tirto.id - Tahun ini, pemerintah kembali memberlakukan sistem zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sebelumnya diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 dan diperbarui melalui Permendikbud 14/2018. Berdasarkan regulasi tersebut, PPDB tahun 2018 akan diselenggarakan berdasarkan sistem zonasi.
Sistem ini menuntut taman kanak-kanak dan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk menerima calon peserta didik yang berdomisili di radius zona terdekat dari sekolah tersebut. Kuota penerimaan sistem zonasi mencakup 90% dari total keseluruhan penerimaan siswa.
Seperti yang dilaporkan majalah Jendela Dikbud Edisi XII/Juli 2017 (PDF), seleksi PPDB level SMP dan SMA nantinya dilaksanakan berdasarkan beberapa kriteria pertimbangan yang diurutkan menurut skala prioritas. Persyaratan pertama adalah jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan ketentuan zonasi. Selanjutnya, sekolah melihat usia calon siswa saat proses penerimaan berlangsung.
Di urutan ketiga, nilai hasil ujian sekolah (untuk lulusan SD) dan Surat Hasil Ujian Nasional atau SHUN (bagi lulusan SMP) menjadi rujukan sekolah ketika menerima murid. Terakhir, prestasi calon siswa di bidang akademik dan non-akademik yang diaku sekolah menjadi pertimbangan seleksi PPDB.
Langkah ini ditempuh sebab selama ini para siswa dan orangtua siswa memburu sekolah favorit sehingga anak-anak berprestasi dan kaya akan berkumpul dalam satu sekolah. Sementara itu, siswa yang dianggap kurang pintar dan tidak mampu akan berkumpul di sekolah pinggiran atau non-favorit.
Sistem zonasi, dengan demikian, merupakan ikhtiar mencegah para calon siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata berkumpul di sekolah favorit atau unggulan. Selain itu, pemerintah juga menjadikan sistem ini sebagai cara untuk memeratakan kualitas pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.
Tapi, pemberlakuan sistem zonasi pada PPDB tak luput dari kritik. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung, misalnya, menganggap sistem ini masih perlu perbaikan. Ia berpendapat pemerintah seharusnya menyiapkan sarana prasarana semua sekolah secara merata sebelum menerapkan sistem zonasi.
Sementara itu, Wakil Sekjen FSGI Satriawan Salim mengkritisi jumlah sekolah negeri yang tak seimbang dengan jumlah calon peserta didik. Masalah ini muncul di beberapa daerah sehingga persaingan calon siswa semakin ketat.
Sekolah Favorit
Veithzal Rivai Zainal dalam The Economic of Education: Mengelola Pendidikan Secara Profesional untuk Meraih Mutu dengan Pendekatan Bisnis (2014) mengatakan sekolah favorit (favorite school) merupakan istilah lain dari sekolah yang efektif (effective school). Ia berkata bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang input-nya baik atau kurang baik, proses pendidikannya sangat baik, dan menghasilkan output baik atau sangat baik.
Dilihat dari mutu dan proses pendidikannya, sekolah yang efektif termasuk satu dari empat kategori sekolah. Selain effective school, ada pula kelompok bad school (sekolah yang buruk), good school (sekolah yang baik), dan excellence school (sekolah unggul).
Bad school adalah sekolah yang memiliki input yang baik atau sangat baik tapi proses pendidikannya tidak baik sehingga menghasilkan output yang tidak bermutu. Good school adalah sekolah yang mempunyai input yang baik, proses baik, dan hasilnya (output) baik. Sementara itu, excellence school adalah sekolah yang input-nya sangat baik, prosesnya sangat baik, dan menghasilkan lulusan yang sangat baik pula.
Veithzal Rivai Zainal berkata sekolah favorit atau sekolah yang efektif mempunyai lima karakteristik. Ciri pertama adalah pelaksanaan praktik pengelolaan kelas yang baik. Berikutnya, para siswa mempunyai kemampuan akademik yang tinggi. Tak hanya itu, sekolah favorit mempunyai pengawasan kemajuan murid dan peningkatan pengajaran menjadi prioritas sekolah. Terakhir, sekolah favorit memiliki kejelasan arah dan tujuan.
Sementara itu, menurut Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi, sekolah favorit adalah sekolah yang dikembangkan agar unggul dalam hal keluaran (output) pendidikan. Sebuah sekolah dikatakan unggulan atau favorit apabila mempunyai beberapa ciri-ciri, yakni prestasi akademik dan non-akademik di atas rata-rata sekolah di daerah tersebut, sarana dan prasarana serta layanan lengkap, sistem pembelajaran baik, dan melakukan seleksi yang ketat terhadap calon siswa.
Pengarahan masukan (input), proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, serta sarana penunjang pun harus dilakukan untuk mencapai keunggulan tersebut. Saat ini, pemerintah menilai favorit atau tidaknya sekolah berdasarkan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Sekolah SMA, misalnya, masuk dalam sekolah terbaik di Indonesia jika sekolah tersebut sanggup menjaga IIUN dengan nilai 92-99 selama enam tahun berturut-turut.
Adanya kategori sekolah favorit dan non-favorit rupanya menyisakan masalah. Nanang Martono dalam Sekolah Publik vs Sekolah Privat dalam Wacana Kekuasaan, Demokrasi, dan Liberalisasi Pendidikan (2017) mengatakan salah satu penyebab kesenjangan proses pendidikan sekolah-sekolah di Indonesia adalah adanya istilah sekolah favorit dan non-favorit.
Menurutnya sekolah favorit mempunyai kemampuan finansial yang besar serta memiliki banyak siswa. Selain itu, mereka juga dapat menyeleksi murid berdasarkan kriteria dan mempunyai posisi tawar yang tinggi. Hal ini berpengaruh pada banyak hal, termasuk sumber pendanaan pendidikan dan kualitas serta kuantitas input sebuah sekolah.
Adanya istilah sekolah favorit dan non-favorit juga menciptakan “status sosial” sebuah sekolah. Karena itu, mereka yang bersekolah di sekolah favorit mempunyai modal sosial lebih tinggi daripada siswa dari sekolah non-favorit. Siswa sekolah favorit lebih mudah melanjutkan studi di tingkat lebih lanjut.
Dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit lantas mempengaruhi pertimbangan orang tua dan siswa ketika memilih sekolah. Masyarakat menjadikan favorit atau tidaknya sebuah sekolah sebagai dasar pertimbangan saat memilih sekolah.
Sekolah Unggulan adalah Prioritas
Bulan ini adalah bulan yang mendebarkan bagi Ida Ayu Trisnasari dan Mia Faizah. Pasalnya, kedua anak mereka akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMA dan SMP. Serupa dengan tahun lalu, pemerintah kali ini menerapkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Anak Trisnasari dan Mia dengan demikian hanya boleh mendaftar sekolah yang letaknya dekat dengan tempat tinggal.
Mia dan anaknya tinggal di Tangerang. Tapi, ia dan sang buah hati terdaftar sebagai warga Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat di Kartu Keluarga (KK). Kepada Tirto, Mia berkata bahwa ia berencana mendaftarkan anaknya di sekolah di Kecamatan Menteng dan bukan di Tangerang.
Mia berkata jarak antara rumahnya dan sekolah favorit di Tangerang terlampau jauh. Di samping itu, terdapat banyak perumahan di kota tersebut yang dapat berakibat pada tingginya persaingan antaranak. Kondisi ini berbeda dengan keadaan di Kecamatan Menteng. Ia menjelaskan pemukiman di sana telah berubah bentuk menjadi gedung perkantoran dan lain-lain. Di samping itu, jumlah sekolah bagus atau favorit pun lebih banyak dibandingkan Tangerang.
“Setahu aku [sistem zonasi mempertimbangkan] area rumahnya dulu, kecamatannya dulu, begitu kan. Kalau dari sisiku karena di situ ada sekolah favorit di kecamatanku sih jadi keuntungan buat aku ya karena sesuai dengan KK. Aku lihat ada SMP Negeri 216 dan SMP Negeri 1 yang masih Kecamatan Menteng yang satu zona,” katanya.
Mia mengerti tujuan sistem zonasi adalah mencegah adanya sekolah yang lebih menonjol daripada yang lain. Tapi, ia tetap menjadikan sekolah favorit sebagai pertimbangan ketika memilih sekolah. Menurutnya penerapan sistem zona menjadi masalah bagi orang tua ketika tak ada sekolah favorit yang letaknya dekat dengan tempat tinggal calon siswa.
“Kalau zona sih agak susah di kami kalau misalnya sekolahnya itu enggak ada sekolah favorit soalnya belum merata. Kayak misalnya bangkunya, situasi kondisi sekolahnya belum merata, kecuali kalau sudah merata lebih enak. Yang saya tahu kan sekolah favorit negeri ada pendingin ruangan, fasilitasnya hampir sama dengan swasta. Kalau sekolah negeri yang enggak jelas begitu kan jelas banget beda fasilitas tempatnya. Buat anak kan kita enggak bisa asal memasukkan aja,” jelasnya.
Setali tiga uang dengan Mia, Trisnasari berkata ia masih mempertimbangkan sekolah favorit ketika memilih sekolah meski sistem zonasi diberlakukan. Alasannya karena dirinya tak mau mengambil risiko untuk masa depan sang buah hati.
“Orang tua menyekolahkan anak, meski tergantung pada anaknya, pada kenyataannya lingkungan yang kondusif itu kan penting. Masalah kondusif dan tidak itu akan terlihat saat mereka harus berkompetisi dengan siswa SMA lain. Karena pada akhirnya mereka akan bersaing secara bebas dan tidak dibatasi zonasi,” katanya saat dihubungi Tirto.
Ia menjelaskan anaknya kini mempunyai peluang untuk mendaftar sekolah unggulan di kota Yogyakarta karena faktor kedekatan tempat tinggal. Tapi, Trisnasari bercerita bahwa teman sang anak tak dapat ikut seleksi sekolah favorit karena jarak antara tempat tinggal dan sekolah yang jauh.
“Harusnya itu di seluruh sekolah di Yogya sekolah unggulan itu diratakan dulu. Karena realitanya orang tetap ingin menyekolahkan anak di sekolah yang baik. Kalau mau diratakan dulu baru diterapkan sistem seperti ini. Karena kaitannya kan ada UN segala. Kalau kualitasnya belum rata kan kasihan,” ujar Trisnasari.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti