tirto.id - “Saya dipaksa masuk ke mobil dengan tangan diborgol, dan belum dikasih lihat surat penangkapan.”
Pernyataan tersebut diungkapkan Muhammad Hisbun Payu, 22 tahun kepada Tirto via telepon dari Mapolda Jawa Tengah, Senin (5/3/2018). Is, sapaan akrab Hisbun Payu, adalah aktivis mahasiswa Pembebasan yang menolak kehadiran pabrik PT Rayon Utama Makmur (RUM) di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sejak Oktober 2017, Is dan ratusan warga meminta Pemkab Sukoharjo mencabut izin lingkungan PT RUM lantaran limbah pabrik menguarkan bau busuk ke desa-desa di sekitarnya.
Is ditangkap pada Minggu malam, 4 Maret 2018, saat hendak membeli rokok ke minimarket dekat tempatnya menginap di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Hari itu Is datang ke Jakarta berniat mengadukan masalah warga terdampak pencemaran pabrik PT RUM ke Komnas HAM.
Ia sudah menyiapkan setumpuk berkas, dari hasil penelitian tim independen sampai tindakan intimidasi aparat keamanan terhadap warga. Namun, ia keburu diringkus polisi.
Syahrul Yakub, teman yang mengantar Is membeli rokok, berusaha mengadang delapan polisi tapi gagal. Ia kembali ke kontrakan dan menceritakan kejadian itu kepada kawan-kawannya.
Tak lama lima polisi mengantar Is mengemasi barang-barang ke kontrakan tersebut. Kawan-kawanya meminta agar diperbolehkan mendampingi Is tapi ditampik polisi.
Dari Jakarta, Is dibawa dengan Suzuki hitam ke Semarang. “Di mobil [yang membawa] saya ada empat orang polisi. Di mobil satunya lagi, kalau tidak salah Honda Civic Hitam, ada empat polisi,” katanya.
Pukul 09.00, polisi yang membawanya mengatakan kepada Tirto bahwa Is sudah di sekitar Semarang dan “sudah mau sampai di Polda Jateng.
Ivan Wagner, pendamping hukum Is dari LBH Semarang, mengatakan polisi belum memeriksa Is hingga Senin malam.
'Dikriminalisasi' Gara-Gara Aksi Menolak PT RUM
Penangkapan Is bermula dari aksi ricuh di depan pabrik PT RUM yang berujung pembakaran pos satpam pada 23 Februari 2018. Hari itu warga memblokade pabrik dan melakukan aksi bakar ban lantaran kecewa terhadap Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya
Sebelumnya, warga melakukan aksi beberapa kali, antara lain pada 26 Oktober dan 30 November 2017, di depan pabrik PT RUM, serta 19 Januari 2018 di kantor DPRD Kabupaten Sukoharjo. Namun, aksi-aksi ini tak pernah memuaskan warga.
Sekitar sebulan setelahnya, aksi kembali dilakukan di kantor Bupati Sukoharjo pada 22 Februari 2018. Ketika aksi ini warga kecewa lantaran bupati tak mengeluarkan surat keputusan pemberhentian operasi pabrik, melainkan hanya membacakan surat pernyataan yang diputuskan sepihak antara PT RUM dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Sukoharjo.
Namun, kata Is, warga memaksa agar Bupati Wardoyo mengeluarkan surat keputusan pemberhentian operasi pabrik secara total atau sementara, serta mencabut izin lingkungan PT RUM. Hal itu pun ditanggapi janji bahwa SK akan dikeluarkan pada 23 Februari setelah terlebih dulu dibahas dan dibuat oleh Pemkab Sukoharjo pada Kamis malam.
Warga memutuskan menginap di depan pabrik PT RUM menunggu SK itu dikeluarkan. Namun, pada hari yang dijanjikan, SK tersebut belum diteken, sementara Wardoyo berangkat ke Bali untuk acara Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan.
“Nah ini yang akhirnya membuat warga kecewa. Mereka marah dan spontan melakukan perusakan,” kata Is.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah ini membantah telah memprovokasi warga. Ia mengaku baru datang ke lokasi sekitar pukul 2 siang.
“Waktu saya datang kondisinya sudah rusuh, blokade segala macam semua sudah dilakukan. Pembakaran pos satpam pabrik, aku enggak tahu siapa yang bakar," katanya.
Ia berniat melaporkan aparat kepolisian yang melakukan tindak kekerasan atas aksi warga di depan pabrik. "Kami sudah rekam itu, satu orang teman ditendang oleh aparat."
Selain Is, dua warga yang diduga terlibat aksi perusakan ditahan di Mapolda Jawa Tengah.
Sutarno Ari Suwarno, penasihat Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sukoharjo, menyampaikan dua warga berasal dari Jumapolo, Kecamatan Karanganyar, danDesa Plesan, Kecamatan Nguter. Mereka dijerat pasal 170 ayat 1 serta Pasal 187 ayat 1 dan 2 KUHP.
