tirto.id - “Untuk Eyang Putri Pak Jokowi, bebaskan ayahku,” tulis Genta. "Ayah saya bukan penjahat.”
Genta, 13 tahun, menulis buat Sudjiatmi, ibunda Presiden Joko Widodo, yang lokasi rumahnya hanya satu jam dengan naik mobil dari lokasi pabrik PT Rayon Utama Makmur, muasal mengapa bocah itu menulis surat.
Ayahnya, Sukemi Edi Susanto, ditangkap oleh polisi karena dituding merusak pabrik. Sukemi kini mendekam di balik penjara Kedungpane, Semarang, setelah divonis 2 tahun 3 bulan pada awal Agustus lalu oleh PN Semarang. Pada pertengahan Oktober kemarin, status vonisnya dinaikkan 4 tahun penjara dalam sidang banding oleh Mahkamah Agung di Jakarta.
Genta membawa surat itu bersama ibunya, Veny Ike Anjarwati, dengan berjalan kaki dari rumahnya di Desa Plesan, Sukoharjo, menuju rumah ibunda sang presiden di Kota Surakarta. Surat itu urung diberikan langsung setelah polisi-polisi secara berlapis mengadang ibu dan anak itu di perbatasan Surakarta.
“Saya berikan ke Kasat Intel, namanya Pak Bowo, dia berjanji akan mengantarkan,” kata Veny, ibunda Genta, kepada kami, awal September lalu.
Melalui sepucuk surat itu, Genta memohon agar ayahnya dibebaskan karena tak bersalah. Sebab, sang ayah tengah memperjuangkan apa yang menjadi hak hidup seorang warga: menghirup udara yang sehat agar kedua adiknya tidak terus merengek dan terbangun dari tidur saban malam karena tersiksa "bau tahi" dari pencemaran udara PT RUM.
Sejak Oktober 2017 hingga Februari 2018, lalu berlanjut dari akhir September kemarin, aroma mirip tangki septik bocor menjadi santapan bagi Genta dan kedua adiknya. Jika baunya menyengat bisa sampai ke dalam rumah dan bahkan bikin pusing dan mual-mual. Genta bahkan harus memakai masker saban belajar di sekolah.
Bau yang tercium berbeda-beda—terkadang seperti bau kopi Luwak yang baru diseduh, pernah tercium seperti petai busuk, tapi yang lebih sering bak bau tahi—membuat Sukemi bersama warga lain di sekitar pabrik menuntut PT RUM menghentikan operasionalnya.
Di bawah Forum Komunikasi Masyarakat [Desa] Plesan, Gupit, Celep, Pengkol (FKM-PGCP), Sukemi rajin melayangkan protes di depan pabrik PT RUM sejak 27 Oktober 2017. Saban aksi, Sukemi jarang absen. Ia bahkan mengajak Veny dan ketiga anaknya ketika ratusan warga di Kecamatan Nguter menggelar aksi di depan kantor parlemen daerah Sukoharjo.
Belakangan, kesal karena tuntutan warga diabaikan para politikus daerah dan Bupati Wardoyo Wijaya, mereka mendatangi pabrik PT RUM pada akhir Februari, yang berbuntut ricuh. Sukemi, bersama empat warga lain, dituding sebagai pelaku perusakan fasilitas PT RUM.
Sukemi ditangkap bersama Brillian Yosef Nauval, Kelvin Ferdiansyah Subekti, Sutarno, dan Mohammad Hisbun Payu. Dua warga lain, Bambang Hesti Wahyudi dan Danang Tri Widodo, ditangkap dengan pasal karet lewat UU ITE karena menimbulkan sentimen SARA.
Mereka termasuk yang paling vokal melawan pencemaran limbah cair dan udara dari PT RUM, yang kepemilikannya terkait dengan keluarga pendiri PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex, hanya sekitar 20 menit dari lokasi PT RUM, juga sama-sama di Sukoharjo. Sritex adalah perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang berdiri pada 1966 di Solo, yang memproduksi seragam militer untuk TNI maupun negara-negara adidaya termasuk NATO.
Kejanggalan Penangkapan
14 Maret 2018 dini hari, Luboy, ayah Brillian, marah besar saat mengetahui lima pria tanpa seragam polisi bersenjata laras panjang mengatakan anaknya terlibat "pencurian." Kadung muntab, Luboy memacu motornya mencari Brillian yang malam itu tak pulang ke rumah. Luboy menemukan anaknya tidur di rumah tetangga di Desa Juron, Kecamatan Nguter
Sampai di rumah, Luboy menyerahkan anaknya dan meminta polisi menyerahkan surat penangkapan. Namun, polisi hanya mengeluarkan kertas kosong, "enggak ada tertulis nama anak saya, langsung minta KTP," lalu menulis nama Brillian di surat tersebut, ujar Luboy.
Melihat itu Luboy bingung dan baru diberitahu setelahnya bahwa anaknya ditangkap "terkait PT RUM." Malam itu juga anaknya dibawa ke Polda Jateng di Semarang.
Elly, ibu Brillian, menuturkan kepada Tirto bahwa saat aksi protes berbuntut ricuh di depan PT RUM itu anaknya hendak mengantar seorang teman yang akan pulang ke Kota Sukoharjo. Saat melihat peristiwa di depan pabrik, Brilian turun dari motor dan ikut bersama sejumlah kawan melihatnya. Dalam persidangan, Brilian dinyatakan melanggar pasal perusakan.
Alat bukti yang dipakai dalam persidangan PN Semarang itu, menurut Luboy dan Elly, "tergolong lemah." Pengadilan menghadirkan saksi dari pihak polisi yang tidak melihat Brillian memecahkan kaca Pos Satpam. Luboy berkata bahwa pengadilan memakai bukti-bukti dari video-video yang beredar di media sosial.
Elly berkata Brillian pernah ikut demo di kantor bupati dan parlemen daerah Sukoharjo. Pemicunya, adik perempuan Brillian menderita sesak napas bahkan harus memakai tabung oksigen sejak "bau tahi" dari pencemaran lingkungan PT RUM saban hari tercium hingga rumahnya.
“Padahal jarak rumah kami jauh,” kata Luboy.
Perasaan bingung dan marah juga disampaikan Indri, orangtua Kelvin Ferdiansyah Subekti. Belasan polisi mendatangi rumahnya di Desa Plesan tanpa mengetuk pintu dan mencari-cari anaknya.
Polisi-polisi itu mengaku sebagai "teman Kelvin" padahal "teman anak saya enggak begini,” ujar Indri, menggambarkan perawakan dan gelagat seram polisi.
Polisi langsung mendatangi Kelvin yang tengah pulas. Sama seperti Brillian, apa yang disebut "surat penangkapan" berupa kertas kosong lalu diisi oleh polisi setelah Kelvin diminta menyerahkan KTP.
“Saya enggak terima," ujar Indri. "Anak saya digelandang seperti teroris. Dari dalam rumah sampai depan dipaksa jalan oleh tiga orang.”
Dalam persidangan, Kelvin dinyatakan terlibat merusak pos keamanan PT RUM, dituduh memecahkan kaca dan membakar buku tamu serta merusak pagar belakang PT RUM.
"Padahal anak saya enggak tahu sama sekali. Buktinya cuma lihat lewat video-video. Kelvin dibilang merusak pagar, padahal saat itu pagarnya sudah rusak,” ujar Indri.
Begitu juga penangkapan terhadap Sukemi Edi Susanto, ayah Genta. Polisi-polisi mengepung seluruh rumahnya di Desa Plesan. Polisi juga merampas telepon genggam Veny, istri Sukemi, dan baru dikembalikan sepekan usai suaminya ditangkap.
Mohammad Hisbun Payu, atau disapa Iss oleh rekan-rekannya, ditangkap di Jakarta selagi hendak melaporkan kasus pencemaran lingkungan PT RUM ke Komnas HAM. Pada malam hari, saat ia pergi ke sebuah minimarket, polisi menangkapnya, memaksanya naik mobil, memborgol lengannya, lalu langsung dibawa ke Semarang.
Baik Sukemi, Brillian, Kevin, Iss, dan Sutarno, melalui pengacaranya dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, menyatakan penangkapan mereka adalah upaya "kriminalisasi".
Kelimanya divonis 2 tahun penjara. Mahkamah Agung menaikkan vonis menjadi 4 tahun penjara pada pertengahan Oktober lalu. Sementara Bambang Hesti Wahyudi dan Danang Tri Widodo, yang dijerat pasal karet UU ITE, divonis 3 tahun penjara.
Keluarga-keluarga dari warga yang "dikriminalisasi" ini berharap anak, suami, ayah mereka mendapatkan keadilan dan bisa segera dibebaskan dari hukuman berat hanya karena menyuarakan protes yang menjadi haknya: mampu menikmati derajat kesehatan setinggi-tingginya. Mereka tak ingin keluarga dan warga sekitar pabrik terus-menerus mencium "bau tahi" dari pencemaran limbah cair dan udara PT RUM. Tapi, mereka justru dibui.
Seperti harapan Genta dalam suratnya kepada Ibunda Jokowi:
"Eyang, ayah saya bukan penjahat, ayah saya hanya memperjuangkan lingkungan dan udara bersih untuk masa depan saya. Bebaskan ayah saya dan keenam aktivis lainnya. Semoga Eyang sehat selalu dan bisa melihat cucunya besar."
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Fahri Salam