tirto.id - Perang Pasifik membuat kuliah Soedarpo Sastrosatomo tak selesai. Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia bergabung dengan jaringan Sutan Sjahrir, tokoh pergerakan bawah tanah antifasis Jepang di Jakarta.
Setelah Jepang kalah, ia belum juga bisa kuliah lagi karena kecamuk revolusi kemerdekaan. Saat itu ia "ditanam" di New York untuk menegakkan kedaulatan RI. Setelah bekerja di Kementerian Luar Negeri di Amerika Serikat, Soedarpo kembali ke Indonesia. Namun, bukan untuk kuliah, tapi berbisnis.
“Kalau menguasai bidang itu (bisnis), meskipun minoritas, bisa ikut menentukan,” ujar Soedarpo seperti terdapat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981:598). Hal itu ia utarakan karena Soedarpo melihat Amerika Serikat yang mengakui kedaulatan Israel (Yahudi)--salah satu penguasa bisnis internasional.
Oktober 1952, Soedarpo mendirikan Soedarpo Corporation. Istrinya, Minarsih Wiranatakusumah alias Mien, putri RAA Wiranatakusumah V—yang pernah jadi Bupati Bandung, Menteri Dalam Negeri, dan Walinegara Pasundan—juga ikut memimpin perusahaan.
Rosihan Anwar dalam Bertumbuh Melawan Arus: Soedarpo Sastrosatomo, Suatu Biografi (2001:184) menyebutkan bahwa Soedarpo memulai usahanya dengan modal 100 ribu rupiah. Usahanya antara lain di bidang impor beras dan tepung, menjual alat-alat kantor, dan merintis usaha pelayaran.
Dalam berniaga, Soedarpo berhubungan dengan pelbagai kalangan, di antaranya orang asing yang tinggal di Indonesia dan orang-orang partai. Ia misalnya berdagang dengan Sarwono dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Mardanus dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
“Cara bekerja begitu adalah biasa waktu itu. Kita kerjasama dengan pedagang-pedagang walaupun ideologi politiknya lain. Dari impor beras kita bisa bikin duit,” ujar Soedarpo. Sebagai jaringan Sjahrir, ia tentu dicap sebagai Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Pada November 1952, Archibald King--pimpinan perusahaan pelayaran Istheman Lines--memintanya untuk mengambil alih agensi perkapalan International Shipping and Transport Agencies (ISTA) agar terkesan sebagai perusahaan Indonesia. Saat itu Soedarpo belum paham soal pelayaran, tapi ia berani memulainya meski sulit.
Dalam hitungan bulan, tepatnya pada Maret 1953, Soedarpo menjadi pemegang saham 75 persen dan jabatan perdananya di bidang pelayaran adalah Managing Director di ISTA. Keagenan itu kian berkembang.
Soedarpo kemudian mendirikan veem—perusahaan pergudangan pelabuhan—bernama Indonesia Stevedoring Limited (Instel) di Tanjung Priok. Thalib Ibrahim dalam Jiwa Juang Bangsa Indonesia (1975:31) menyebut di era 1950-an perusahaan veem dimonopoli oleh orang-orang Belanda.
Di antara perusahaan veem milik orang Indonesia yang sedikit jumlahnya, selain milik Soedarpo ada juga Java Madura Veem milik Panji Sur. Ketika Perdana Menteri Djuanda merilis Peraturan Pemerintah nomor 6 bahwa pengusaha asing tidak boleh menjalankan perusahaan veem, maka Soedarpo membeli perusahaan veem Stroo Hoeden Veem di Tanjung Perak, Surabaya.
Namun, setelah banyak pengusaha asing hengkang dari Indonesia, pada 1960-an seperti disebut Rosihan Anwar (2001:210), dunia pelayaran di Indonesia kocar-kacir. Kabar buruk lain untuk Soedarpo adalah terkait PSI.
“Setelah Sumitro [Djojohadikusumo] terlibat dalam PRRI, Presiden Sukarno mendapat dalih bagus untuk membubarkan PSI dan Masyumi pada Agustus 1960,” tulis Rosihan Anwar.
Meski PSI kemudian dibubarkan, sebagai orang PSI Soedarpo ternyata masih bisa mempertahankan bisnisnya. “Makin kurang bicara politik, makin baik. Itulah sikap politik yang harus ditegakkan. Jaga, jangan sampai terlibat dalam isu-isu politik,” kata Soedarpo dalam biografinya.
Apa yang terpikir oleh Soedarpo dalam menghadapi masa penuh pergolakan itu, tampaknya bisa menjadi pesan bagi banyak pengusaha generasi setelahnya. “Ambil jarak dengan politik,” kata Soedarpo, “Dan tampil di hadapan mereka hanya sebagai pengusaha yang sangat busuk.”
Situasi pelayaran di Indonesia yang tengah kocar-kacir membuat Ali Sadikin selaku Menteri Perhubungan Laut mengambil langkah-langkah strategis. Ia menciutkan jumlah perusahaan pelayaran, sementara jumlah kapal ditingkatkan. Perusahaan-perusahaan itu kemudian saling merger. Soedarpo sendiri merger dengan Sumendap—yang mewakili perusahaan pelayaran Kie Hok dan Sutan Han Saibi.
Di masa konsolidasi dengan pengusaha lain, Soedarpo harus ditangkap polisi karena bawahannya melakukan kecurangan, tapi akhirnya ia dibebaskan. Tahun 1964, seminggu setelah Soedarpo bebas, PT Perusahaan Pelayaran Samudera yang kemudian dikenal sebagai Samudra Indonesia didirikan. Soedarpo menjadi direktur utama dari 1964 hingga 2000. Hingga wafat pada 22 Oktober 2007, tepat hari ini 14 tahun lalu, ia masih tercatat sebagai Komisaris Utama PT Samudera Indonesia.
Perusahaan ini mulanya hanya mempunyai dua kapal, tetapi baru dan modern buatan Jerman Barat. Dalam hitungan tahun, ada penambahan empat kapal. Untuk pelayaran dalam negeri, ia mendirikan PT Panujwan. Thalib Ibrahim menyebutkan bahwa Soedarpo adalah orang Indonesia pertama yang punya kapal baru dan serba modern yang melintasi 7 samudra di seluruh dunia.
Selain merajai bidang pelayaran, Soedarpo juga terkait dengan bisnis Asuransi Bintang dan Bank Niaga. Tahun 2006, ia masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes.
==========
Versi awal artikel ini ditayangkan pada 19 Oktober 2020. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh