tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai UU Cipta Kerja telah melonggarkan sanksi bagi korporasi pelanggar ketentuan lingkungan hidup.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WALHI Wahyu Perdana menilai UU Cipta Kerja telah menggeser sebagian besar sanksi menjadi hanya sekadar administratif alih-alih pidana/perdata.
“Skema sanksi berubah, sekarang administratif dulu. Dulu pidana-perdata. Sekarang hanya administratif. Itu jahat sekali dalam UU Cipta Kerja. Dibiarkan beberapa hal,” ucap Wahyu dihubungi, Selasa (6/10/2020).
Ketentuan baru Pasal 21 UU Cipta Kerja tentang Perubahan UU Nomor 32/2009 yang dimaksud Wahyu tercantum jelas dalam Pasal 82A, 82B, dan 82C.
Pasal 82A mengatur jika pelaku usaha menjalankan kegiatannya tidak mengantongi perizinan seperti Amdal, UKL/UPL, dan pengelolaan limbah hanya dikenakan sanksi administratif.
Pasal 82B ayat (1) memberi penegasan bila aktivitas usahanya berlainan atau tidak sesuai ketentuan dan izin hanya dikenakan sanksi administratif. Pasal 82B ayat (2) mengatur pembuangan limbah yang tidak mengakibatkan adanya gangguan kesehatan, luka, dan kematian hanya dikenakan sanksi administratif.
UU Cipta Kerja juga mengubah pasal 109. Bila seseorang tidak mengantongi persetujuan lingkungan yang salah satunya hanya bisa diperoleh dengan Amdal, baru dapat dipidana bila kegiatan usaha seseorang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan.
Hal ini berbeda dari UU No. 32/2009. Pasal 109 UU No. 32/109 mengatur pidana tetap berlaku bagi yang tidak memiliki izin lingkungan yang sekarang diubah menjadi persetujuan lingkungan. Dengan kata lain, tidak menunggu jatuhnya korban dulu.
Bahkan Pasal 102 UU No. 32/2009 mengatur pidana bagi pengelolaan limbah tanpa izin tanpa ketentuan soal jatuhnya korban. Sayangnya, aturan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR justru membuat Pasal 82B.
Wahyu juga menyoroti UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 88 UU 32/2009 yang menghilangkan kalimat “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Isinya kini hanya sebatas, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Di luar UU PPLH, persoalan sanksi juga mencakup keringanan bagi pidana korporasi dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Awalnya, pasal 78 angka (14) mengatur kalau pelanggaran yang menyebabkan kerusakan hutan atas nama atau oleh korporasi diberatkan hukumannya dengan “ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”
Namun, dalam UU Cipta Kerja ketentuan ini diubah dari pidana menjadi denda. Bahasanya diubah menjadi, “dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari denda pidana pokok.”
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri