tirto.id - Ponisuwarto, 60 tahun, batuk-batuk saat saat saya temui di rumahnya di Dusun Ngrapah, Desa Gupit, Kecamatan Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah, 26 Februari pukul setengah dua siang. Badannya kurus kering dengan masker untuk anak-anak berwarna merah jambu menutupi mulutnya. Ia adalah salah satu contoh nyata korban polusi udara yang disebabkan produksi PT. Rayon Utama Makmur (RUM).
Rumahnya hanya berjarak 50 meter dari tembok bagian belakang pabrik PT. RUM. Saat saya menyambangi rumahnya, saya harus menggunakan masker mengingat bau yang menyengat—kadang bau busuk, kadang tinner, kadang malah bau kopi.
Poni mengaku sudah merasakan bau-bau itu sejak PT. RUM beroperasi pada 2017 silam. Namun, sudah satu tahun terakhir ia merasakan batuk-batuk, sesak nafas, hingga ulu hati yang terasa berat. Batuk dan sesak paling parah Poni rasakan pada 13 Januari 2020 lalu, yang membuat dirinya harus dibawa ke RS Umum Muhammadiyah Selogiri, Kabupaten Wonogiri.
“Sesak, batuk, akhirnya divonis dokter ada pembengkakan paru-paru. Ulu hati kena. Sejak dari rumah sakit, agak berkurang sesaknya. Tapi ketika ada polusi muncul lagi, sesak dan batuk muncul lagi. Akhirnya cuma bisa andalkan obat,” katanya.
Dari hasil dokumen analisis rumah sakit yang saya terima, setidaknya penyakit Poni masuk ke kategori penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Setelah dari rumah sakit itu, ia harus rutin memakai alat bantu pernafasan bernama Symbicort—obat asma dengan kandungan budesonide dan formoterol fumarate. Apalagi jika saat sesak dan ulu hatinya kumat.
Namun, jika batuk dan ulu hatinya terasa berat dan kumat parah dan Poni merasa tak kuat, mau tak mau dirinya harus dibawa ke rumah sakit lagi. “Bahkan pernah sehari dua kali, pagi (pasang alat pernapasan uap) dan sore (pasang alat pengecekan jantung). Karena parah,” katanya.
Sembilan jam sebelum saya temui, sekitar pukul empat subuh, Poni kumat. Dadanya sesak, sedikit batuk, dan ulu hatinya berasa berat sekali.
“Enggak kuat, enggak kuat,” kata Poni kepada istrinya, Jiyem, 65 tahun, subuh itu.
Jiyem pusing dan kebingungan. Akhirnya ia menelpon anak pertamanya, yang rumahnya tak jauh dari situ, untuk menjemput dan membawa ke rumah sakit subuh itu juga.
Poni juga bukan korban tunggal di rumahnya. Istrinya juga menjadi korban limbah air produksi PT. RUM. Saya melihat kedua telapak kaki Jiyem banyak bekas luka gatal yang sudah kering. Namun, ia mengaku masih sering merasakan gatal kendati menahan untuk tidak digaruk.
Awal kejadiannya sekitar Maret 2019, Jiyem, yang merupakan seorang buruh tani, sedang menggarap sawah yang lokasinya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Waktu menunjukkan pukul 12 siang dan ia ingin makan siang serta istirahat.
Tiba-tiba Jiyem mencium bau menyengat seperti tinner pada air di tempat ia mencuci kaki di salah satu saluran irigasi sawah. Namun, saat itu Jiyem tak menyadari kalau itu merupakan limbah air PT. RUM, yang belakangan ketahuan memang sempat bocor.
“Kaki saya gatal tengah malamnya. Enggak sadar, saya garuk-garuk, berdarah banyak sekali. Sakit. Ternyata yang punya sawah pun ngerasa gatal juga,” katanya.
Jiyem hanya mengandalkan minum obat super tetra. Karena memang tak ada uang dan fokus ke pengobatan suaminya.
Poni dan Jiyem adalah dua contoh korban limbah PT. RUM yang masih terus merasakan dampak pabrik tersebut. Sampai pencabutan Surat Keputusan Bupati Wardoyo Wijaya tentang penghentian produksi PT. RUM yang diteken pada Agustus 2019 lalu, tak ada penjelasan dari Pemkab Sukoharjo apakah PT. RUM sudah memenuhi kewajiban yang dipaksa pemerintah atau belum.
Setidaknya, hingga Januari dan Februari, warga yang tergabung dalam forum Warga Terdampak Limbah Pabrik PT. RUM masih kerap mengeluh akan limbah udara yang menyengat hidung.
Sepanjang Januari 2020, forum warga bikin rekapitulasi keluhan warga yang rutin dilaporkan di group WhatsApp bersama. Setiap warga yang melapor keluhan bau di group, harus menulis laporan sesuai format yang ditentukan: lokasi bau, hari, tanggal, waktu, uraian bau, nama pelapor, dan apa tuntutannya.
Dari dokumen rekapitulasi yang saya terima, setidaknya sepanjang Januari itu laporan dari warga beragam, ada yang dari Desa Pengkol, ada dari Desa Celep ada yang dari Desa Gupit, bahkan ada warga Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, yang ikut melapor. Waktunya pun beragam, ada yang jam 3 dini hari, jam 10 pagi saat anak-anak sekolah, sore hari, bahkan hingga ketemu gelap lagi.
Bau yang dirasakan warga berbeda-beda: kadang mau busuk menyengat, bau kopi Coffeemix, yang berujung bikin pusing dan mual. Rata-rata warga menyebutnya dengan bau “badeg” alias bau tak sedap.
Contohnya, saat saya mendatangi rumah Tomo, salah satu penggerak warga Desa Pengkol pada 25 Februari siang pukul 14.30 WIB, saya mencium bau kopi Coffeemix dan kadang bau tinner. Ternyata pagi harinya sekitar pukul 07.50 WIB, ada seorang warga dari Dusun Miri, Desa Pengkol, bernama Slamet yang melapor ke group WhatsApp forum warga. Ia mengaku mencium bau badeg dan merasa mual.
“Permohonan: meminta bapak Bupati dan PT. RUM untuk tutup PT. RUM atau alih produksi yang tidak mencemari dan mengganggu lingkungan,” tulis Slamet dalam laporannya.
Beberapa hari sebelum kedatangan saya, tepatnya tanggal 19 dan 20 Februari, warga Sukoharjo didampingi LBH Semarang melakukan permohonan akses informasi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sukoharjo dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kabupaten Sukoharjo.
Permohonan akses informasi ke DLH Sukoharjo berupa berapa dokumen seperti amdal terakhir (Andal, Ka-Andal, RKL-RPL), surat keputusan kelayakan lingkungan, izin lingkungan terakhir, izin pembuangan limbah cair PT. RUM, hasil audit lingkungan PT. RUM, dan upaya yang telah dilakukan DLH Sukoharjo beserta dokumennya.
Sedangkan permohonan akses informasi ke PPID Sukoharjo yaitu susunan nama tim investigasi pencemaran lingkungan PT. RUM, upaya bupati dalam penyelesaian pencemaran lingkungan PT. RUM beserta dokumennya, dan izin pembuangan limbah cair PT. RUM.
“Pada 25 Februari, DLH Sukoharjo memberikan balasan akses informasi yang mengatakan bahwa informasi publik terkait PT. RUM dapat diajukan ke PPID Sukoharjo. Intinya melempar ke PPID Sukoharjo,” kata pengacara publik LBH Semarang, Cornel Gea, kepada saya awal Maret lalu.
Pada 27 Februari, PPID Sukoharjo memberikan balasan akses informasi. Balasan itu berisikan jawaban nihil: susunan tim investigasi pencemaran lingkungan PT. RUM masih dalam proses pengiriman personel dari instansi/perangkat daerah terkait sehingga tim investigasi belum dapat dipublikasikan.
Dalam balasan itu juga disebutkan beberapa upaya Bupati Sukoharjo seperti keluarkan Surat Keputusan 24 Februari 2018, ada sanksi KLHK pada 21 Juni 2018, pada 5 Juni 2019 diklaim telah melakukan verifikasi atas penatapaan sanksi administratif itu dan PT. RUM dinyatakan telah menjalankan kewajibannya, dan pada 23 Agustus 2019 Bupati Wardoyo mencabut Surat Keputusan 24 Februari 2018 dan menyatakan surat tak lagi berlaku.
Cornel mengaku heran mengenai klaim verifikasi 5 Juni 2019 tersebut. Pasalnya hingga kini tak ada dokumen resmi mengenai verifikasi tersebut dan warga sama sekali tak dilibatkan jika memang verifikasi itu dilakukan.
“Dan juga izin pembuangan limbah ke sungai tidak diberikan, dengan alasan izin tersebut diterbitkan melalui system OSS yang merupakan bagian dari tupoksi DPMPTSP [Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu], karena dilakukan dengan cara online sehingga yang mempunyai izin tersebut adalah pemohon izin,” kata Cornel.
Menurut LBH Semarang, dari hasil akses informasi tersebut semakin menguatkan dugaan PT. RUM belum melakukan perubahan amdal, izin lingkungan yang baru, dan izin pembuangan limbah ke sungai.
“Atas jawaban DLH, warga bersama LBH Semarang akan mengajukan gugatan akses informasi karena DLH memiliki kewajiban untuk memberikan informasi tersebut, sekaligus tetap melakukan akses informasi terkait kepada PPID. Kami juga menyoroti balasan akses informasi PPID pada point terakhir terkait izin pembuangan limbah yang hanya dimiliki oleh pemohon izin,” kata Cornel.
RUM Bandel, Pemerintah Tak Tegas
Pemerintah bukannya tidak melakukan sesuatu untuk menindak PT. RUM. Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya—politikus PDIP yang pernah dibui karena kasus judi pada 2005—mengeluarkan keluarkan Surat Keputusan No. 660.1/207 tahun 2018 pada 24 Februari 2018.
Isi suratnya tentang sanksi administratif berupa penghentian sementara proses produksi selama 18 bulan, sejak 23 Februari 2018 sampai Agustus 2019. SK itu berdasarkan hasil verifikasi pengaduan masyarakat oleh Kementerian LKH dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, yang berita acaranya terverifikasi tertanggal 16 Februari 2018.
SK itu juga mencantumkan beberapa masalah PT. RUM, seperti pabrik itu tidak memasang CEM (continuos emission monitoring) pada cerobong Cinmey (sesuai Permen LH No. 07 tahun 2012 tentang Pengelolaan Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Industri Rayon), belum mengendalikan emisi hingga tak menimbulkan bau (sesuai dengan PP No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara), dan belum menyelesaikan pemasangan pipa pembuangan limbah air hasil pengolahan limbah dari IPAL hingga ke Sungai Bengawai Solo (sesuai dokumen AMDAL).
RUM harus melaksanakan semua itu dalam waktu 18 bulan hingga Agustus 2019. Apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut maka akan diberikan sanksi administratif lanjutan, yang tak dijelaskan oleh Wardoyo.
Lima bulan setelahnya, giliran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menegur PT. RUM. Pada 21 Juni 2018, Menteri Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan SK No. 4047/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.016/2018 tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah kepada PT. RUM.
RUM dianggap tidak menaati peraturan dan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku yang totalnya ada sembilan poin masalah. Semua masalah itu harus dibenahi dan pengelolaan sesuai peraturan dan perundang-undang harus dilaksanakan. Kalau tidak, akan diberi pemberatan sanksi hukuman.
Komnas HAM juga tak ketinggalan. Dua bulan setelahnya, pada 1 Agustus 2018, Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi ke Bupati Wardoyo bahwa pihaknya telah memverifikasi laporan warga atas limbah air dan udara yang mencemari lingkungan dan membikin warga resah. Komnas HAM juga meminta Bupati Wardoyo memberi sanksi tegas ke PT. RUM jika sanksi administratif tak dilaksanakan hingga sesuai tenggat.
Waktu akhirnya berjalan selama 18 bulan begitu cepat. Satu bulan setelah ketujuh aktivis bebas pada Juli 2019, Bupati Wardoyo keluarkan SK Bupati No. 660.1/451 tahun 2019 tentang pencabutan SK tahun 2018 lalu dan menyatakan surat itu tidak berlaku lagi, pada 23 Agustus 2019. PT. RUM diminta tetap melaksanakan kewajiban sebagaimana peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, kalau tidak akan kena sanksi sesuatu peraturan dan perundang-undangan lingkungan hidup. Namun, Wardoyo enggan memberi sanksi tegas dari pihaknya.
Dalam catatan LBH Semarang, pasca pencabutan SK tersebut, warga masih resah dan masih merasakan bau tak enak. Keresahan itu kembali dilaporkan ke Bupati Wardoyo. 28 September 2019, Wardoyo keluarkan surat perintah PT. RUM untuk hentikan sementara kegiatan produksi. Sebulan setelahnya, 25 Oktober 2019, Bupati keluarkan SK ke PT. RUM yaitu sanksi administratif paksaan pemerintah kedua berupa pengurangan volume produksi PT. RUM selama satu minggu sejak 26 Oktober.
Kebijakan Bupati Wardoyo itu dikritik oleh LBH Semarang. Menurut pengacara publik LBH Semarang, Cornel Gea, Bupati Wardoyo awalnya telah memberikan sanksi administratif paksaan pemerintah, namun PT. RUM tidak melaksanakan paksaan pemerintah tersebut. Pemkab juga tak menjelaskan apakah PT. RUM sudah melaksanakan paksaan tersebut atau belum.
Menurut Cornel, seharusnya Bupati menaikan sanksi menjadi pembekuan izin atau pencabutan izin, bukan justru memberikan sanksi paksaan kedua. Kebijakan ini disayangkan oleh Cornel.
“Apalagi fakta di lapangan, sebelum SK dicabut, PT. RUM masih melanggar paksaan pemerintah dengan beberapa kali melakukan proses produksi dengan dalih uji coba,” kata Cornel.
Tak ada perubahan signifikan terhadap keadaan lingkungan di Sukoharjo, warga akhirnya kembali melakukan protes berupa demo beruntun sepanjang Desember 2019. Dari tanggal 10 sampai tanggal 12, warga Sukoharjo lakukan aksi besar-besaran di depan PT. RUM. Aksi dilanjutkan pada 21 Desember 2019, lagi-lagi di depan PT. RUM. Warga sudah capek dengan bau yang terus menghantui beberapa desa di Kabupaten Sukoharjo.
Tak puas juga, 23 Desember 2019, warga Sukoharjo ramai-ramai menggeruduk kantor Bupati Wardoyo. Mereka protes dan demo di kantor bupati. Tugino, salah satu perwakilan forum warga terdampak limbah PT. RUM asal Desa Celep, Sukoharjo, mengatakan bahwa aksi hari itu adalah untuk menuntut kejelasan tenggat 18 bulan yang telah melewati batas dan telah dicabut sendiri oleh Bupati. Pasalnya, di dalam SK itu tak ada kejelasan apakah PT. RUM sudah menjalani paksaan pemerintah atau belum.
“Akhirnya kita audiensi di dalam. Ada Bupati Wardoyo dan jajarannya. Kita ceramah agama, kita ceramah efek lingkungan, kita sampaikan aspirasi dan tuntutan, kita sampaikan keluh kesah, kita sampaikan hak atas air dan udara yang bersih, kita sampaikan tenggat SK 18 bulan itu,” kata Tugino saat saya temui akhir Februari lalu.
Kata Tugino, dalam rapat audiensi tersebut, seluruh jajaran Pemkab Sukoharjo bungkam. Wardoyo terlihat hanya merokok saja sambil mendengarkan keluh kesah warga. Hanya Sekretaris Daerah Sukoharjo Agus Santosa yang berbicara bahwa Pemkab akan membikin tim investigasi untuk mempelajari kasus PT. RUM.
“Kita akan bikin tim investigasi,” kata Agus. Agus juga tak menjelaskan apakah kerja tim tersebut memiliki tenggat atau tidak, yang ujungnya hingga saat ini tak ada kejelasaannya. Beberapa warga pun diminta untuk terlibat, tapi mereka sepakat menolak.
"Bapak mau menginvestigasi bagaimana? Dari dulu, sudah produksi dari 2017, kok baru bikin investigasi sekarang?" kata Tugino membalas.
Dalam rapat audiensi tersebut, Agus sampai tiga kali mengatakan akan bentuk tim investigasi. Apa pun argumen warga, hanya itu yang dijawab oleh Agus, kata Tugino.
Tomo, salah satu penggerak warga dari Desa Pengkol, membenarkan perkara audiensi tersebut. Aksi hari itu awalnya meminta ketegasan Bupati Wardoyo untuk menaikkan sanksi dan mencabut izin lingkungan atau membekukan.
“Tapi dari Pemkab tidak tegas. Masih mau investigasi. Kita enggak setuju investigasi, harusnya investigasi sejak awal, sejak penetapan SK itu misalnya. Udah selesai kok baru mau investigasi? Ya akhirnya sampai sekarang enggak tahu tim investigasinya kayanya belum terbentuk. Saya diajak, tapi menolak,” kata Tomo.
“Yaudah kita keluar [ruangan] akhirnya,” kata Tugino mengenang akhir aksi hari itu.
Lamban dan Tak Satu Suara
Imbauan pemerintah untuk work from home dan jaga jarak selama pandemi COVID-19 di Indonesia tak banyak berpengaruh ke Forum Warga Terdampak Limbah PT. RUM. Bagi mereka, limbah udara yang sudah berlangsung sejak 2017 ini juga berbahaya. Senin, 16 Maret 2020, pagi pukul sembilan, sekitar 50 orang melakukan aksi mimbar bebas di Pertigaan Songgorunggi, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo.
Beberapa orang memegang spanduk dan tulisan tuntutan lewat karton. Tuntutan mereka jelas: tolak tim investigasi PT. RUM dan meminta Pemkab Sukoharjo cabut izin lingkungan PT. RUM.
Aksi damai tersebut merespons lambannya Pemkab Sukoharjo dalam menangani kasus PT. RUM dan klaim tim investigasi yang tak kunjung ada hasilnya. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, Agustinus Setiyono, sendiri mengaku kalau tim investigasi PT. RUM, yang sudah dicanangkan sejak 23 Desember 2019 lalu, belum berjalan.
Salah satu kendalanya, kata Agustinus, karena pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum mengirimkan perwakilannya untuk masuk ke dalam tim tersebut dan memulai pembahasan.
“Kita masih menunggu perwakilan dari KLHK. Masih nunggu dari sana. Setelah itu nanti kita rapatkan, apa saja langkahnya. Tinggal mereka aja. SKPD terkait sih sudah ada,” kata Agustinus saat saya hubungi pada 12 Maret 2020 lalu.
Tak hanya itu, Agustinus juga mengklaim bahwa tim investigasi memiliki tenggat kerja dan target kapan akan selesai. Namun, ia tak memberi jawaban waktu tepatnya.
“Ya kita punya target [tenggat]. Sesegera mungkin. Kita nunggu dari KLHK belum ada. Setelah itu baru koordinasi dan rapat. Ya segera [target selesainya]. Kita nunggu KLHK,” jawabnya tak tegas.
Pihak Pemkab Sukoharjo bukannya tidak tahu keluhan warga Sukoharjo dengan masih adanya bau limbah PT. RUM yang terhirup warga. Namun, Agustinus mengklaim bahwa pihaknya sudah melakukan pantauan ke PT. RUM dan menyebut bau sudah mulai berkurang.
“Kita terus koordinasi dengan PT. RUM. Kita pantau dan awasi terus. Minimal penurunan produksi [sejak SK bulan Oktober 2019] kita pantau. Tapi dari PT. RUM sebenarnya sudah mulai berkurang [baunya],” katanya.
Namun, apa yang dikatakan Agustinus mengenai tim investigasi berbeda suara dari pihak PT. RUM. PT. RUM mengaku kalau tim investigasi sudah berjalan, sudah melakukan pengecekan, dan sudah menyatakan tak ada masalah. Kata Manajer Umum PT. RUM, Hario Ngadiyono, tim itu terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Polda Jawa Tengah.
“Tim investigasi sudah jalan kok. Sudah jalan. Sudah ngecek ke internal PT. RUM. Sudah melakukan verifikasi ke lokasi pabrik. Mereka melakukan kunjungan lapangan untuk cek. Semua kan sudah berjalan. Secara teknis semua sudah enggak ada masalah. Kita kan yang didatangi dan diinvestigasi, kita lakukan apa yang dilakukan, kita ditanya ya jawab,” kata Hario saat saya hubungi 17 Maret 2020 lalu.
Hario mengatakan bahwa tim investigasi tersebut sudah melakukan pengecekan ke PT. RUM terutama terkait pemasangan CEM dan pengendalian emisi—salah dua tuntutan paksaan pemerintah ke PT. RUM. Ia mengklaim semua sudah lengkap dan terpenuhi.
“Semua. Selain dokumen, kalkulasi, perizinan, tentu cek lapangan, kondisinya seperti apa. Ya verifikasi. Investigasi kan cek lapangan. Dokumen apa aja saja yang dimiliki. Semua ada, Jadi kita aman kok. Kita terus lakukan penyempurnaan agar lebih baik,” katanya.
Ia juga mengaku mengetahui kalau ada banyak keluhan warga mengenai bau limbah yang dikeluarkan perusahannya. Namun, kata Hario, bau tersebut hanya muncul saat terjadi kendala atau kerusakan.
“Tempo hari, Desember, memang ada kerusakan blower yang nyedot dari limbah. penguapan limbah itu kan kita sedot dan kita kelola. Instalasi mesin white scrubber itu kan, tempo hari memang ada kerusakan blower jadi perbaikan dan [limbah udaranya] terbawa angin ke luar. Jadi kendala,” katanya.
“Kalau kondisi normal ya enggak masalah. Anda bisa cek ke sini,” tantang Hario.
Saya sudah mencoba menghubungi Sekretaris Daerah Kabupaten Sukoharjo, Agus Santosa, lewat pesan singkat WhatsApp. Saya ingin meminta kejelasan kinerja tim investigasi dan mengapa verifikasi Pemkab Sukoharjo ke PT. RUM pada 5 Juni 2019 tak melibatkan warga sama sekali. Pesan saya hanya dibaca, telepon saya berkali-kali tak diangkat.
“Langsung konfirmasi ke Dinas Lingkungan Hidup saja,” kata Agus membalas singkat. Agus diketahui akan maju pada Pilkada 2020, menjadi wakil mendamping Etik Suryani. Etik sendiri merupakan istri dari Wardoyo Wijaya, Bupati Sukoharjo saat ini yang telah dua periode menjabat.
Pengacara publik LBH Semarang, Cornel Gea, mengaku heran mengapa ada kesimpangsiuran dan perbedaan informasi antara Pemkab Sukoharjo dan PT. RUM terkait tim investigasi. Ia menduga ada upaya penutupan akses informasi yang sedang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo.
“Kalau itu benar, berarti ada upaya Dinas untuk menutupi proses investigasi pencemaran lingkungan PT. RUM. Akses informasi terakhir yang dijawab oleh Pemkab, informasi susunan tim investigasi tak juga diberikan. Padahal warga butuh tahu siapa saja yang terlibat dan apa saja yang sudah dikerjakan,” kata Cornel.
Apalagi, lanjutnya, upaya menutup akses informasi itu termasuk tak adanya satu pun dokumen kejelasan mengenai tim investigasi dan apa saja yang sudah dilakukan PT. RUM, yang diberikan ke publik.
“Informasi yang ditutup-tutupi membuat peluang instansi terkait lempar tanggung jawab, ujung-ujungnya hak masyarakat ditelantarkan,” katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mawa Kresna