tirto.id - Pekan lalu Twitter dipenuhi lelucon soal gaya tutur “anak Jaksel” yang keinggris-inggrisan, yang kebanyakan dicuitkan oleh warganet Jakarta, salah satu ibu kota paling cerewet di dunia.
Mereka membahas stereotip “anak gaul” yang diidentikkan tinggal di selatan Jakarta, yang bicara "gado-gado" alias keminggris di tengah percakapan Bahasa Indonesia—which is mereka mostlyhangout ke tongkrongan paling commonand feel the vibe.
Dalam teorinya, bahasa “gado-gado” dipakai terutama dalam interaksi informal (Nababan, 1993: 32). Nancy Tanner, yang meneliti para elite Indonesia pada 1967, menulis bahwa percakapan "gado-gado"—keminggris maupun kemlondo—banyak ditemui di kalangan pebisnis, akademisi, dan lembaga pemerintah.
Kelompok sosial yang saat itu hanya terdiri dari 1-3 persen penduduk Indonesia ini umumnya dari kalangan terdidik, belajar bahasa Inggris di sekolah menengah eksklusif dan universitas terbaik, serta belajar di negara-negara berbahasa Inggris.
Campur aduk bahasa ini juga menandakan proses modernisasi. Penuturnya ingin dianggap tanggap. Dalam beberapa kasus, istilah Bahasa Inggris digunakan karena dapat menambah status penutur sebagai anggota elite terdidik.
Soeseno Kartomihardjo, dalam disertasinya mengenai etnolingustik di Jawa Timur (1979: 285), mengungkapkan status Bahasa Inggris saat itu adalah “bahasa intelektual … memiliki prestise tertentu dan sering digunakan dalam pelbagai situasi, kadang-kadang bahkan oleh orang-orang yang tidak mengerti Bahasa Inggris.”
Pendeknya, bahasa bisa mencerminkan dan menopang status kelas.
Tapi, itu masa yang lampau sekali, sementara bahasa bersifat plastis, cepat berubah dan beberapa kata yang jarang dipakai, mau tak mau, menjadi arkaik.
Saya mewawancarai Valentino Febriano, guru Bahasa Inggris SMA Negeri 70, yang mengajar sejak 2007. Sekolah ini terletak di Bulungan, Jakarta Selatan, salah satu sekolah favorit.
Ia mengatakan bahwa predikat “anak Jaksel” yang bicara keminggris—atau mungkin untuk menggambarkan kemampuan berbahasa Inggris “anak Jaksel” itu baik—hanyalah stereotip.
“Saya sehari-hari meng-handle bahasa Inggris,” ujarnya dalam percakapan telepon. “Harus diakui, ada beberapa yang memang kemampuan bahasa Inggrisnya sudah sangat baik sehingga saya berkomunikasi dengan anak-anak tersebut dengan Bahasa Inggris secara lancar, bahkan mungkin akan sedikit canggung seandainya saya bicara dalam Bahasa Indonesia.”
“Tapi banyak juga anak-anak yang kemampuan bahasa Inggrisnya di bawah rata-rata dan itu belum tentu datang dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah,” lanjut Valentino.
Jadi, tambahnya, kemampuan berbahasa Inggris tergantung “dengan siapa mereka bergaul, apa yang mereka tonton, apa yang mereka dengarkan, dan apa yang mereka browsing atau googling.”
Sekolah tempat mengajar Valentino, pada Ujian Nasional 2017, menunjukkan rata-rata nilai Bahasa Inggris anak didiknya relatif berimbang dengan nilai Bahasa Indonesia. Di Kelas IPS, rata-rata nilai bahasa Indonesianya 83,07 dan nilai Bahasa Inggrisnya 79,27. Sementara di kelas IPA, nilai bahasa Indonesia mereka 83,97 dan bahasa Inggrisnya 81,95.
Saya penasaran untuk mengetahui lebih detail nilai ujian nasional kedua mata pelajaran bahasa itu di kalangan anak-anak SMA di Jakarta. Saya juga mendata sebaran sekolah internasional di Jakarta.
Saya membatasi pencarian hanya sekolah tingkat SMA atau MA karena siswa-siswi di usia mereka, teorinya, telah mampu mengidentifikasi dan membedakan kapan sebaiknya menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Data yang saya pakai dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan (Kemendikbud) dan International Schools Database.
Sekolah Internasional dan Nilai UN Bahasa di Jakarta
Ada 612 sekolah di Jakarta, dan 8,7 persen atau 53 di antaranya adalah sekolah yang mengadopsi kurikulum asing alias sekolah internasional.
Dari data itu 40 persen atau 21 sekolah internasional berlokasi di Jakarta Selatan. Kedua terbanyak ada di Jakarta Utara (17 sekolah). Sementara di Jakarta Barat dan Jakarta Timur masing-masing ada 6 sekolah internasional. Di Jakarta Pusat sendiri hanya ada 3 sekolah.
Dari data nilai UN 2017 di Kemendikbud, rata-rata nilai Bahasa Indonesia siswa SMA/MA di Jakarta jauh lebih baik dibanding nilai UN Bahasa Inggris: 72,71 berbanding 59,36.
Di sisi lain, rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia di sekolah internasional memang tak lebih tinggi dari rata-rata nilai UN Bahasa Inggris. Namun, selisih skornya kecil: 71,76 untuk nilai Bahasa Indonesia dan 79,73 untuk nilai Bahasa Inggris.
Data itu juga menunjukkan, berdasarkan wilayah sekolah, rata-rata nilai UN Bahasa Inggris tertinggi ada di sekolah-sekolah di Jakarta Barat (61,62) dan kedua di Jakarta Selatan (61,54). Sementara, dengan kategori yang sama, sekolah-sekolah di Jakarta Barat juga menempati posisi tertinggi untuk rata-rata nilai UN Bahasa Indonesia (73,86); adapun sekolah di Jakarta Selatan menempati urutan ketiga (72,99) setelah Jakarta Pusat (73,48).
Bila ditarik ke tingkat global, kecakapan berbahasa Inggris orang Indonesia merosot, berdasarkan skor EF English Proficiency Index yang mengukur kecakapan Bahasa Inggris orang dewasa di seluruh dunia.
Dari 2013 hingga 2016, Indonesia masuk dalam kategori menengah. Di level ini, rata-rata orang Indonesia dianggap mampu berpartisipasi dalam pertemuan mengenai bidang keahlian yang dikuasai, memahami lirik lagu, dan menulis email profesional mengenai hal yang sudah dikenal.
Namun, pada 2017, peringkat Indonesia jatuh ke kategori rendah (skor 52,15) dan menempati peringkat 39 dari 80 negara. Ia menunjukkan kecakapan berbahasa Inggris orang Indonesia sebatas mampu mengobrol ringan dengan rekan kerja, bepergian di negara berbahasa Inggris sebagai wisatawan, dan memahami surel sederhana dari rekan kerja.
Berbahasa Inggris karena Terbiasa
Riskia Ramadhina, guru kelas satu SD di salah satu sekolah internasional di Jakarta Selatan, mengatakan bahwa orang-orang bisa bicara Inggris lantaran terbiasa, apalagi bila diajarkan sejak dini dan didukung lingkungan sekitar.
“Perkembangan bahasa itu dari bahasa lisan, baru kemudian bahasa tulis, ketika masih kecil diajak omong dulu sama orangtua dan orang sekitar,” ujar Riskia.
Dessy Kurniati Halim, guru taman kanak-kanak di Global Nusantara School Jakarta, juga mengatakan hal yang lebih sama. “Kalau anak lancar berbahasa inggris, biasanya karena orangtuanya membiasakan si anak omong Inggris di rumah. Anak pasti terdorong untuk melakukan itu.”
Alasan lain, tambah Dessy, karena media saat ini pun ikut memfasilitasi anak untuk belajar bahasa Inggris.
Dari pengalamannya, ujar dia, di perpustakaan sekolahnya anak-anak lebih memilih buku bahasa Inggris. “Karena warnanya, cerita-ceritanya yang lebih menarik. Seperti buku Why? atau Diary of a Wimpy Kids," lanjut Dessy yang sudah mengajar selama 10 tahun di beberapa sekolah internasional di Jakarta.
Baik Riskia maupun Dessy mengatakan bahwa anak-anak didik mereka berasal dari keluarga menengah ke atas.
“Latar belakang keluarga banyak di seniman, seperti aktor-aktris, politikus, dan pengusaha. Polisi dan TNI juga ada,” ujar Riskia. Sementara Dessy mengatakan kepada saya bahwa orangtua anak didiknya rata-rata adalah pebisnis yang kerap bepergian ke luar negeri.
“Saya melihat ada beberapa tipe orangtua. Salah satunya yang pengin anaknya bahasa Inggrisnya bagus. Akhirnya, orangtua memasukkan anaknya ke sekolah internasional dengan harapan anaknya bisa [lancar] berbahasa Inggris,” tambah Dessy.
“Kenapa? Karena saya sudah kerja di perusahaan Jepang, di perusahaan asing. Ujung-ujungnya bahasa Inggris, Miss,” ujarnya menirukan salah satu orangtua.
Dalam satu peristiwa, ketika ia mengisahkan cerita rakyat Sangkuriang dari khazanah Sunda, anak-anak didiknya bertanya: “Sangkuriang apa ya, Miss?”
Anak-anak itu, katanya, paling banter tahu kisah Bawang Merah dan Bawang Putih, dan lebih ramah dengan cerita layar lebar seperti Frozen, salah satu film Walt Disney yang laku keras produksi tahun 2013.
Bagaimanapun kemampuan Bahasa Inggris juga tuntutan, menurut Dessy. “Kalau mereka berbahasa Inggris, mereka merasa lebih smart … dan mungkin diakui oleh teman-temannya.”
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Fahri Salam