Sutarno menyampaikan perusakan dan pembakaran pos satpam pada 23 Februari dilakukan spontan oleh warga.
“Waktu itu saya dan beberapa perwakilan dipanggil Intelkam. Kami akhirnya bahas konsideran SK pemberhentian pabrik,” katanya.
Setelah SK selesai, kata Sutarno, “Saya dan beberapa teman balik lagi ke warga dan kasih tahu bahwa SK pemberhentian sudah ada. Tinggal ditandatangani. Setelah itu, kemarahan warga mulai reda.”
Sebarkan Bau Busuk dan Sebabkan Penyakit
Berdasarkan keterangan Sutarno, pencemaran udara oleh limbah PT RUM bermula sejak pabrik beroperasi pada awal Oktober 2017. Sejak itu warga protes ke pemerintah Kabupaten Sukoharjo dan minta melakukan audit atas pengendalian limbah pabrik pengelolaan kapas sintetis tersebut.
“Kami berkali-kali audiensi, sudah ke Dinas Lingkungan Hidup, bahkan ke Kantor Staf Kepresidenan. KSP waktu itu bulan Januari menurunkan tim dan menyatakan PT RUM melakukan pelanggaran,” ujarnya.
Tiga hari lalu seorang bayi 10 bulan bernama Arbani Shakeel Alfatih dari Dukuh Jayan, Desa Celep, Nguter, meninggal akibat pencemaran udara limbah PT RUM. “Sejak lahir memang sudah sakit paru-paru tapi karena ada pencemaran udara jadi semakin kronis dan akhirnya meninggal,” kata Sutarno.
Pada pertengahan Februari, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Sukoharjo mengecek kondisi kesehatan akibat limbah pabrik di Desa Gedonginong. “Hasilnya limbah itu di atas ambang baku dan penyakit yang paling banyak itu ISPA. Di sana ada 35 orang terkena ISPA berat, kalau yang ringan ada seratus warga lebih,” klaim Sutarno.
Hasil analisis tim Independen Muhammadiyah yang diperoleh Tirto menggambarkan dua dari tiga parameter limbah cair PT RUM tidak memenuhi ambang baku mutu, yakni Total Disolved Solid (TDS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Satu parameter lain yang sudah sesuai ambang baku mutu adalah PH limbah cair.
Penelitian tim independen Muhammadiyah berbasis analisis sembilan sampel limbah cair PT RUM dari 31 Januari hingga 5 Februari 2018.
Ketua Tim Independen Muhammadiyah Sukoharjo Wiwoho Aji Santoso mengatakan penelitian itu telah disampaikan ke DPRD Sukoharjo "secara detail" pada 19 Februari. Namun, setelah itu, hampir tidak ada tindakan konkret dari Pemkab Sukoharjo untuk menghentikan operasional pabrik.
Tanggapan Pemkab Sukoharjo
Surat Keputusan bernomor 660.1/207 itu ditandatangani Bupati Sukoharjo pada 24 Februari 2018. "Bukan ditutup. Kalau ditutup, kan, enggak ada aktivitas. Itu hanya produksinya saja," katanya.
Dalam surat itu, ada tiga kewajiban yang harus dipenuhi PT RUM jika ingin kembali beroperasi:
Pertama, memasang continuous emmission monitoring pada cerobong Cimney; kedua, melakukan pengendalian emisi sehingga tidak menimbulkan bau yang mengganggu masyarakat; dan ketiga, menyelesaikan pembuangan air limbah dari instalasi pengelolaan air limbah sampai sungai Bengawan Solo.
"Ini kami beri jangka waktu paling lambat 18 bulan. Tapi, kalau dua bulan sudah selesai, bisa operasi lagi," ujarnya.
Ia menyampaikan, pada 22 Februari, manajemen PT RUM beritikad baik menyelesaikan persoalan limbah tanpa perlu SK Bupati. Namun, warga merasa tak puas dan meminta agar PT RUM ditutup.
"Kalau itu (ditutup) enggak bisa. Nanti kalau enggak bisa memenuhi ada sanksi lain. Enggak bisa langsung tutup. Kan, ada ketentuan perundang-undangannya," katanya.
Ia membantah temuan Tim Independen Muhammadiyah soal baku mutu limbah yang melebihi ambang batas. "Baku mutunya sudah baik. Itu tidak hanya dari DLH Kabupaten yang mengecek, provinsi juga sudah mengecek. Dari hasil laboratorium sudah sesuai," klaimnya.
Menurutnya, ratusan warga yang menderita ISPA bukan disebabkan bau busuk limbah pabrik. "Itu tergantung kasusnya. Pokoknya ada yang sakit apa pun, terkena dampak, kita tangani. Kalau upaya kesehatan, Pemkab selalu melakukan sebelum ada masalah limbah."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz