tirto.id - Pemerintah mengklaim telah menyempurnakan sistem zonasi dalam Program Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 yang mulai digelar Senin (4/6/2018) kemarin. Lewat sistem ini, penilaian utama bukan lagi hasil Ujian Nasional (UN), tapi jarak rumah calon peserta didik dengan sekolah.
Aturan ini sebetulnya telah diterapkan sejak tahun lalu. Namun cakupannya belum luas. Sekolah negeri, atau yang diselenggarakan pemerintah daerah, kini wajib menerima peserta didik yang berada dalam satu radius zona minimal 90 persen dari total kuota yang tersedia.
Orangtua calon peserta didik mengapresiasi sistem baru ini. Salah satunya Ilham (44), yang anaknya didaftarkan ke SMA Negeri 1 Depok. Menurutnya sistem zonasi jauh lebih baik ketimbang sistem penerimaan sebelumnya.
"Itu [sistem zonasi] memberikan kesempatan bagi siswa. Selain akademik, juga [mempertimbangkan] jarak," katanya kepada Tirto di Depok, Jawa Barat.
Menurutnya sistem yang demikian bermanfaat tak hanya bagi anaknya, tapi juga pendidikan secara umum.
Sistem zonasi, katanya, membuat distribusi anak pintar jadi lebih merata. Pada sistem sebelumnya, ada sekolah-sekolah yang memang favorit, diisi anak-anak pandai, yang belum tentu jarak rumahnya dekat.
Di sisi lain, sekolah juga "dipaksa" meningkatkan standar pendidikan.
"Ini memberikan ruang kepada SMA non-favorit menjadi favorit. Jadi dia [siswa pintar] bisa terdispersi lebih merata," kata Ilham.
Selain SMA Negeri 1 Depok, Ilham, yang sehari-hari bekerja sebagai dosen, juga mendaftarkan anaknya ke salah satu MTS di Jakarta. Kedua sekolah ini berada dalam satu zona dengan rumahnya yang ada di Beji, Depok.
Orangtua calon siswa SMA N 1 Depok yang lain, Ifrianti (42), mengatakan hal serupa. Ia menyambut baik sistem zonasi ini dan optimis anaknya bisa diterima.
"Harus yakin," kata Ifrianti.
Ketua Panitia PPDB SMA Negeri 1 Depok, Subejo, menerangkan sejak sistem zonasi berlaku pendaftar memang meningkat. Setidaknya nomor antrean yang mencapai 250 ludes sejak pagi kemarin.
"Sekarang 'kan harus mendaftar manual dulu di sekolah yang dituju, pilihan pertama, baru di online. Jadi memang harus berbondong-bondong [daftar langsung]," kata Subejo kepada Tirto.
Subejo membenarkan kalau sebagian besar yang mendaftar adalah penduduk setempat. Padahal kuota untuk sistem zonasi tak 100 persen. Belum lagi persaingan yang harus ditempuh di antara mereka.
"Membludak karena mungkin terfasilitasi. Karena selama ini SMA 1 Depok terkenal susah, tapi sekarang dibuka bebas," katanya.
Subejo paham keinginan pemerintah untuk memeratakan kualitas pendidikan dengan sistem penerimaan baru ini. Namun di sisi yang lain ia khawatir dengan kualitas yang ada.
Karena itu, menurutnya sistem ini pada akhirnya menghadirkan tantangan baru bagi sekolah. Jika selama ini SMA favorit dari awal bakal diisi anak-anak yang sudah pintar, dan dengan begitu mudah "membentuknya", namun sekarang—menurut Subejo sendiri—kemampuan siswa rata-rata saja.
"Ada tantangan di masa depan dalam membina siswa," tambahnya. Ia mengafirmasi apa yang sebelumnya dikatakan Subejo.
Masih Perlu Dikritisi
Meski beberapa orangtua siswa yang diwawancara Tirto kebetulan menanggapi positif, namun Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung menganggap sistem ini masih perlu perbaikan. Ia berpendapat, pemerintah seharusnya menyiapkan sarana prasarana semua sekolah secara merata sebelum menerapkan sistem zonasi.
Menurutnya, sekolah yang tidak berkembang, atau yang tidak difavoritkan, disebabkan karena minimnya bantuan pemerintah, bukan semata karena pengelola sekolah enggan meningkatkan kualitas pendidikan.
Fahriza juga menyinggung masalah batasan zonasi dengan kilometer tertentu.
"Dari mana asal usulnya? Apa memberikan keadilan terhadap siswanya? Terus penetapan jarak 20 kilometer dari sekolah itu dipertanyakan asal usulnya. Saya kira perlu dikritisi juga," kata Fahriza.
Sementara Wakil Sekjen FSGI Satriawan Salim mengkritisi jumlah sekolah negeri yang tak seimbang dengan jumlah calon peserta didik.
Masalah ini muncul di beberapa daerah sehingga persaingan calon siswa makin ketat. Dalam kondisi tertentu, hal itu dianggap dapat menghilangkan hak-hak siswa untuk belajar di tempat yang mereka inginkan.
Kebijakan ini menurutnya sama seperti Ujian Nasional yang cenderung menyederhanakan persoalan pendidikan yang beragam dan unik secara geografis.
Lagi-lagi pemerintah harus memikirkan dan mencari solusi mengenai ini.
"Sehingga siswa yang berasal dari kecamatan yang tidak punya sekolah negeri bisa punya akses yang sama," katanya.
Namun menurut Sekjen FSGI Heru Purnomo, masalah yang dikemukakan Satriawan bisa diselesaikan karena setiap daerah diberi kewenangan sendiri untuk mengatur luas zonasinya. Ada yang menetapkan 20 km, ada pula yang lebih luas.
"Pada Permendikbud [Nomor 14 Tahun 2018] kan setiap daerah diberi kewenangan untuk mengatur zonasinya," kata Heru.
PPDB tahun ini berlangsung dalam dua periode. Penerimaan berlangsung sejak tanggal 4 Juni 2018 hingga 8 Juni 2018. Pengumuman pendaftaran rencananya akan disampaikan pada 30 Juni 2018.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino