Menuju konten utama

Jokowi Mengomeli Diri Sendiri Saat Bicara HAM dan Lingkungan

Jokowi bicara soal HAM dan lingkungan, yang bagi para aktivis seperti mengomeli diri sendiri karena itu tak terjadi.

Jokowi Mengomeli Diri Sendiri Saat Bicara HAM dan Lingkungan
Presiden Joko Widodo bersiap menyampaikan pidato dalam rangka penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga negara dan pidato dalam rangka HUT ke-75 Kemerdekaan RI pada sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

tirto.id - Dalam pidato kenegaraan di DPR RI, Jumat (14/8/2020) pagi, Presiden Joko Widodo menegaskan "semua kebijakan harus mengedepankan ramah lingkungan dan perlindungan HAM (hak asasi manusia)."

Ia memang hanya menyatakan perkara HAM dan lingkungan dalam satu kalimat tersebut. Namun ada pula bagian lain di pidatonya yang terkait.

Misalnya, ia mengatakan "kecepatan dan ketepatan," yang merupakan tujuan reformasi birokrasi, "tidak bisa dipertukarkan dengan kecerobohan dan kesewenang-wenangan." "Fleksibilitas yang tinggi dan birokrasi yang sederhana tidak bisa dipertukarkan dengan kepastian hukum, antikorupsi, dan demokrasi," kata Jokowi, yang pada masa kecilnya pernah merasakan digusur. "Penegakan nilai-nilai demokrasi juga tak bisa ditawar."

Ia juga menegaskan bahwa "hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu." Ia mengatakan demikian setelah sebelumnya menegaskan bahwa "pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi."

[Teks lengkap pidato Jokowi dapat dibaca di sini].

Memarahi Diri Sendiri

Wakil Koordinator III Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar berkomentar sinis terhadap bagian pidato tersebut. Ia mengatakan diksi HAM kerap sebatas "komoditas dari setiap pidato," namun pada praktiknya jauh panggang dari api.

"Presiden Jokowi seperti memarahi diri sendiri," kata Rivan kepada wartawan Tirto, Jumat (14/8/2020) siang.

Menurutnya, selama selama satu tahun terakhir saja, pemerintahan Jokowi melakukan banyak pengabaian HAM. Salah satu contohnya adalah ketika pemerintah mematikan jaringan internet di Papua dan Papua Barat. Waktu itu sedang terjadi protes besar-besaran terhadap aksi rasisme mahasiswa Papua di Surabaya. Protes kerap berujung kerusuhan. Pemerintah mengatakan pemblokiran dilakukan untuk meredam "informasi hoaks."

Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika digugat warga sipil karena kebijakan tersebut, dan mereka dinilai bersalah oleh hakim.

Ia juga menyebut Jokowi tak konsisten. Jokowi mengklaim mengedepankan kebijakan ramah lingkungan dan HAM, namun Februari lalu ia sempat mengucapkan sebaliknya: lingkungan dan HAM bukan prioritas.

Hal senada juga dikatakan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.

"Tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM dituntaskan, bahkan relatif tidak ada langkah maju. Pasal-pasal kriminalisasi di berbagai peraturan perundang-undangan dipertahankan keberlakuannya," kata Asfin, Jumat siang.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menegaskan yang terjadi saat ini justru pengabaian terhadap perlindungan lingkungan hidup dan HAM. Industri ekstraktif yang didukung penuh pemerintah selama ini telah merusak ekosistem, menghilangkan sumber-sumber pendapatan petani, nelayan, serta masyarakat adat.

"Saat Presiden menggunakan pakaian adat dari NTT, warga di Desa Basipae, NTT, diusir dari tanahnya. Nelayan di Kepulauan Sangkarrang, Sulawesi Selatan, dirusak wilayah tangkapnya oleh penambang pasir dari Belanda. Semuanya untuk melanggengkan proyek-proyek ekonomi ala pemerintahan Jokowi," kata perempuan yang akrab disapa Yaya itu, saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat siang.

Contoh lain adalah banjir besar yang pernah terjadi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, pada Juli lalu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan salah satu faktornya akibat alih fungsi lahan karena keterbutuhan lahan sawit--salah satu industri andalan pemerintah.

Semua kebijakan yang belum ramah lingkungan ini, kata Yaya, sudah terjadi bahkan sebelum RUU Cipta Kerja yang bakal menghapuskan aturan-aturan lingkungan hidup yang prinsipil dan mendasar disahkan.

Laporan tahunan WALHI yang berjudul Tinjauan Hidup Lingkungan 2020: Menabur Investasi, Menuai Krisis Multidimensi menyebut potensi besar wilayah pesisir dan laut seharusnya mampu membawa kembali kejayaan Indonesia sebagai poros maritim dunia sebagaimana visi Jokowi. "Ironisnya," katanya, "visi poros maritim dunia dalam realisasinya justru melahirkan kebijakan yang memperparah kondisi krisis pesisir, laut, dan pulau kecil."

"Dari total 3,4 juta hektare hutan bakau di wilayah pesisir, lebih dari separuhnya, sebesar 1,8 juta hektare, dalam kondisi rusak. Sebagian besar kerusakan ekosistem hutan bakau tersebut karena abrasi, tambang pasir, reklamasi, proyek infrastruktur dan pembangunan kawasan ekonomi khusus."

Yaya bersama koalisi masyarakat sipil lain yang mengadvokasikan kelestarian lingkungan mendesak Jokowi segera menghentikan pola-pola lip service yang tidak sesuai fakta. Jokowi dinilai harus segera melakukan refleksi dan secara serius dan melakukan transformasi mendasar.

"Keseriusan ini bisa kita nilai dari aksi konkret pemerintah menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Kami berharap Presiden menarik kembali supres (surat presiden) untuk pembahasan RUU ini di DPR," katanya.

Jokowi menganalogikan keadaan dunia saat ini, termasuk Indonesia, seperti komputer. Pandemi membuat "semua negara harus menjalani proses mati komputer sesaat, harus melakukan restart." Pandemi COVID-19 juga membuat "semua negara mempunyai kesempatan men-setting ulang semua sistemnya."

Lalu, mampukah Jokowi melakukan itu semua di sektor lingkungan dan HAM?

Baca juga artikel terkait PIDATO KENEGARAAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika & Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo & Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika & Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino