Menuju konten utama

Pekerjaan Rumah Penegakan HAM Jokowi dan Otokritik Para Aktivis

Selain pemerintah yang kurang komitmen, evaluasi juga harus dilakukan terhadap pegiat HAM.

Pekerjaan Rumah Penegakan HAM Jokowi dan Otokritik Para Aktivis
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-509 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2017). ANTARA FOTO/Bernadeta Victoria

tirto.id - Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh pada 10 Desember jadi momentum para pegiatnya untuk kembali menarik atensi publik. Ragam acara dan upaya diselenggarakan dengan tujuan agar pelanggaran HAM di masa lalu dapat diselesaikan, sehingga tidak ada lagi kasus yang sama terjadi di masa depan.

Namun, penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia mandek. Bahkan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada peningkatan pelanggaran HAM pada Januari-Oktober 2017. Temuan ini diperkuat dengan angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016 yang berada pada 70,09. Padahal, angka IDI 2015 berada pada 72,82.

Bahkan Presiden Joko widodo (Jokowi) mengakui betapa sulitnya hal itu dilakukan. Dia bilang, agar bisa dituntaskan, maka dibutuhkan "kerja kita semuanya, kerja bersama antara pemerintah pusat dan daerah dan seluruh komponen masyarakat."

Koordinator KontraS Yati Andriani mengatakan bahwa mandeknya penegakan HAM di Indonesia bukan semata karena pemerintah yang kurang komitmen. Namun juga penggerak HAM-nya sendiri yang perlu melakukan evaluasi atas advokasi mereka selama ini. Yanti, dalam hal ini, melakukan otokritik.

Baca juga:KontraS: Pelanggaran HAM Tertinggi Terjadi di Jakarta

Otokritik pertamanya adalah soal respons terhadap perubahan zaman. Menurutnya, pegiat HAM kurang responsif soal ini.

"Menurut saya memang perlu pendekatan yang terbaru dalam advokasi HAM," katanya di Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2017).

Langkah pertama yang seharusnya dilakukan pegiat HAM adalah dengan menjadikan anak muda sebagai pusat advokasi. Menurutnya, anak muda perlu diberikan pemahaman soal HAM dengan instrumen yang beragam. Misalnya, dengan pendekatan audio-visual.

Ini berkelindan dengan apa yang sebetulnya telah aktivis HAM lakukan sejak jauh-jauh hari, yaitu memanfaatkan media sosial semaksimal mungkin. Medium media sosial akan semakin maksimal menjangkau "telinga" publik ketika diformulasikan dengan konten yang menarik.

"Kita harus menggunakan ruang itu untuk mengedukasi masyarakat secara lebih luas," kata Yati.

Soal kampanye berkaitan dengan otokritiknya yang kedua, yaitu bahwa isu HAM masih sangat sektoral. Isu-isu HAM, misalnya, terasa masih sangat jauh dari gerakan buruh atau tani. Menurutnya, paradigma bahwa "hanya aktivis yang bicara HAM," harus diubah jadi "semua orang bicara HAM".

Aktivis HAM harus bisa menjangkau semua kalangan. Hanya dengan cara itu, yang dilakukan secara konsisten, isu HAM bisa "membumi".

"Ia [isu HAM] harus jadi isu yang membumi di setiap wilayah sesuai dengan persoalan yang ada. Kita, sebagai ormas [yang fokus di isu tersebut] juga harus siap berkomunikasi, siap berdiskusi, dengan segara risiko dan konsekuensinya," kata Yati.

Secara tidak langsung Yati mengkritik aktivis HAM "menara gading" yang "hanya ada di panggung-panggung atau dari tulisan-ke tulisan". "Tetapi sebetulnya tidak membumi, tidak punya tindakan yang konkret terhadap situasi yang terjadi di lapangan," demikian katanya.

Tetap Harus Tekan Pemerintah

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PHSK) Gita Putri setuju dengan pendapat Yati. Kolaborasi antar lembaga jadi isu sentral di dalamnya. Pun dengan substansi bahwa HAM tidak boleh lagi dilanggar oleh siapapun.

Dengan dasar ini, katanya, aktivis atau lembaga yang kadang berseberangan mungkin saling bekerja sama. Misalnya antara KontraS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dua organisasi ini jelas berbeda dalam banyak hal, tapi bisa bekerja sama untuk menolak UU Organisasi Masyarakat.

"Ruang dialog harus tetap ada dan dibuat sehat," kata Gita.

Namun, semasif apapun aktivis "membumikan" persoalan HAM dan berjejaring satu sama lain, kuncinya tetap ada di pemerintah. Aktivis harus tetap menekan pemerintah dengan beragam cara. Terlebih penegakkan HAM adalah salah satu janji Joko Widodo yang tertuang dalam Nawacita.

"Kalau dari pemerintahnya sendiri tidak ada keberpihakan akan sulit," kata Gita, di acara yang sama.

Gita mengatakan, sebagaimana semua aktivis HAM lain, pemerintahan Jokowi masih abai dalam penegakan hukum. Penegakkan hukum masih jauh tertinggal, misalnya, dibanding isu pendidikan dan kesehatan, apalagi infrastruktur.

Bagi pemerintah, persoalan HAM memang masih jadi pekerjaan rumah. Presiden Jokowi sendiri mengakui soal ini.

"Saya menyadari masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah perihal penegakan HAM yang belum bisa tuntas diselesaikan," kata Presiden Joko Widodo di Solo, Minggu, dalam acara peringatan hari HAM Sedunia ke-69.

Jokowi mengaku terima kasih kepada Komnas HAM, dan komnas-komnas lain dan rekan-rekan akitivis HAM yang tiada hentinya memperjuangkan rasa keadilan masyarakat.

"Selamat Hari HAM Sedunia dan selamat bekerja bersama untuk membangun fondasi HAM yang kokoh untuk Indonesia yang adil untuk Indonesia yang makmur untuk Indonesia yang sejahtera," kata Jokowi seperti dikutip Antara.

Baca juga artikel terkait HAK ASASI MANUSIA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino