutarno tak menjelaskan detil kasus dan dari mana mantan hakim itu.
Yang unik adalah cerita si mantan camat. Ia bernama Jarot. Kepada seluruh penghuni kamar nomor 1, termasuk Sutarno, ia bercerita bahwa dirinya merupakan mantan Camat Mijen, Semarang, Jawa Tengah, yang ikut menandatangani pembebasan lahan sebelum Lapas Kedungpane dibangun.
"Berarti bapak menikmati, Pak, menikmati hasil kerja bapak sendiri dong," kata Sutarno ke Jarot sambil tertawa.
Sedangkan untuk mantan jaksa di kamar itu, namanya adalah Rudi. Ia juga kerap beberapa kali meminta tolong ke Sutarno melakukan sesuatu dan memberinya upah. “Dia koruptor mantan Jaksa di Madura,” kata Sutarno.
Rudi yang dimaksud Sutarno adalah Rudi Indra Prasetya,eks-Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Madura, yang terlibat korupsi OTT penyimpangan proyek pembangunan jalan di Desa Dassok, beberapa tahun silam.
“Saya juga dapat suruhan dari seseorang namanya Syaifudin. Ia mantan lurah di salah satu kelurahan di Kudus, Jawa Tengah. Bantu-bantu dia beli sayur. Dikasih Rp50.000. Dikerokin juga. Untuk uang rokok,” katanya.
Tak hanya Danang, Sukemi, dan Sutarno yang punya kedekatan dengan para napi koruptor di dalam Lapas Kedungpane, Semarang. Kesempatan serupa juga dimanfaatkan oleh dua aktivis warga yang lebih muda, Bril dan Kelvin—keduanya di kamar nomor 13.
Sukemi bercerita, di lapas, Bril menjadi “tangan kanan” napi koruptor eks-Wali Kota Malang. Ia jadi korve pribadi dan kerap membantu si napi koruptor untuk melakukan banyak hal. “Dia [napi koruptor] kalau dibesuk dan dibawakan makanan banyak, nah, Bril itu jadi tangan kanannya untuk bawain,” kata Sukemi.
Eks-Wali Kota Malang yang dimaksud Sukemi adalah Muhammad Anton, yang terkena kasus suap pembahasan APBD perubahan Pemkot Malang tahun anggaran 2015.
Demikian juga Kelvin. Ia menjadi korve pribadi seorang napi koruptor eks-Bupati Jepara. Eks-Bupati Jepara itu adalah Ahmad Marzuqi, yang terjerat kasus suap eks-Hakim PN Semarang Lasito sebesar Rp500 juta dan 16.000 dolar AS.
“Intinya, kami kenal dengan para koruptor. Orangnya baik-baik. Mengalir begitu saja kenalnya. Karena awal saling tegur, kenal, nongkrong bareng,” kata Sukemi.
Membaca: Melawan dari Dalam Bui
Dari ketujuh aktivis Sukoharjo tersebut, mungkin hanya Iss dan Bambang jarang—atau mungkin tidak pernah—bergaul dengan para koruptor. Iss memaklumi bahwa hubungan dekat kelima kawan aktivisnya kepada para koruptor karena kebutuhan ekonomi, terutama Danang, Sutarno, dan Sukemi yang harus memikirkan keluarga di rumah masing-masing.
“Kemi, Danang, dan Sutarno kan beda. Mereka berkeluarga. Ada tanggungan keluarga. Jadi mereka terpaksa harus kerja ke orang-orang itu. Daripada enggak bisa hidup. Mungkin karena koruptor-koruptor itu lebih banyak uang yang mampu menggaji kawan-kawan kami, ya dikerjakan saja,” kata Iss.
Iss sendiri malah lebih dekat dan sering ngobrol dengan Yulianto, tukang pijat asal Sukoharjo yang pada tahun 2010 terlibat pembunuhan berantai menewaskan beberapa anggota Kopassus. “Dia teman dekat saya. Ngopi bareng. Yulianto di Blok D. Dia kan tukang pijet, sering ke Blok J,” lanjut Iss.
Untuk bisa bertahan hidup, Iss hanya menggunakan kemampuannya bermain volly di dalam lapas. Di dalam lapas sering ada pertandingan tenis dan volly. Iss kerap dilibatkan bermain volly, kendati hanya sekadar memenuhi kuota tim, oleh para napi lain. Dari situ Iss mendapat uang dan rokok secara cuma-cuma.
Selebihnya, Iss hanya mengandalkan uang sumbangan dari forum warga terdampak di Sukoharjo dan kawan-kawan gerakan mahasiswa yang selama ini ikut mengadvokasi warga.
“Ada juga bantuan dari gerakan buruh AICE yang diadvokasi oleh F-SEDAR. Itu kan bantu kasih uang juga ke aku. Per orang Rp2.000, per bulan. Total dikirim ke aku. Saya tertolong oleh mereka. Warga Sukoharjo juga selama kami di dalam enggak pernah ninggalin,” kata Iss.
Kegiatan sehari-hari Iss hanya olahraga volly, menulis, dan membaca buku-buku. Demikian juga Bambang, selain rutin beribadah, buku menjadi pelariannya selama di lapas karena kebetulan dia adalah mantan dosen di Lampung awal tahun 2000-an. Secara ekonomi pun dirinya tak terlalu sulit karena ada usaha dan memiliki beberapa karyawan di rumahnya.
Tulis-menulis yang digarap Iss selama di penjara pun telah disebarluaskan. Beberapa esai dan puisinya, salah duanya berjudul “Pembungkaman itu Bernama Penjara” dan “Berita Kemerdekaan”, sempat diterbitkan di beberapa situs daring, salah satunya blog miliknya. Ia menulis lewat surat dan meminta kawan-kawannya di luar penjara untuk mempublikasikannya.
Saat pertama kali ditangkap dan dibawa ke Semarang, di dalam tas milik Iss, hanya ada satu buku yang menjadi pegangan bacaannya: Negara dan Revolusi (1917), karya Vladimir Lenin, salah satu pemimpin revolusi Russia yang terkenal dalam diskursus revolusi dunia.
Waktu berjalan, banyak kawan-kawannya yang memberi bahan bacaan untuk Iss selama ia mendekam di Blok J. Jadilah Iss pekerjaannya hanya membaca di penjara. Beberapa judul seperti Cerita dari Digul (2001) karya Pramoedya Ananta Toer yang berisikan kumpulan cerpen orang-orang buangan di Boven Digoel, Papua, Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia (2017) karya Max Lane, dan beberapa karya lainnya dari Pram dan Leon Trotsky.
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Semarang memberi buku Guantanamo Diary (2015) karya Mohamedou Ould Slahi. F-SEDAR sendiri menyumbang dua buku Pram berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988) dan Arus Balik (1995), juga buku Leo Tolstoy berjudul Hadji Murat (1912).
Salah satu bacaan yang paling teringat di memorinya, kata Iss, adalah Ibunda karya Maxim Gorky, yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1995. Iss mengaku, membaca buku itu mengingat dirinya akan kerinduan kepada ibunya yang jauh di Bitung, Sulawesi Utara, sana.
“Saya sampai baca lima kali,” kata Iss dengan nada lirih.
Infografik Bekerja Kepada Koruptor. tirto.id/Lugas Semua Butuh Duit, Termasuk Jika Ingin Bebas
Suatu sore di bulan Mei 2019, dua bulan sebelum Danang dan enam aktivis lainnya bebas, ia berjalan santai keliling lapangan di dalam Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah. Tak lama kemudian, ia melihat seorang lelaki bertubuh kecil, pendek, dan bertato. Ia merasa tak asing dengan wajah lelaki itu.
Lelaki itu adalah warga Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Umurnya sekitar 40 tahun. Danang berkenalan dengannya saat tiga bulan pertama masa pengenalan lingkungan sepanjang Mei-Agustus 2018. Kepada Danang, ia mengaku adalah seorang perampok dan sudah masuk penjara sebanyak enam kali.
Pada Agustus 2018, Danang dan lelaki itu berpisah. Danang resmi menjadi penghuni Blok J, sedang lelaki itu bebas. Kata Danang, lelaki itu menangis saat ingin bebas karena Danang adalah satu-satunya teman ngopi di dalam lapas. Tiga bulan sangat berkesan bagi lelaki itu, kata Danang.
Ingatan itulah yang membikin Danang tak berpikir dua kali untuk menyapa lelaki yang ia lihat seksama dari jauh. Danang mendekat dan menepuk pundaknya.
"Heh, kowe kok mlebu maneh?" [Eh, kamu kok masuk ke sini lagi?]
"Ho oh, piye maneh. Ketangkep maneh." [Iya, mau bagaimana lagi. Ketangkep lagi.]
Dua orang itu hanya bisa tertawa bersama. Ternyata lelaki itu tertangkap lagi setelah mencoba merampok di daerah Malang, Jawa Timur. Kaki kirinya terlihat bekas tembakan, yang mungkin terpaksa dilakukan untuk melumpuhkannya yang sempat kabur. Itu artinya, lelaki itu sudah tujuh kali masuk penjara.
Kisah itu menjadi salah satu momen yang paling diingat Danang jelang masa-masa sebelum ia dan keenam aktivis lainnya bebas.
Ketujuh aktivis itu bebas pada tanggal yang berbeda-beda sepanjang Juli-Agustus 2019. Bambang pada 2 Juli, Danang pada tanggal 13, Kelvin, Bril, Sutarno, dan Sukemi pada tanggal 25. Iss adalah yang paling akhir. Ia bebas tanggal 2 Agustus 2019. Mereka semua rata-rata menjalani masa di bui selama 18-24 bulan, termasuk dipotong masa tahanan.
Masuk tahanan rupanya membutuhkan uang yang besar. Mereka dipaksa merogoh kocek sebesar Rp25 juta untuk tujuh orang, dengan rincian sekitar Rp3,5 juta per orang. Biaya itu untuk memastikan mereka masuk ke Blok J. Harga itu merupakan harga final setelah negosiasi. Mereka diberi waktu lima hari untuk membayar uang itu.
“Kalau enggak bayar, konsekuensinya akan dimasukkan ke blok yang kumuh dan jadi pesuruh. Wajib. Karena 25 juta ini memang untuk memastikan kita bertujuh masuk ke Blok J,” tambah Danang.
Sukemi, Sutarno, dan Iss juga membenarkan ihwal uang Rp25 juta itu. Tak tahu ke mana larinya dana sebesar itu. “Enggak tahu duit 25 juta itu ke mana, ke Kalapas atau ke siapa. Enggak tahu,” kata Sukemi.
Kata Bambang, untuk para koruptor kelas teri, mereka bisa ditagih sebesar Rp25 juta per orang. Namun untuk sekelas bupati atau anggota DPR RI, mereka harus gali kantong dalam-dalam sebesar Rp30 juta sampai Rp40 juta per orang.
“Karena [para koruptor] kan lama. Bisa 3-4 tahun. Itu bayarnya ke orang lain [perantara]. Orang suruhan aparat. Itu napi juga. Itu akhirnya warga galang dana, terkumpul 20 juta, saya nombok 5 juta,” kata Bambang.
Tak hanya itu, bahkan untuk sekadar membesuk pun, kata Danang, pihak yang membesuk dan yang dibesuk sama-sama harus keluar uang. Pihak yang membesuk biasanya dikenakan Rp50.000, sedangkan napi yang dibesuk harus setor Rp20.000. Untuk menikmati jalur khusus tanpa antri, pihak yang membesuk harus merogok kocak Rp100.000.
“Pas lebaran, jalur khusus itu Rp300.000.Sekali jenguk itu Rp500.000 bisa habis. Makanya saya bilang ke istri jangan sering jenguk. Kasihan uangnya. Cuma ya anak minta ketemu, bagaimana?” katanya.
Mendengar kata lebaran atau hari raya, ingatan Sukemi juga tertuju dengan uang, uang, dan uang. Katanya, setiap usai lebaran atau hari raya, Blok J kerap mengadakan pesta besar-besar. Namun, lagi-lagi, tiap napi masih dimintai uang sebesar Rp150.000. Nantinya uang itu akan digunakan untuk menyewa tenda, sound system, biduan, minuman, dan lain-lain.
“Saya ketemu dua kali lebaran. Rata-rata tiap blok ya kaya gitu. Karena kita blok tipikor, dikira kita banyak duit kali ya?” katanya.
Bahkan, hingga di hari pembebasan para tujuh aktivis itu pun, mereka masih dimintai uang. Sebelum bebas, para napi harus melewati lima pintu pos administrasi untuk sekedar menyelesaikan berkas-berkas. Namun di tiap pintu pos, mereka harus merogoh kocek sebesar Rp50.000. Itu artinya, minimal mereka harus keluar uang sebesar Rp250.000.
“Sampai bebas pun harus bayar per pos. Rp50.000 enggak ada artinya,” kata Danang. Sukemi, Iss, dan Sutarno membenarkan.
Namun, bisa jadi masalah uang di dalam penjara akan selalu menjadi memori buruk baru Sutarno. Sekitar dua bulan sebelum bebas, suatu malam bakda shalat Isya di masjid lapas, Sutarno tiba-tiba dicolek oleh Bambang. Ada hal genting yang ingin disampaikan, kata Bambang.
“Ayahmu meninggal,” kata Bambang pelan.
Sutarno kaget. Ia terlihat kebingungan. Bapaknya, Nartowiyono, saat itu 84 tahun, dan ibunya, Daliyem, saat itu 68 tahun, memang praktis diurus oleh Sutarman, kakak Sutarno, usai dirinya ditangkap pada 5 Maret 2018.
Dari masjid lapas, ia langsung lari ke kamarnya di Blok J. Ia langsung membuka gawainya dan melakukan panggilan video ke keluarga di rumah untuk memastikan kebenaran kabar itu.
“Akhirnya hanya bisa melihat dari jauh," kata Sutarno.
Malam itu pikirannya tak tenang. Ia mengaku telah mencoba berbicara dengan sipir penjaga lapas, memberi tahu kematian ayahnya dan ingin pulang. Namun, permohonan itu dipersulit. Banyak alasan dan banyak syarat yang harus dipenuhi oleh Sutarno jika ingin datang ke pemakaman ayahnya. Ia bahkan ditodong uang minimal 10 juta rupiah jika ingin izin.
“Saya enggak punya uang. Kondisi kas forum warga [menolak PT. RUM] juga lagi sulit, nggak bisa bantu. Akhirnya enggak bisa bantu menguburkan bapak,” kata Sutarno. Saya melihat matanya meneteskan air mata malam itu.
Sekitar dua bulan setelah sang bapak wafat, 25 Juli 2019, Sutarno bebas. Ia langsung buru-buru pulang karena ingin pergi ke makam bapaknya.
“Nangis saya ketemu ibu dan saudara-saudara. Langsung ke makam bapak malam itu juga,” kata Sutarno.
Ia mencium pusara ayahnya sembari menangis. Malam itu adalah salah satu malam paling menyedihkan dalam hidupnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mawa Kresna