tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku tetap memercayai hasil kajian Badan Pusat Staristik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12 persen pada triwulan II 2025. Hal ini Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, nyatakan merespons para ekonom yang meragukan data BPS.
Ani menyebutkan pemerintah selama ini telah mengacu kepada rilis-rilis BPS. Data hingga sumber informasi dari BPS disebut tetap dapat dipercayai.
"Kita selama ini menggunakan BPS kan ya. Jadi, BPS tentunya menjelaskan mengenai datanya, metodologinya, sumber informasinya, kita tetap memercayai BPS," ucapnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2025).
Ani menilai BPS akan selalu tetap berpegang kepada integritas mereka. Di satu sisi, Pemerintah Pusat juga disebut memercayai Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
"Ya, kan kita lihat semua indikator berdasarkan BPS, DTSEN, mengenai rumah tangga juga dari mereka. Jadi, saya rasa BPS tetap berpegang kepada integritas pada datanya," tuturnya.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, sebelumnya menilai banyak data yang dirilis tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan dan tak sejalan dengan data-data lain yang dikeluarkan pemerintah.
“Kalau kita melihat dari apa yang disampaikan oleh BPS, begitu ya, terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” kata Andry dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025, Rabu (6/9/2025).
Ia menyebut, berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari asosiasi dan pelaku industri, kinerja ekonomi pada bulan kedua tahun ini belum terlihat kuat dan belum sejalan dengan data BPS. Terutama jika melihat sektor-sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, serta pertambangan.
Lapangan usaha perdagangan yang tumbuh 5,37 persen versi BPS, misalnya, berbeda dengan pernyataan para asosiasi ritel yang menyebut permintaan justru melemah. Terlebih, ada fenomena yang mengindikasikan pelemahan daya beli, yakni Rojali atau rombongan jarang beli.
Selain itu, data sektor akomodasi dan makanan juga dinilai tidak sesuai. Andry mempertanyakan lonjakan pertumbuhan sektor ini di tengah kebijakan efisiensi perjalanan dinas oleh pemerintah pusat dan daerah.
“Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan pemerintah seharusnya pertumbuhan dari penyediaan akomodasi dan makanan itu menurun, tetapi sangat mencengangkan meskipun pertumbuhannya tidak sebesar pertumbuhan di tahun lalu tapi jauh di atas pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































