tirto.id - Petani kelapa sawit swadaya hanya bisa gigit jari setelah hampir tiga tahun program biodiesel berjalan. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan sejak program B20 dimulai hingga menjadi B30, mereka tak mengalami perbaikan kesejahteraan.
Ini bertentangan dengan klaim pemerintah kalau biodiesel sanggup menyumbang perbaikan harga di tingkat petani. Menurut kajian manfaat ekonomi-sosial di laman Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, program ini diklaim bakal sanggup membantu 478.325 petani sawit (on farm) pada 2018, 828.488 (2019), hingga 1,2 juta (2020).
Harga sawit di tingkat petani diberi nama 'tandan buah segar (TBS)' yang mengikuti harga rata-rata crude palm oil (CPO) domestik. Harga TBS bisa lebih rendah bila pemerintah mengenakan pungutan ekspor kepada perusahaan sawit yang dikumpulkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Darto bilang jika pemerintah menerapkan mandatori B20-B30, jumlah sawit yang diserap oleh pasar bisa meningkat. Idealnya harga CPO dalam negeri bisa naik dan berakibat TBS ikut meningkat--bisa Rp2.000/kg atau sedikit di atasnya.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) mencatat rata-rata harga CPO tahun 2015 di pasar spot Medan Rp7.469/kg. Pada 2018 harga rata-rata CPO pasar spot Medan mencapai Rp7.690,46 saat mandatori mulai diberlakukan meski turun lagi menjadi Rp7.086,51/kg per 2019 karena fluktuasi harga internasional. Di sisi lain, harga TBS di tingkat petani tak kunjung bergerak signifikan.
“Harga [dari] petani kecil sejak diberlakukan B20-B30 tidak ada perubahan. Tidak menolong,” ucap Darto kepada reporter Tirto, Rabu (12/11/2020).
Pada 2015, harga berada di kisaran Rp1.600-1.700/kg. Menurut data Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), harga rata-rata TBS di Riau dan Jambi tahun 2018 hanya Rp1.696/kg dan Rp1.591/kg. Pada 2019 hanya Rp1.546/kg dan Rp1.455/kg. Tren ini berlanjut hingga saat harga sawit mengalami perbaikan. Harga rata-rata di pasar spot Medan Januari-November 2020 mencapai Rp9.408,77/kg, tetapi harga rata-rata TBS di Riau dan Jambi hanya Rp1.813/kg dan Rp1.735/kg.
Menurut Darto, permasalahan ini disebabkan seluruh bahan baku biodiesel hanya disuplai oleh perusahaan sawit besar, katanya, bahkan sebagian dari mereka juga memiliki pabrik biodiesel.
Tata kelola ini mesti diubah. Bila pemerintah mau mensejahterakan petani sawit, seekurang-kurangnya sawit dari mereka harus diberikan hak berkontribusi terhadap 10-20% suplai sawit untuk keperluan biodiesel.
Permintaan Darto bisa dimengerti karena faktanya menurut BPS porsi kebun sawit rakyat mencapai 5,81 juta pada 2018 alias 45,54% atau separuh kebun sawit yang tercatat. Sisanya, 6,36 juta atau 49,81%, dikuasai swasta.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, Senin (31/8/2020) lalu, menyatakan sebenarnya program biodiesel ini sudah bermasalah dari awal. Misalnya klaim soal dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Indikator itu tetap buruk sejak program ini dimulai tahun 2018--dalam komposisi B20. Berdasarkan perhitungan opportunity cost, ia mencatat sebenarnya terjadi defisit perdagangan Rp85,2 triliun (2018) dan Rp72,1 triliun (2019).
Tidak hanya itu, selama program, katanya, biodiesel terus dilayani dengan subsidi BPDPKS tetapi aliran yang masuk ke petani sawit minim. Padahal di satu sisi dana BPDPKS diperoleh salah satunya dengan mengurangi harga TBS di tingkat petani.
“Petani sawit dirugikan,” simpul Faisal dalam rapat Komisi VI DPR RI.
Majalah Tempo edisi 13 Juni 2020 mencatat selama 2016-2029 dana untuk biodiesel mencapai Rp29,2 triliun, sedangkan peremajaan sawit rakyat hanya Rp2,65 triliun. Laporan BPK RI juga menunjukkan hanya Rp88 miliar atau 0,39% yang mengucur ke peremajaan selama 2017-2019, sedangkan sisanya ke subsidi biodiesel 96,83% atau Rp21,217 triliun.
Meski alokasinya jomplang, baru-baru ini pemerintah menambah lagi dana BPDPKS. Totalnya Rp2,78 triliun dengan dalih Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Faisal Basri juga mengkritik kucuran dana Rp4 triliun dalam PEN untuk PTPN. Ia bilang, “pantes enggak PTPN dapat Rp4 triliun dan petani enggak dapat? PTPN, kan, pesaing rakyat. Masak negara ikut berkebun?”
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyatakan produsen biodiesel sebetulnya tak memiliki data mengenai sumber sawit yang digunakan pabrik pengolahan ketika menyuplai kepada mereka. Oleh karena itu ia tak tahu apakah sawit yang digunakan pabrik pengolahan memang tidak mencangkup sawit perkebunan petani swadaya.
Oleh karena itu akan lebih efektif jika SPKS “berkomunikasi dengan pabrik refinery/RBDPO dan PKS/CPO,” ucap Paulus kepada reporter Tirto, Kamis (12/11/2020).
Sementara Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menyatakan pemerintah akan berusaha agar program biodiesel bisa dinikmati dan memberi manfaat semua pihak, termasuk petani. Meski demikian, ia belum dapat memastikan apakah mungkin pemerintah mewajibkan program biodiesel menggunakan sekian persen sawit dari petani seperti keinginan SPKS.
“Ini perlu dikaji, untuk memastikan pasokannya on time apa tidak dan lainnya. Tapi peluang bisa saja. Hanya mungkin tidak perorangan, kontraknya akan sulit. Bisa melalui koperasi,” ucap Feby kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino