tirto.id - Dua dari lima fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada 2019-2024 adalah pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur. Ini Jokowi nyatakan dalam pidato pelantikan yang digelar Ahad (20/10/2019) kemarin di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta.
“Ketiga, segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan, harus kami potong, harus kami pangkas. Keempat, penyederhanaan birokrasi harus terus kami lakukan besar-besaran,” katanya. Yang terakhir, “adalah transformasi ekonomi.”
Isu lain yang sebetulnya penting tapi ter(di)abaikan adalah penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Ini tidak Jokowi singgung sama sekali dalam pidato, padahal itulah yang jadi pusat perhatian masyarakat dalam beberapa bulan terakhir.
Sepanjang September-Oktober, karena merasa ada yang salah dengan hukum di Indonesia, masyarakat beramai-ramai turun ke jalan. Mereka menuntut banyak hal terkait penegakan hukum, termasuk meminta Jokowi menerbitkan Perppu KPK tapi sampai sekarang tak juga dikabulkan.
Di beberapa tempat, demonstrasi #ReformasiDikorupsi bahkan sampai menelan korban jiwa.
Pun dengan kerusuhan di Papua. Di sana bahkan yang tewas sampai puluhan. Peristiwa ini menambah panjang kasus pelanggaran HAM yang semestinya dituntaskan Jokowi.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, kecewa karena dalam momen penting seperti pelantikan--saat ada belasan perwakilan negara tetangga, hal-hal tersebut diabaikan Jokowi. Menurutnya pidato itu adalah indikasi kalau pada periode kedua ini pemerintah akan terus mengabaikan HAM.
“Melupakan pelanggaran HAM masa lalu sudah berlangsung, sejak 2014-2019, dan tampaknya akan terus begitu,” tegas Asfin kepada reporter Tirto, Ahad (21/10/2019) kemarin.
Menurut laman kpu.go.id, visi Jokowi-Ma'ruf adalah mewujudkan “Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong-royong.” Untuk dapat mewujudkan itu, visi dijabarkan lewat sembilan misi. Pada tiap-tiap misi terdapat program yang total penjelasannya mencapai 38 halaman.
Misi nomor enam sebenarnya berisi janji penegakan hukum dan HAM. Redaksionalnya: “penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Di dalamnya terdapat janji “penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.”
Meski demikian, menurut Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kalau memang Jokowi benar-benar berniat melaksanakan visi-misi itu, semestinya ia menyampaikannya dalam pidato. Agar janji itu terekam jelas, dan supaya didengar pula termasuk oleh perwakilan dari negara tetangga.
Kepada reporter Tirto, Usman khawatir tidak ada penegakan hukum dan HAM dalam pidato pelantikan “bukan lagi upaya melupakan, melainkan untuk menyangkal kejahatan masa lalu.”
Ia bahkan mengatakan pemerintahan Jokowi menyimpang dari semangat reformasi yang ingin menyelesaikan kasus HAM di era Orde Baru sekaligus tidak lagi mengulanginya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka malah menumpuk persoalan baru, kasus-kasus yang tadi dijabarkan Asfin.
“Setiap politisi yang terpilih menjadi presiden tentu boleh memiliki visi dan misi yang berbeda satu dan lainnya, tapi tidak boleh keluar dari garis-garis besar ketetapan reformasi,” kata Usman.
Bukan Forumnya
Moeldoko, mantan Kepala Staf Kepresidenan, sempat mengatakan kalau sebenarnya “presiden ingin menyelesaikan ini (kasus pelanggaran HAM).”
“Tapi masalahnya,” kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (18/10/2019), seperti dikutip dari Antara, “persoalan masa lalu sudah cukup lama sehingga ketersediaan bukti, saksi, dan unsur-unsur inilah yang menghambat penyelesaian secara tuntas.”
Sementara Mantan Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, mengatakan forum pelantikan bukan tempat yang tepat untuk memaparkan seluruh detail rencana kerja. Detail rencana kerja semestinya dilihat di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
“Mereka [yang protes soal HAM] tidak mengerti konteks,” kata Eko kepada reporter Tirto.
Dalam RPJMN (PDF, hlm 204), disebutkan kalau pembangunan politik, hukum, pertahanan dan keamanan Indonesia 2020-2024 diarahkan menuju kelembagaan politik dan hukum yang mapan. Dan kondisi ini ditandai di antaranya dengan “terwujudnya konsolidasi demokrasi; terwujudnya supremasi hukum; penegakan hak asasi manusia dan birokrasi profesional.”
Pada halaman lain (hlm 236) disebutkan mengenai penerapan keadilan restoratif untuk menyelesaikan sengketa, termasuk “mengedepankan upaya pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban, termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri