tirto.id -
"Itu yang saya sebut perspektif masyarakat tentang favoritisme. Masyarakat sekarang ini berangan-angan anaknya semua masuk sekolah favorit dengan segala cara," kata Suaedy di kantor Ombudsman RI, Kuningan, Kamis (13/7/2017).
Ia menilai hal itu sebagai tidak adil karena menciptakan sekolah-sekolah favorit yang mayoritas berada di kota-kota besar atau di pusat kota.
"Itu sebenarnya tidak adil dan tidak merata. Semua orang akan lari ke sekolah tersebut. Kenyataannya sekolah favorit itu hanya ada di kota-kota besar dan di pusat-pusat kota," katanya.
Ombudsman RI sendiri, kata Suaedy, dalam pengawasannya terkait sistem PPDB menemukan fakta ketimpangan itu. Misalnya, ada empat sekolah favorit yang lokasinya berada dalam satu kelurahan di salah satu pusat kota di negeri ini.
"Sedangkan yang di pinggiran tidak terfasilitasi. Ini yang harus dipindahkan ke pinggiran. Membuat sekolah yang bagus di sana dengan sistem zonasi," kata Suaedy.
Ketimpangan semacam itu, kata Suaedy, tidak lain diakibatkan karena sekolah-sekolah yang dianggap favorit tersebut leluasa memilih calon siswa degan nilai yang paling tinggi. Mereka sangat mungkin mengatrol nilai akreditasi sekolah karena akreditasi memang -- salah satunya -- mengacu kepada komponen prestasi siswa.
"Persaingan yang favorit dan yang tidak favorit atau antara yang favorit satu dan dua jadinya tidak seimbang. Nanti yang favorit akan terus favorit. Dari segi inputnya, mereka bisa dengan leluasa memilih yang memiliki nilai paling tinggi," jelas Suaedy.
Suaedy tidak setuju dengan kritik atas sistem zonasi yang menganggap sistem zonasi ditentukan oleh jarak bukan prestasi. Menurutnya, tidak semua siswa yang diterima dalam sistem zonasi karena jarak rumahnya dengan sekolah.
"Kalau kuota rombongan belajar di zona itu sudah penuh, nanti juga diurutkan sesuai NEM-nya, kok. Kalau yang tidak lolos akan difasilitasi dengan direkomendasikan ke sekolah lain yang masih satu zona atau yang berada di zona lain," katanya.
Dengan tegas Suaedy menyatakan, bila sistem zonasi tidak diberlakukan maka proses desentralisasi yang sudah berjalan selama lebih kurang 20 tahun di negeri ini tidak berimbas pada dunia pendidikan.
"Berarti selama 20 tahun desentralisasi di negeri ini, dalam dunia pendidikan belum mengarah ke situ," katanya.
Akibatnya, kata Suaedy, bisa berpengaruh pada pembangunan karakter siswa dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada sisi pemerataan sekolah saja.
"Nah, selama ini anak-anak yang punya nilai yang baik itu orang kaya, sesuai dengan [akses pada] fasilitas yang dimiliki. Maka ini yang membuat, kalau kita bicara soal pendidikan karakter, yang merusak karakter. Kalau kita merasa lebih bangga [karena masuk sekolah favorit], nah yang di bawah-bawahnya merasa tidak sama," kata Suaedy.
Untuk itu, menurut Suaedy, Ombudsman RI sejak tahun lalu telah mendorong Kemendikbud agar menerapkan sistem zonasi sebagai sebuah langkah pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Dan hal itu kemudian diwujudkan dalam Permendikbud No 17 Tahun 2017.
"Meski begitu ada aturan-aturan daerah yang belum bisa diubah terkait itu dan ada modifikasi. Kalau modifikasi itu, menurut ombudsman, masih bisa dimaklumi. Misalnya dari 90 persen dari zonasi jadi 46 persen. Tapi ada juga daerah yang berusaha keras untuk menerapkan secara strict permendikbud soal yang 90 persen itu," kata Suaedy.
Problem Zonasi untuk Memecahkan Ketimpangan
Inspektur Jenderal Kemendikbud Daryanto mengemukakan bahwa sistem zonasi menempati posisi teratas dalam daftar aduan-aduan yang dikirim masyarakat ke Kemendikbud. Dari 240 aspirasi yang diterima selama Juni-Juli 2017, 170 di antaranya terkait masalah PPDB yang dilandaskan pada sistem zonasi.
Mengenai hal itu, Pengamat Pendidikan Budi Trikoryatnto menganggap sistem zonasi tidak sepenuhnya menutup celah ketimpangan dalam dunia pendidikan.
"Karena sistem zonasi, orang tua akan memasukkan anaknya ke sekolah yang paling dekat. Di situ, akhirnya, ada persaingan yang lebih sengit. Permasalahan utama adalah anak kurang pintar tidak akan bisa masuk sekolah yang terbaik dan harus menempuh pendidikan di sekolah gurem," kata Budi saat dihubungi Tirto (13/7).
Sedangkan, menurut Budi, anak yang kurang pintar juga punya kesempatan untuk bersekolah di sekolah favorit sebagaimana yang pintar.
"Sekolah yang baik harus bisa juga mendidik anak yang kurang pintar," kata Budi.
Untuk itu, menurut Budi, solusinya adalah dengan cara melakukan undian saat PPDB. "Caranya? Pendaftar diundi di depan para orangtua. Dipilih secara acak. Jangan dipilih-pilih anak yang hasil UN-nya yang tinggi saja," jelas Budi.
Ditanya apakah sistem undian tidak akan membuka peluang kecurangan dari pihak sekolah, Budi menolaknya. Karena, menurut Budi, undian dilakukan secara terbuka di hadapan para calon wali murid.
"Tidak akan, karena diundi di hadapan orangtua anak yg mendaftar," katanya.
Baca juga: Kriteria Penerimaan Siswa Bukan Prestasi, Tapi Jarak Rumah
Di sisi lain, praktisi pendidikan, Prof. Arief Rachman, menyatakan persaingan memang tidak dapat dielakkan dalam sistem zonasi. Tapi, menurutnya, itu bukan menjadi sebuah masalah untuk diterapkan. Ia menegaskan tidak perlu sistem lain seperti undian.
"Mencari sekolah, kan, seperti mencari istri. Tentu saja saya akan memilih yang terbaik. Tapi ini, kan, bukan cuma perkara selera. Ada banyak hal yang harus diperhitungkan. Kualitas sekolahnya, pendidiknya, termasuk jarak. Jadi, persaingan tidak bisa dielakkan. Menurut saya, sistem zonasi ini sudah baik untuk pemerataan," ujar Guru Besar Universitas Negeri Jakarta ini.
Lebih lanjut ia memberi contoh bahwa di Jakarta hanya SMAN 8 saja yang dianggap baik. SMA tersebut berada di Bukit Duri, Tebet, yang secara administratif masuk wilayah Jakarta Selatan.
"Saya, misalnya, sebagai orang Rawamangun menginginkan juga ada SMP, SMA, SMK yang baik di daerah saya," kata Arief saat dihubungi Tirto, Kamis (13/7/2017). Rawamangun sendiri berada di wilayah Jakarta Timur.
Dalam penerapannya pun, menurut sosok yang pernah memimpin LabSchool ini, sistem zonasi sah saja untuk diterapkan di semua jenjang pendidikan dari SD sampai SMA. Karena, menurutnya, sistem ini bukan perkara layak atau tidaknya untuk diterapkan di jenjang pendidikan tertentu.
"Kalau bicara layak atau tidak diterapkan di semua jenjang, itu berarti bicara patut dan tidak, kan? Menurut saya sistem ini baik. Tidak masalah diterapkan di semua jenjang pendidikan. Ini sekali lagi bukan soal jarak, tapi pemerataan kualitas pendidikan. Kecuali universitas, karena kuota penerimaannya juga hanya 12,5 persen. Jadi, kalau mau masuk fakultas kedokteran yang baik bisa di UI, dan itu lumrah," jelas Arief.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Zen RS